Minggu, 06 November 2016

THE THIRD TASK

MEDIA PEMBELAJARAN POWER POINT 
(DALAM BENTUK PDF)


NB : UNTUK LEBIH MEMPERDALAM MATERI BACALAH MAKALAH BERIKUT INI

MAKALAH DEMOKRASI TERPIMPIN


MASA DEMOKRASI TERPIMPIN (1959-1965)
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas kelompok mata kuliahSejarah Indonesia IV
 Kelas B


Dosen Pengampu :Drs. Kayan Swastika, M.Si.


Disusun Oleh :
1.      Khoiriyatul Wulan S                           140210302084



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016


KATA PENGANTAR

            Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT  atas segala limpahan karunia-Nya sehingga makalah dengan judul “Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)” dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Makalah masa demokrasi terpimpin (1959-1965) disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Indonesia IV dengan dosen pengampuDrs. Kayan Swastika, M.Si.
Makalah masa demokrasi terpimpin (1959-1965) tidak akan terselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, terimakasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan pada berbagai pihak yang ikut andil dalam penyusunanan makalah ini.
Penulis menyadari dalam makalah masa demokrasi terpimpin (1959-1965) jauh dari kata sempurna, oleh karena itu dengan kerendahan hati, penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca demi sempurnanya makalah ini.Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.




Jember, Maret  2016

Penulis








DAFTAR ISI

halaman
Kata Pengantar.............................................................................................. i
Daftar Isi........................................................................................................ ii
BAB 1. PENDAHULUAN.......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 1
1.3 Tujuan............................................................................................. 2
BAB 2. PEMBAHASAN............................................................................. 3
2.1 Latar Belakang Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959......... 3
2.1.1 Pelaksanaan Sistem Demokrasi Terpimpin............................ 3
2.1.2 Lembaga Pemerintahan Demokrasi Terpimpin...................... 9
2.2 Kehidupan Politik Pada Masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1965).................................................................................... 13
2.3 Kehidupan Ekonomi Pada Masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1965).................................................................................... 16
2.3.1 Pemikiran Soekarno Terhadap Perekonomian Indonesia....... 17
2.3.2 Kebijakan Ekonomi Soekarno............................................... 20
2.3.3 Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Perekonomian
Indonesia............................................................................... 28
2.4 Kehidupan Sosial-Budaya Pada Masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1965).................................................................................... 31
2.5 Kehidupan Hankam Pada Masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1965).................................................................................... 38
2.5.1 Perpecahan Militer................................................................. 38
2.5.2 Konfrontasi Indonesia-Malaysia............................................ 38
2.5.3 Runtuhnya Sistem Demokrasi Terpimpin.............................. 39
BAB 3. PENUTUP...................................................................................... 48
3.1 Kesimpulan..................................................................................... 48
DAFTAR PUSTA



BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Indonesia yang ada sekarang, tidaklah langsung demikian adanya. Melewati berbagai peristiwa bersejarah yang sangat berpengaruh terhadap terbentuknya Indonesia seperti yang kita kenal sekarang ini. Banyak hal yang telah dilalui bangsa ini demi terciptanya bangsa yang merdeka sepenuhnya dan diakui eksistensinya oleh dunia. Mulai dari perjuangan merebut atau memperoleh kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah, hingga pergolakan yang terjadi pasca merdeka.
Pergolakan yang terjadi setelah Indonesia merdeka terhitung banyak sekali. Mulai dari ancaman akan datangnya penjajah kembali ke Indonesia, hingga pergolakan yang ada dalam tubuh Indonesia itu sendiri. Pergolakan yang timbul sebagai luapan rasa tidak puas atau kecewa dengan kebijakan atau sistem yang pemerintah ciptakan pada masa itu. Pergolakan timbul kebanyakan berkaitan dengan masalah politik Indonesia saat itu, yang kemudian dampaknya akan menjalar ke berbagai aspek tidak hanya dalam politik saja.
Di tengah-tengah krisis tahun 1957, diambillah langkah-langkah pertama menuju suatu bentuk pemerintahan yang oleh Soekarno dinamakan “demokrasi terpimpin”. Ini merupakan suatu sistem yang tidak tetap, yang dilahirkan dari krisis dan terus-menerus berubah sepanjang masa yang paling kacau dalam sejarah Indonesia sejak Revolusi. Demokrasi terpimpin didominasi oleh keprobadian Soekarno, walaupun prakarsa pelaksanaanya diambilnya bersama-sama dengan pimpinan angkatan bersenjata. Pada waktu itu, beberapa pengamat menganggap Soekarno sebagai diktator dan, ketika sikapnya semakin berapi-api, beberapa pengamat cenderung menganggapnya hanya sebagai sebuah karikatur yang sudah lanjut usia. Soekarno tidak seperti itu semua. Dia adalah ahli manipulator rakyat dan manipulator lambang-lambang. Dia dapat berpidato kepada khalayak ramai atau membuat terpesona musuh yang potensial dengan sama mudahnya, meskipun dia juga sangat ahli dalam membenci musuh-musuhnya. Dia menawarkan sesuatu untuk diyakini kepada bangsa Indonesia, sesuatu yang diaharapkan banyak orang akan memberi mereka dan negara mereka martabat atau kebanggaan. Kekuatan-kekuatan besar lainnya berpaling kepadanya untuk mendapatkan bimbingan, legitimasi, atau perlindungan. Dengan menampilkan dirinya ke depan dalam krisis tahun 1957, maka ia didukung oleh para pemimpin lainnya dalam mempertahankan posisi sentralnya. Akan tetapi, semua ini adalah untuk mendukung suatu keseimbangan politik yang bahkan tidak dapat ditegakkan oleh Soekarno, suatu keseimbangan politik yang merupakan kompromi antara kepentingan-kepentingan yang tidak dapat dirujukkan kembali dan, oleh karenanya, tidak memuaskan semua pihak. Meskipun Soekarno memiliki pandangan tentang masa depannya sendiri, tetapi dia tidak mempunyai satu pun pandangan (atau setidak-tidaknya satu pun pandangan yang akhirnya dapat diterima oleh pemimpin lainnya) mengenai masa depan negara dan bangsanya. Janji dari demokrasi terpimpin adalah palsu.
Dengan latar belakang yang telah kami paparkan diatas, dalam makalah ini kami akan membahas mengenai sebuah ideologi yang pernah berlaku di Indonesia, yang juga membawa pengaruh dan dampak cukup besar bagi sejarah dan kehidupan politik Indonesia pada masa itu, yaitu mengenai Demokrasi Terpimpin.

1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, rumusan masalah yang dapat kami paparkan yaitu :
1.      Bagaimana lahirnya Dekrit Presiden  5 Juli 1959 ?
2.      Bagaimana keadaan politik pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)?
3.      Bagaimana keadaan ekonomi pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)?
4.      Bagaimana keadaan sosial – budaya pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)?
5.      Bagaimana keadaan HANKAM pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)?

1.3  Tujuan
1.      Menganalisis lahirnya dekrit presiden 5 Juli 1959
2.      Menganalisis keadaan politik pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)
3.      Menganalisis keadaan ekonomi pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)
4.      Menganalisis keadaan sosial – budaya pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)
5.      Menganalisis keadaan sosial – budaya pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)



BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar besaran menuntut pembuatan suatu negara kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, negara Indonesia Timur, dan negara Sumatra Timur dihasilkan pembentukan negara kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950. Sejak 17 Agustus 1950, negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang – Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer di Indonesia. Kemudian muncullah pergantian perdana menteri selama 7 kali yang akibatnya juga mempengaruhi kehidupan politik di Indonesia.
Konstituante diberikan tugas untuk membuat undang – undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. UUDS 1950 ditetapkan berdasarrkan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang perubahan konstitusi sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam sidang pertama abak ke 3 rapat ke 71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.
Dekrit presiden 5 Juli 1959 dikenal sebagai suatu peristiwa yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Yang mengantarkan Indonesia kepada demokrasi baru yang sama sekali berbeda dari demokrasi yang telah digunakan sebelumnya.
Dekrit 5 juli 1959 dapat dipahami sebagi seuatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui kepembentukan kepemimpinan  yang kuat. Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit sebagai langkah untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa  dan juga merupakan tonggak sejarah indonesia, karena telah berhasil menyelamatkan bangsa dan negara, menyelamatkan Pancasila dan UUD 1945 dari segala macam gangguan di berbagai bidang yaitu ideologi dan politik, konstitusi dan hokum, ekonomi, sosial dan budaya, moral serta agama. Dekrit yang dilaksanakan oleh Presiden SSoekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapat sambutan dari masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan kehidupan negara yang stabil. Namun kekuatan Dekrit tersebut bukan hanya berasal dari sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti Mahkamah Agung (MA) dan Kepala Satuan Angkatn Darat (KSAD).
Dekrit Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD.
Keadaan seperti ini semakin menggoncangkan situasi politik Indonesia pada saat itu. Bahkan masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Sementara itu, sejak akhir tahun 1956 keadaan kondisi dan situasi politik Indonesia semakin memburuk dan kacau. Keadaan semakin memburuk karena daerah-daerah semakin memperlihatkan gejolak dan gejala separatisme seperti pembentukan Dewan Banteng, dewan Gajah, Dewan Garuda, Dewan Manguni dan Dewan Lambung Mangkurat. Daerah-daerah tersebut tidak lagi mengakui pemerintahan pusat dan bahkan mereka membentuk pemerintahan sendiri, seperti PRRI dan PERMESTA.
Keadaan yang semakin bertambah kacau ini dapat mengancam keutuhan Negara dan bangsa Indonesia dari dalam negeri. Suasana semakin bertambah panas, ketegangan-ketegangan diikuti oleh keganjilan sikap dari setiap partai politik dalam konstituante. Rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang. Konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.
Pada tanggal 22 April 1959, didepan sidang konstituante, Presiden Soekarno menganjurkan kembali kepada UUD 1945 sebagai UUD Negara RI. Menanggapi pernyataan Presiden Soekarno tanggal 30 Mei 1959 konstituante mengadakan siding pemungutan suara. Hasil pemungutan suara menunjukkan bahwa mayoritas anggota konstituante menginginkan kembali berlakunya UUD 1945 sebagai UUD Negara RI. Namun, jumlah suara tidak mencapai 2/3 dari anggota konstituante seperti yang diisyaratkan pasal 137 UUDS 1950. Pemungutan suara diulang kembali tanggal 1 dan 2 Juni 1959, tetapi juga mengalami kegagalan dan tidak mencapai 2/3 dari jumlah suara yang dibutuhkan. Dengan demikian, sejak tanggal 3 juni 1959 Konstituante mengadakan reses (istirahat).
Untuk menghindari bahaya yang disebabkan oleh kegiatan partai-partai politik, maka pengumuman istirahat konstituante diikuti dengan larangan melakukan segala bentuk kegiatan terhadap partai politik. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan membubarkan konstituante serta memberlakukan UUD 1945. Pemberlakuan kembali UUD 1945 merupakan langkah terbaik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden.
Alasan Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959:
1)       Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
2)       Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.
3)       Situasi politik yang kacau dan semakin buruk.
4)       Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme.
5)       Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional
6)       Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat
7)       Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.
Yang kemudian mengahsilkan sebuah keputusan yang dikenal dengan istilah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang isinya yaitu :
1)       Pembubaran Konstituante;
2)       Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950;
3)       Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Kebijakan Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit kemudian membubarkan Kabinet Djuanda tanggal 9 juli 1959 di gantikan dengan kabinet kerja, dimana Presiden soekarno bertindak sebagai kepala pemerintahan, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri pertama. Bulan juli itu juga Presiden Soekarno mengumumkan  kabinetnya terdiri dari 9 menteri yang disebut “Menteri-Menteri kabinet inti” dan 24 orang itu di sebut “Menteri Muda”. Fakta menarik terungkap dari pembentukan kabinet kerja yang di gagas oleh Presiden Soekarno, ternyata menteri-menteri didalamnya hampir mendominasi dari golongan militer (TNI-AD) dengan komposisi 12 orang menduduki jabatan menteri, bahkan 2 dari golongan militer (TNI-AD) masuk dalam menteri kabinet inti. Berbicara mengenai peran militer dalam politik pada masa demokrasi terpimpin, dimana militer memiliki peran ganda dalam negara yaitu sebagai fungsi pertahan dan perannya dalam dunia politik (Sitepu,2009:21)
“Pada awal tahun 1959 tampak gejala makin berkurangnya ancaman terhadap disintegrasi bangsa dilihat dari gejolak dan pemberontakan daerah. Dalam pidato peringatan HUT 17 Agustus 1959, presiden Sukarno telah menemukan jawaban atas permasalahan yang bersifat dualistik: “dualisme antara pemerintah dan kepemimpinan revolusi” antara “masyarakat adil makmur dan masyarakat kapitalis” antara “gagasan revolusi belum selesai dan kebutuhan akan konsolidasi”. (Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya hal 265)
Dari penejelasan diatas, jelaslah bahwa yang dinamakan presiden Soekarno telah menemukan jawaban dari beberapa permsalahan yang saat itu tengah berkemelut, yaitu dengan mengganti demokrasi liberal (yang dianut bangsa Indonesia) menjadi demokrasi terpimpin. Adanya perubahan ini membawa dampak dalam berbagai aspek bangsa.
2.2 Keadaan Politik
Setelah dekrit tanggal 5 Juli 1959, sistem demokrasi terpimpin diterapkan di Indonesia karena memang kondisi yang menuntut agar dilakukan perubahan sistem politik, sehingga hubungan antara sistem politik dengan kondisi yang terjadi sangat erat. Sistem politik dipengaruhi oleh segala macam hal yang terjadi disekelilingnya. Harapan dari sistem demokrasi terpimpin mengandung aspek restabilisasi  politik, artinya kepemimpinan yang menguat mulai dari pusat hingga daerah, tujuan tersebut untuk merapikan struktur negara yang tercerai-berai, sehingga arah pembangunan bangsa Indonesia menjadi tersusun rapi dan tertata dengan satu tujuan revolusi menjadi Negara kuat dan stabilitas politik terjaga, apabila tercipta stabilitas politik akan membawa hasil akan terjamin kesejahteraan rakyat, serta mencegah terjadinya disintegrasi bangsa Indonesia.
Sesuai naskah Kembali  Kepada Undang-Undang  Dasar  1945” tertulis jawaban pemerintah tanggal 25 Maret 1959 yang disampaikan oleh Ir. Djuanda, rancangan demokrasi terpimpin memiliki isi dan arti sebagai berikut:
1)      Demokrasi terpimpin ialah demokrasi menurut Undangan-Undang Dasar 1945ke rakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
2)      Demokrasi terpimpin bukan diktator dan berbeda pula dengan demokrasi liberal.
3)      Demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia.
4)      Demokrasi terpimpin adalah demokrasi disegala soal kenegaraan dan kemasyarakatan, meliputi bidang-bidang politik, ekonomi dan sosial.
5)      Demokrasi terpimpin adalah alat, bukan tujuan.
6)      Tujuan melakasanakan demokrasi terpimpin  ialah mencapai suatu masyarakat yang adil dan makmur melalui ekonomi terpimpin.
7)      Demokrasi terpimpin juga mengenal kebebasan berfikir dan berbicara, tetapi dalam            batas-batas tertentu yaitu batas kepentingan rakyat, kepetingan keselamatan negara dan kepribadian bangsa.
2.2.1 Pembentukan Lembaga Pemerintahan
a.  Pembentukan kabinet
Kabinet pada masa demokrasi terpimpin dilantik pada tanggal 10 juli 1959 dengan nama kabinet kerja,bertindak sebagai kepala pemerintahan adalah presiden soekarno sedangkan Ir Djuanda ditunjuk sebagai menteri pertama dibantu dengan dua orang wakilnya J Leimena dan Subandrio. Program jangka pendek dari kabinet meliputi; sandang pangan, keamanan dalam negeri, pembebasan irian barat dan melanjuaatkan perjuangan anti imperiallisme. Selanjutnya program jangka panjang dari kabinet tersebut bertujuan agar tercipta maasyarakat yang adil dan makmur serta melenyapkan kolonialisme dan imperialisme menuju perdamaian dunia.
Karena tidak ada wakil presiden, maka presiden mengadakan jabatan menteri pertama. Ir. Djuanda ditunjuk untuk memegang jabatan itu. Program kabinet kerja yang terkenal dengan nama Triprogram. Triprogram itu meliputi :
1.      Mencukupi kebutuhan sandang pangan
2.      Menciptakan keamanan negara
3.      Mengembalikan Irian Barat
Kabinet kerja pada masa demokrasi terpimpin tidak bersifat permanen, artinya kabinet ini juga mengalami pergantian struktur maupun posisi menteri yang duduk dalam kabinet. Kabinet yang dilantik pada tanggal 10 Juli 1959 merupakan kabinet kerja I karena dalam pelaksaan demokrasi terpimpin terjadi beberapa kali pergantian kabinet kerja dan terjadi juga pergantian nama kabinet seperti beikut:
a. Kabinet Kerja I dilantik pada tanggal 10 Juli 1959 dan berakhir masa kerjanya tanggal 18 Februari 1960, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan Ir Djuanda sebagai menteri pertama.
b. Kabinet Kerja II dilantik pada tanggal  18 Februari 1960 dan berakhir masa kerjanya tanggal 6 Maret 1962, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan menteri pertama Ir. Djuanda Kartawidjaja bersama wakil menteri pertama J. Leimena.
c. Kabinet Kerja III dilantik pada tanggal 6 Maret 1962 dan berakhir masa kerjanya tanggal 13 November 1963, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan menteri pertama Ir. Djuanda Kartawidjaja bersama J. Leimena sebagai wakil menteri pertama I ditambah Subandrio sebagai wakil menteri pertama II. wakil menteri pertama/koordinator pertahanan/keamanan dijabat A.H. Nasution sejak tanggal 22 Januari 1962 diubah menjadi Wakil Menteri Pertama/Menteri/Kepala Staf Angkatan Bersenjata.
d. Kabinet Kerja IV dilantik pada tanggal 13 November 1963 sesuai dengan surat keputusan presiden No. 232/1963 tertanggal 13 November 1963 dan berakhir pada tanggal 27 Agustus 1964, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan Subandrio sebagai wakil kepala pemerintahan I, J. Leimena sebagai wakil kepala pemerintahan II ditambah Chaerul Saleh sebagai wakil kepala pemerintahan III. Ketiga wakil Kepala pemerintahan merupakan satu Presidium yang berada langsung di bawah Presiden/kepala pemerintahan.
e. Kabinet Dwikora I dilantik pada tanggal 27 Agustus 1964 dan berakhir masa kerjanya sampai tanggal 22 Februari 1966, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan Subandrio sebagai wakil kepala pemerintahan I, J. Leimena sebagai wakil kepala pemerintahan II ditambah Chaerul Saleh sebagai wakil kepala pemerintahan III.
f. Kabinet Dwikora II dilantik pada tanggal 24 Februari 1966 dan berakhir masa kerjanya sampai tanggal 28 Maret 1966, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan Subandrio sebagai wakil kepala pemerintahan I, J. Leimena sebagai wakil kepala pemerintahan II ditambah Chaerul Saleh sebagai wakil kepala pemerintahan III ditambah K.H. Idham Chalid wakil kepala pemerintahan IV serta menteri penerangan diperbantukan ke Presidium. Tanggal 18 Maret 1966 Subandrio dan Chaerul Saleh serta beberapa menteri lain ditangkap akibat gejolak politik paska Gerakan 30 September, sehingga posisi beberapa menteri menjadi kosong sampai terbentuknya kabinet baru.
g. Kabinet Dwikora III dibentuk tanggal 28 Maret 1966 dan berakhir masa kerjanya sampai tanggal 25 Juli 1966, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan J. Leimena sebagai wakil kepala pemerintahan untuk Urusan Umum.
h. Kabinet Ampera I dibentuk tanggal 25 Juli 1966 dan berakhir masa kerjanya sampai tanggal 17 Oktober 1967, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan ketua Presidium adalah Letjen Soeharto, untuk selanjutnya kabinet ini diteruskan oleh Soeharto selaku Pjs. Presiden Seokarno.
b.  Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung
            Setelah kabinet terbentuk tanggal 22 Juli 1959 langkah selanjutnya Presiden Soekarno adalah membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA), sebagai penetapan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) maka Presiden Soekarno mengelurkan Penpres No. 3 tahun 1959. Lembaga ini terdiri dari empat puluh tiga anggota, diluar Presiden Soekarno sendiri sebagai ketua dan Roeslan Abdulgani sebagai wakil ketua, pengangkatan anggota tersebut didasarkan kepada tiga golongan. Pemimpin-pemimpin dari sepuluh partai penting yang tidak disertakan dalam kabinet kemudian diberikan dua belas kursi di DPA. Golongan kedua terdiri dari wakil-wakil daerah, delapan kursi. Selebihnya, dua puluh tiga kursi, diberikan kepada wakil-wakil golongan kekaryaan (Legge, 1985:359).
Dasar hukum pembentukan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) berlandaskan kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku pada masa demokrasi terpimpin yaitu tertuang pada Pasal 16 Ayat 1 dan 2. Kedudukan Dewan Pertimbangan Agung merupakan lembaga negara dengan prinsip dan falsafah kekeluargaan sebagai pemberi jawaban dan pertimbangan-pertimbangan atas pertanyaan pemerintah. Sehubungan fungsi Dewan Nasional yang hampir mirip dengan Dewan Pertimbangan Agung maka pada tanggal 12 Juli 1959 Dewan Nasional dibubarkan pada sidang VII bertempat di Istana Bogor.
Selanjutnya pada tanggal 15 Juli 1959 dilaksanakan pelantikan Dewan Pertimbangan Agung. Tugas dan fungsi dari Dewan Pertimbangan Agung (DPA) adalah memberikan jawaban dan nasehat maupun usulan kepada pemerintah baik dibutuhkan atau tidak, Presiden Soekarno juga menjelaskan bahwa Dewan Pertimbangan Agung hampir memiliki tugas yang sama dengan Dewan Nasional. Dewan Pertimbangan Agung lebih tegas disebut di dalam Undang Undang Dasar 1945 tetapi juga karena Dewan Pertimbangan Agung bukan hanya diketuai oleh Presiden Soekarno seperti Dewan Nasional, tetapi di ketuai oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan (Tumakaka, 1996:151).
c. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS)
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dibentuk bersadarkan Penpres No. 2 Tahun 1959. Para anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh presiden dengan sejumlah persyaratan : setuju kembali kepada UUD 1945, setia kepada perjuangan RI, dan setuju pada manifesto politik. Keanggotaan MPRS terdiri atas 61 orang anggota DPR, dan 200 wakil golongan. Pada saat itu, ABRI mulai terjun ke dunia politik. Hal ini sesuai dengan ide Dwifungsi ABRI yang dicetuskan oleh A.H Nasution. Tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis – garis Besar Haluan Negara. Berikut merupakan beberapa keputusan yang dibuat oleh MPRS:
1.      Melaksanakan Manifesto Politik
2.      Pengankatan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup
3.      Pidato presiden yang berjudul “Berdiri di atas kaki sendiri” sebagai pedoman revolusi dan politik luar negeri.
Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959 yanggal 31 Desember 1959 merupakan dsar hukum pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagaimana memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
a.    Syarat-syarat keanggotaan DPR berlaku uga bagi anggota MPRS dengan tambahan syarat membacadan menulis diartikan membaca dan menulis huruf latin.
b.    Setuju dengan kembali ke UUD 1945
c.    Tidak cacat dalam perjuangan Revolusi . Syarat ini dianggap sebagai suatu syarat cacat.
d.   Setuju kepada Manifesto Politik yang diucapkan oleh Presiden oleh Presiden tanggal 17 Agustus 1959 ( Tumaka:161)
Jumlah MPRS yang dibentuk pada tahun 1960 terdiri dari 616 anggota (Legge 1985:358), jumlah tersebut nampaknya setelah Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu tahun 1955 dan membentuk DPR GR, jumlah pasti keanggotaan Majelis Permusyawarata Rakyat (MPR) memang tidak dijelaskan dengan mendetail dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 2 ayat 1.
Mengatasi jumlah keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) maka presiden Soekarno mengajukan pertanyaan kepada Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam sidang I tanggal 27 Agustus 1959 , kemudian dalam sidang II tanggal 23 September 1959 melahirkan sebuah jawaban dari Dewan Pertimbanagan Agung (DPA) terkait jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).Jumlah anggotanya tidak lebih sedikit dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) karena dianggap akan membahayakan kondisi politik apabila terjadi pemungutan suara terbanyak seperti yang terjadi pada waktu Konstituante dan akan mengalami kembali kemacetan politik.Mengingat tugas dari Maajelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) keepan sangat menentukan untuk menetapkan Undang-undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sesuai pasal 3 memilih Presiden dan Wakil Presiden pada pasal 6 ayat 2 Undang Undang Dasar 1945.
Tugas dan wewenang Majelis Permusyawatan Rakyat Sementara (MPRS) adalah melaksanakan pasal 3 dan pasal 6 ayat 2 Undangan-Undang Dasar 1945 tidak secara utuh harus dilaksanakan keseluruhan, sebab sesuai saran dan nasehat Dewan Pertimabngan Agung (DPA) bahwa kedudukan Majelis Permusyawatan Rakyat Sementara (MPRS) hanya bersifat sementara, maksudnya adalah tidak merubah dan mengganti Undang-Undang Dasar 1945 serta memilih Presiden/Wakil Presiden, jelas bahwa wewenang dari Majelis Permusyawatan Rakyat Sementara (MPRS) hanya mengesahkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pendapat ini juga dipertegas oleh Presiden Soekarno dalam amanat negara pada pembukaan sidang pertama MPRS tanggal 10 November 1960.
d. Pembentukan Front Nasional
Front Nasional adalah sebuah pengorganisaian massa dengan maksud dan tujuan bersama menghimpun kekuatan untuk tercapainya sebuah gerakan massa berlandaskan gotong-royong untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia, Presiden Soekarno juga mempertegas maksud dari gagasan akan  di bentuk  lembaga front Nasional yaitu akan dibentuk untuk menggalang seluruh rakyat. Lembaga tersebut harus menggalang seluruh kekuatan kegotong-royong rakyat. Front Nasional harus menggalang semangat dan tenaga di kalangan rakyat, kemudian dijadikan satu gelombang “holobis kuntul baris” untuk menyelesaikan revolusi (Soekarno, 1959:69).
Front Nasional lahir dari gagasan Presiden Soekarno kemudian peran Dewan Pertimbangan Agung ikut serta mendorong kesepakatan pembentukan lembaga tersebut, melalui saran dan pertimbangan yang disampaikan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) maka dikelurkan Penetapan Presiden  No.13/1959 tanggal 31 Desember 1959 tentang Front Nasional yang mengatur pembentukan azas,tujuan,tugas dan lain-lain dari Front Nasional. Kemudian melalui Keputusan Presiden No.34 tahun 1960 tanggal 23 april dibentuk panitia persiapan untuk mempersiapkan program dengan batas waktu penyusunan paling lambat pada akhir bulan Mei 1960. Tanggal 8 September 1960 Pengurus Besar Front Nasional dilantik oleh Presiden Soekarno di Istana Negara. Tugas dari Front Nasional adalah :
1.  Menyelesaikan revolusi nasional
2.  Melaksanakan pembangunan
3.  Mengembalikan Irian Barat
e.    Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR – GR)
Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, para anggota DPR hasil pemilu 1955 menyatakan kesediaannya untuk bekerja terus. Setelah adanya kesediaan, para anggota DPR itu, pemerintah mengeluarkan ketetapan pada tanggal 22 Juli 1959 tentang penetapan DPR. DPR hasil pemilu 1955 ditetapkan berdasarkan Penpres No.1 tahun 1959 yang dilantik pada tanggal 23 Juli 1959 dan awalnya anggota DPR hasil pemilu 1955 akan mengikuti saja kebijakan presiden Ir. Soekarno. Akan tetapi, DPR hasil pemilu 1955 ternyata menolak Rencana Anggaran Belanja Negara (RAPBN) tahun 1960 yang diajukan oleh pemerintah. Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,  dari 44 milyar rupiah yang diajukan Pemerintah hanya disetujui sekitar 36 sampai 38  milyar rupiah  (Budiardjo,  2003:192). Langkah pembubaran DPR hasil pemilu 1955  disebut retooling. Istilah retooling telah dijelaskan oleh Presiden Soekarno dalam  pidato  17  Agustus  1959  Manifesto  Politik  bahwa  retooling  berarti  mengganti sarana-sarana, alat-alat dan aparatur negara yang tidak sesuai dengan pikiran demokrasi terpimpin. Retooling juga berarti  menghemat segala sarana-sarana dan alat-alat yanmasih dapat digunakan(Soekarno, 1959:50).
Penolakan RAPBN tersebut menyebabkan keluarnya Penpres NO.3 tahun 1960 tentang pembubaran DPR hasil pemilu 1955. Tindakan itu disusun dengan pembentukan DPR baru yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong atau DPR-GR pada tanggal 24 Juni 1960.
Semua anggota DPR-GR adalah hasil penunjukan presiden tanpa didasarkan pada perimbangan kekuatan partai politik pemilu 1955. Anggota DPR-GR terdiri atas wakil – wakil golongan politik, golongan karya, dan seorang wakil dari Irian Barat. Keanggotaan DPR-Gr dibahas dan disusun oleh presiden di Istana Tampaksiring, Bali. Pembentukan DPR-GR mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak. Kelompok yang menolak ini, kemudian membentuk wadah yang dinamakan Liga Demokrasi yang diketuai oleh Imron Rosyadi dari NU. Partai yang tergabung dalam liga ini adalah NU, Parkindo, Partai Katolik, Liga Muslimin, PSII, IPKI dan Masyumi. Pada akhir bulan Maret 1960, liga ini mengeluarkan pernyataan agar dibentuk DPR yang lebih demokratis dan konstitusional. Liga Demokrasi meminta agar peresmian DPR-GR ditangguhkan.
Menanggapi pernyataan dari Liga Demokrasi tersebut, presiden Ir. Soekarno bersikap tegas dan menegaskan bahwa demokrasi terpimpin harus berjalan dengan baik dan DPR-GR harus segera bekerja. Liga Demokrasi yang menolak DPR-GR segera dilarang. Pada tanggal 25 Juni 1960, presiden meresmikan dan melantik anggota DPR-GR yang berjumlah 283 orang. Dari seluruh anggota DPR-GR, tidak ada seorangpun yang berasal dari PSII dan Masyumi. Dalam pidato pelantikannya, presiden Ir. Soekarno menjelaskan bahwa tugas DPR-GR adalah:
1.    Melaksanakan Manipol
2.    Merealisasikan “amanat penderitaan rakyat”
3.    Melaksanakan demokrasi terpimpin
Dalam upacara pelantikan wakil – wakil DPR-GR tanggal 5 Januari 1961, presiden Ir.Soekarno kembali menjelaskan kedudukan DPR-GR sebagai pembantu presiden atau mandataris MPRS.
2.2.2 Kebijakan Politik Dalam Negeri
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) memberikan pernyataan bahwa Manifesto Politik tersebut adalah penjelasan resmi dari dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sehingga tidak dapat dipisahkan antara Manifesto Politik dan dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, apabila ingin memahami dekrit Presiden harus memahami Manifesto Politik begitu pula sebaliknya. Manifesto Politik tidak memiliki kesamaan dengan Manisfesto Komunis tahun 1848 yang tulis oleh Karl Marx dan Freidrich Ennggels, Manifesto Politik memiliki maksud dan tujuan sebuah revolusi menuju sosialisme Indonesia. Dalam pidato-pidatonya di awal tahun 1959, Presiden Soekarno mengungkapkan bahwa revolusi Indonesia memiliki lima gagasan penting (Feith, 1995:80). Intisari 5 hal penting dari Manifesto Politik diungkapkan Presiden Soekarno pada bulan Februari 1960 pada acara pembukaan kongres pemuda dikota Bandung yaitu:
1.Undang-Undang Dasar 1945.
2.Sosialisme Indonesia.
3.Demokrasi terpimpin
4.Ekonomi terpimpin
5.Kepribadian Indonesia
Dari kelima kata tersebut dapat diambil huruf depan menjadi USDEK, sebenarnya istilah Usdek tidak secara resmi ditetapkan oleh Presiden Soekarno melainkan istilah Usdek di peroleh dari rapat pamong praja di Jawa Barat. Ketua DPRD bernama Kosasih, dalam penyampiannya dianjurkan untuk menghafal lima intisari Manifesto Politik dalam rangkian Usdek, sehingga dalam penggunaannya sering di sebut Manipol-Usdek. Penjelasannya adalah apabila sepakat dengan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan yang terkandung pada amanah sosialisme Indonesia, apabila sepakat dengan sosialisme Indonesia maka pelaksaannya melalui demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin, kesemuanya itulah adalah Kepribadian bangsa Indonesia.
Apabila sedikit dicermati bahwa tulisan tentang Nasionalis, Islam dan Marxis direncanakan untuk tahun-tahun perjuangan dan itu sebenarnya dimaksudkan untuk menjembatani perbedaan-perbadaan serta membina usaha bersama untuk mencapai kemerdekaan, sedangkan Nasakom juga merupakan persatuan ketiga ideologi dengan tujuan yang sama yaitu berjuang melawan kolonialisme dan imprialisme dalam suasana revolusi, hanya saja terdapat perbedaan dari situasi dan kondisi dari kedua gagasan tersebut. Gagasan Nasionalis, Islam dan Marxis berada dalam kondisi sebelum kemerdekaan sedangkan Nasakom berada dalam situasi kemerdekaan dan kondisi politik yang belum sepenuhnya mendukung gagasan tersebut, faktor lain juga mempengaruhi kalangan militer yang tidak pernah sependapat bahkan saling bertentangan dengan pihak Komunis.
Nasakom harus dipahami sebagai doktrin pada masa demokrasi terpimpin sebagai alat perjuangan melawan kolonialisme dan imprialisme karena ketiga unsur tersebut merupakan aspek pendukung yang revolusiner menuju sosisalisme Indonesia, konsep Nasakom sangat jelas sebagai sebuah wadah persatuan bukan mengkotak-kotak unsur tersebut menjadi tiga golongan, bukan juga hanya PNI, NU dan PKI gambaran dari ketiga partai politik, melainkan segala unsur di Indonesia yang berpaham Nasionalis, Agama dan Komunis. Ideologi Nasakom akan menjadi gelombang yang besar apabila tidak dipahami secara sempit, ketiga unsur tersebut merupakan kekuatan yang akan membuat Indonesia lebih kokoh dalam percaturan politik dunia internasional serta menjadi sebuah ancaman menakutkan bagi kolonoalisme dan imprialisme. Sehingga tidak heran apabila dalam pelaksanaan demokrasi terpimpin banyak kalangan yang anti revolusi mengutuk ideologi Nasakom dan beranggapan Nasakom hanya kepentingan salah satu aliran ideologi
2.2.3 Politik Luar Negeri
Semenjak ditetapkan berlakunya kembali Undang – Undang Dasar 1945 dengan Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959, terdapat serangkaian dokumen – dokumen yang mendasari politik luar negeri Republik Indonesia, yakni :
1.    Undang – Undang Dasar 1945
2.    Amanat Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” dan yang terkenal sebagai “Manifesto Politik Republik Indonesia”. Dengan penetapan presiden No.1 tahun 1960, tanggal 29 Januari 1960, yang diperkuat pula dengan ketetapan MPRS No. 1/MPRS/I/1960, tanggal 19 November 1960, Manifesto tersebut telah dijadikan “Garis Besar Haluan Negara”
3.    Amanat presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang terkenal dengan nama “Jalannya Revolusi Kita” yang dengan ketetapan MPRS No.I/MPRS/1960, tanggal 9 Nopember 1960 telah dijadikan “Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia”
4.    Pidato presiden tanggal 30 September 1960 dimuka sidang PBB yang berjudul “To Build the World anew” (membangun dunia kembali), yang dengan ketetapan MPRS NO.I/MPRS/1960, tanggal 19 Nopember 1960, ditetapkan sebagai Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia dan yang dengan keputusan DPA NO.2/Kpts/Sd/61, tanggal 19 Januari 1961, dinyatakan sebagai “Garis – garis Besar Politik Luar Negeri RI” dan sebagai “Pedoman Pelaksaaan Manifesto Politik Republik Indonesia dibidang politik Luar Negeri RI”
Kebijaksanaan politik luar negeri yang bertolak dari teori – teori revolusi itu telah menyeret diplomasi Indonesia ke hadapan panggung politik dunia, tanpa memperhatikan prioritas kepentingan dan sumber – sumber kekuatan nasional. Di sini pula berlaku teori bahwa “politik adalah panglima”. Dasar politik luar negeri RI termaktub dalam Undang – Undang Dasar 1945 alinea pertama Pembukaannya yang berbunyi :
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Dibidang politik luar negeri Manipol menyatakan sebagai tujuan jangka pendek “melanjutkan perjuangan anti imperialisme ditambah dengan mempertahankan kepribadian Indonesia di tengah – tengah tarikan – tarikan ke kanan dan ke kiri, yang sekarang sedang berlaku kepada kita dalam pergolakan dunia menuju keseimbangan baru.dalam jangka panjang, Revolusi Indonesia bertujuan untuk “melenyapkan imperialisme dimana – mana, dan mencapai dasar – dasar bagi perdamaian dunia yang kekal dan abadi”.
Menurut perincian Dewan Pertimbangan Agungdalam keputusan No.2/Kpts/Sd/I/61 tanggal 19 Januari 1961, Garis – garis Dasar Politik Luar Negeri RI yang terdapat dalam pidato “Membangun Dunia Kembali”, adalah sebagai berikut:
1.    Dasar        : UUD 1945
2.    Sifat         : bebas dan aktif, anti-imperialisme dan kolinialisme
3.    Tujuan      : a. Mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan
      Indonesia yang penuh
b. Mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional
    dari seluruh bangsa – bangsa di dunia
c. Mengabdi pada perjuangan untuk membela perdamaian dunia.
Politik bebas dan aktif indonesia bukanlah suatu pulitik netralisme dan dalam hubungannya dengan non-alignment . indonesia berpendirian bahwa politik non-alignment juga bukan politik netralisme dimana pada dasrnya non alignment itu aktif dan diplomasi indonesia senantiasa diarahkan pada posisi subjek dan bukan sebagai objek dalam pergolakan politik internasional .gerakan non-blok merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang kehidupan politiknya tidak terpengaruh oleh blok barat maupun blok timur.gerakan ini memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan perang dingin. keterlibatan indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik indonesia di dunia sudah cukup maju. GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. bagi indonesia, GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional dan internasional yang melahirkan KAAPolitik bebas dan aktif indonesia bukanlah suatu pulitik netralisme dan dalam hubungannya dengan non-alignment . indonesia berpendirian bahwa politik non-alignment juga bukan politik netralisme dimana pada dasrnya non alignment itu aktif dan diplomasi indonesia senantiasa diarahkan pada posisi subjek dan bukan sebagai objek dalam pergolakan politik internasional .gerakan non-blok merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang kehidupan politiknya tidak terpengaruh oleh blok barat maupun blok timur.gerakan ini memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan perang dingin. keterlibatan indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik indonesia di dunia sudah cukup maju. GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. bagi indonesia, GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional dan internasional yang melahirkan KAA
-  Politik Konfrontasi Nefo dan Oldefo
Terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas aktif yang menjadi cenderung condong pada salah satu poros. Saat itu Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih mengarah pada negara-negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik Konfrontasi tersebut dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara komunis umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme. Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim).  Untuk mewujudkan Nefo maka dibentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang. Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab hanya berpedoman ke negara-negara komunis.
-  Politik Konfrontasi Malaysia
Indonesia juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok Nefo. Dalam rangka konfrontasi tersebut Presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964, yang isinya sebagai berikut.
1. Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.
2. Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
3. Pelaksanaan Dwikora dengan mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat menunjukkan adanya campur tanggan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.
-  Politik Mercusuar
Politik Mercusuar dijalankan oleh presiden sebab beliau menganggap bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Untuk mewujudkannya maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di kalangan Nefo. Proyek-proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar mencapai milyaran rupiah diantaranya diselenggarakannya GANEFO (Games of the New Emerging Forces ) yang membutuhkan pembangunan kompleks Olahraga Senayan serta biaya perjalanan bagi delegasi asing. Pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB sebab Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
-  Politik Gerakan Non-Blok
Gerakan Non-Blok merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang kehidupan politiknya tidak terpengaruh oleh Blok Barat maupun Blok Timur. Selanjutnya gerakan ini memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan Perang Dingin. Keterlibatan Indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik Indonesia di dunia sudah cukup maju. GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. Bagi RI, GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional dan Internasional.
2.3  Kehidupan Ekonomi
Perubahan politik menuju demokrasi terpimpin barakibat ekonomi pun mengikuti ekonomi terpimpin. Di mana ekonomi indonesia bersifat agraris yang lebih kurang 80% dari penduduk hidup dalam pertanian ataupun perkebunan dan hasilnya dijual dan diekspor keluar negeri untuk memperoleh devisa atau valuta asing guna membeli atau mengimpor berbagai bahan baku dan barang konsumsi yang tidak dapat dihasilkan di indonesia. Sehingga ekonomi terpimpin merupakan bagian dari demokrasi terpimpin. dimana semua aktivitas ekonomi disentralisasikan di pusat pemerintahan sementara daerah merupakan kepanjangan dari pusat. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk menunjang pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut:
2.3.1 Pembentukan Badan Perencana Pembangunan Nasional
Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah kabinet kerja maka dibentuklah dewan perancang nasional (Depernas) pada Tanggal 15 Agustus 1959 Dipimpin Oleh Moh.Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang.tugas depernas:
1)      Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Pembangunan Nasional Yang Berencana
2)      Menilai Penyelenggaraan Pembangunan
Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun depenas berhasil menyusun Rancangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara berencana tahapan tahun 1961-1969 yang disetujui oleh MPRS.
Pada tahun 1963, Dewan Perancang Nasional diganti dengan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Dalam rangka usaha membendung inflasi maka dikeluarkan kebijakan:
1)        Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 1959 yang mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959. Peraturan itu dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran untuk kepentingan perbaikan keadaan keuangan dan perekonomian negara. Untuk mencapai tujuan itu nilai uang kertas pecahan Rp.500,- dan Rp.1000,- yang ada dalam peredaran pada saat berlakunya peraturan itu diturunkan masing-masing menjadi Rp.50,- dan Rp.100,-.
2)        Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.3 tahun 1959 tentang pembekuan sebagian dari simpanan pada bank-bank yang dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran, yang terutama dalam tahun 1957 dan 1958 sangat meningkat jumlahnya.
Peraturan moneter tanggal 25 Agustus 1959 diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.6/1959, yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang lembaran seribu rupiah dan lima ratus rupiah yang masih berlaku (dan yang kini bernilai seratus rupiah dan lima puluh rupiah) harus ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum tanggal 1 Januari 1960. Untuk menampung akibat-akibat dari tindakan moneter dari bulan Agustus 1959 dibentuklah Panitia Penampung Operasi Keuangan (PPOK). Tugas pokok dari panitia ini ialah menyelenggarakan tindak lanjut dari tindakan moneter itu, tanpa mengurangi tanggung jawab menteri, departemen, dan jawatan yang bersangkutan.
Akibat utama dari tindakan moneter yang dilakukan oleh pemerintah ialah terjadinya kesukaran likuiditas di semua faktor, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta.Keadaan ini merupakan suatu kesempatan yang baik untuk mengadakan penertiban dari segala kegiatan pemerintah dan swasta yang sebelumnya seolah-olah tidak terkendalikan. Untuk tujuan itu pemerintah menginstruksikan:
1)   Penghematan bagi instansi pemerintah serta memperketat pengawasan atas pelaksanaan anggaran belanja.
2)   Dilakukan penertiban manajemen dan administrasi perusahaan-perusahaan negara, baik yang sudah lama ada, maupun yang baru diambil alih dari pihak Belanda.
3)   Dengan tindakan moneter tanggal 25 Agustus 1959 itu, pemerintah bertujuan akan dapat mengendalikan inflasi dan mencapai keseimbangan dan kemantapan moneter dengan menghilangkan excess liquidity dalam masyarakat. Hal itu diusahakan dengan menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang-bidang usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Tetapi pada akhir tahun 1959 itu juga, jadi hanya 4 bulan lebih sedikit setelah dilakukan tindakan moneter tersebut, dapat diketahui bahwa pemerintah mengalami kegagalan. Semua tindakan-tindakan moneter itu tidak mencapai sasarannya karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya.Misalnya saja menyelenggarakan proyek mercu-suar seperti Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dan Conefo (Conference of The New Emerging Forces).
Sejak tahun 1961, Indonesia terus-menerus membiayai kekurangan neraca pembayarannya dari cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun 1965, untuk pertama kali dalam sejarah moneternya, Indonesia sudah habis membelanjakan cadangan emas dan devisanya, yang memperlihatkan saldo negatif sebesar US $ 3 juta sebagai akibat politik konfrontasi terus-menerus yang dilakukan.Tingkat kenaikan harga-harga paling tinggi terjadi dalam tahun 1965 (antara 200%-300% dari harga tahun 1964). Presiden Sukarno menganggap perlu untuk mengintegrasikan semua Bank Negara ke dalam suatu organisasi Bank Sentral.Untuk itu dikeluarkan Penetapan Presiden No.7 tahun 1965 tentang Pendirian Bank Tunggal Milik Negara. Tugas bank tersebut adalah menjalankan aktivitas-aktivitas bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum. Maka kemudian diadakan peleburan bank-bank negara seperti: Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN); Bank Umum Negara; Bank Tabungan Negara; Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Sesudah pengintegrasian Bank Indonesia itu selesai, barulah dibentuk Bank Negara Indonesia. Bank Negara Indonesia tersebut dibagi dalam beberapa unit, yang masing-masing unit menjalankan pekerjaannya menurut aturan-aturan pendiriannya. Keadaan itu berlangsung terus sampai Bank Tunggal itu dibubarkan dengan berlakunya Undang-undang No.13 Tahun 1968.
2.3.2 Penurunan Nilai Uang
Tujuan dilakukan devaluasi :
1)      Guna Membendung Inflasi Yang Tetap Tinggi
2)      Untuk Mengurangi Jumlah Uang Yang Beredar Di Masyarakat
3)      Meningkatkan Nilai Rupiah Sehingga Rakyat Kecil Tidak Dirugikan.
Maka Pada Tanggal 25 Agustus 1959 Pemerintah Mengumumkan Keputusannya Mengenai Penuruan Nilai Uang (Devaluasi), Yaitu Sebagai Berikut:
1)      uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 Menjadi Rp. 50
2)      uang kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 Menjadi Rp. 100
3)      pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000
Tetapi usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter.para pengusaha daerah di seluruh indonesia tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut. Pada masa pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang menjadi murah tetapi tetap saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki uang.
2.3.3 Menyikapi Kenaikan Laju Inflasi                        
Latar belakang meningkatnya laju inflasi :
1)   Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan
2)   Nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan
3)   Anggaran Belanja mengalami defisit yang semakin besar
4)   Pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada
5)   Upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil
6)   Penertiban administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan keuangan tak memberikan banyak pengaruh
7)   Penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan.
Dan selain itu ada pula kegagalan-kegagalan yang disebabkan karena:
1)   Pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan pengeluaran.
2)   Pemerintah menyelenggarakan proyek-proyek Mercusuar seperti GANEFO (Games Of The New Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference Of The New Emerging Forces) Yang Memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya pada setiap tahunnya. 
Salah satu langkah yang dilakukan oleh soekarno dalam menstabilkan keadaan ekonomi, maka kredit-kredit luar negeri diperbolehkan diterima untuk Pembangunan dan perluasan aparat produksi nasional. Hal ini dapat memperbesar volume komoditas ekspor guna membayar utang-utang luar negeri dan kepentingan lainnya. politik ekonomi terpimpin sangat rentan terhadap bahaya berupa Insolvensi Internsional dari suatu negara yang dapat menarik kedalam suatu blok, fakta, atau lingkungan pengaruh di antara nya peristiwa konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia, dan bantuan dari RRC pada Indonesia melalui perdagangan bilateral atas dasar Government To Government (G To G) RRC Mmendapatkan keuntungan politik dan ekonomi yang tidak sedikit.
Campur tangan tentara dalam perekonomian meningkat. Pada tahun 1959 pihak tentara mulai memindahkan orang-orang Cina secara paksa dari daerah pedesaan ke kota, sekitar 119.000 orang dipulangkan ke Cina. Pada bulan Mei 1959 telah diputuskan bahwa mulai tanggqal 1 Januari 1960 orang-orang asing dilarang melakukan perdagangan di pedesaan. Langkah ini didorong oleh pihak militer untuk memukul orang-orang cina, melemahkan hubungan Jakarta dengan Cina, dan mempersulit urusan PKI.
2.3.4 Perkreditan dan Perdagangan Luar Negeri
Politik luar negeri pada masa Demokrasi Terpimpin di bidang perkreditan dan perdagangan hakekatnya tidak berbeda sifatnya dari sistem ijon dari petani-petani dan pengusaha-pengusaha kecil, hanya saja kredit luar negeri ini berskala nasional dan menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia. Dalih perkreditan luar negeri pada masa ini adalah mengarrangement dan readjustment dengan negara-negara kreditor. Dan sementara itu masyarakat Indonesia pada umumnya masih beranggapan bahwa hutang adalah identik dengan penghasilan.
Perdagangan luar negeri antara Indonesia dengan negara lain misalnya dengan negara Cina. Perdagangan bilateral tersebut dijalin atas dasar Government to Government (G to G). Dalam perdagangan G to G ini RRC memperoleh keuntungan politik disamping keuntungan ekonomi yang tidak sedikit. Sebagai contoh perdagangan karet. Transaksi-transaksi karet rakyat Indonesia dengan RRC pada hakekatnya adalah pembelian bahan baku yang murah oleh RRC, yang kemudian dijual kembali sebagai barang jadi yang mahal ke Indonesia sebagai yang disebut bantuan luar negeri. Dalam hubungan ini adakalanya barang-barang yang bercap RRC seperti tekstil yang dikirim sebagai bantuan ke Indonesia bukan dibuat di RRC sendiri akan tetapi di Hongkong. Dalam hal ini disebut bantuan pada hakekatnya adalah hasil keuntungan RRC dari pembelian karet rakyat Indonesia. Maka jelaslah bahwa kebijaksanaan perdagangan dan perkreditan luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah Orde Lama terutama selama 3 tahun terakhir telah membawa Indonesia ke dalam lingkungan pengaruh politik RRC sampai titik kulminasinya dalam pemberontakan G 30 S/PKI.
Dalam rangka usaha untuk membiayai proyek-proyek Presiden/Mandataris MPR-S, maka Presiden Sukarno mengeluarkan Instruksi Presiden No.018 tahun 1964 dan Keputusan Presiden No.360 tahun 1964, yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai penghimpunan dan penggunaan “dana-dana revolusi”. Dana-dana revolusi tersebut pada mulanya diperoleh dari pungutan uang call SPP dan dari pungutan yang dikenakan pada pemberian izin impor dengan deferred payment. Deferred payment ialah suatu macam impor yang dibayar dengan kredit (kredit berjangka 1-2 tahun) karena tidak cukup persediaan devisa. Dalam praktek, barang-barang yang diimpor dengan menggunakan deferred payment khusus itu adalah barang-barang yang tidak membawa manfaat bagi rakyat banyak, bahkan sebaliknya merupakan barang-barang yang sudah dijadikan bahan spekulasi dalam perdagangan, misalnya scooter dan barang-barang lux lainnya. Pada umumnya yang mendapat izin deferred payment ini adalah yang disponsori oleh Presiden Sukarno sendiri. Akibat kebijaksanaan kredit luar negeri ini adalah:
1)   Hutang-hutang negara semakin bertimbun-timbun, sedangkan ekspor semakin menurun.
2)   Devisa menipis karena ekspor menurun sekali.
3)   Hutang luar negeri dibayar dengan kredit baru atau pembayaran itu ditangguhkan.
4)   RI tidak mampu lagi membayar tagihan-tagihan dari luar negeri, yang mengakibatkan adanya insolvensi internasional. Karena itu, sering terjadi bahwa beberapa negara menyetop impornya ke Indonesia karena hutang-hutang tidak dibayar.
5)   Di dalam negeri berakibat mengganggu proses produksi, distribusi dan perdagangan serta menimbulkan kegelisahan di kalangan penduduk.
Menteri Bank Sentral, Jusuf Muda Dalam diberikan kuasa untuk mengelola “dana revolusi” itu. Dana revolusi tersebut diberikan dalam bentuk kredit kepada orang lain atau perusahaan dengan rente tertentu agar jumlah dana bertambah terus. Namun, pemberian kredit tersebut menyimpang dari pemberian kredit biasa sampai kira-kira mencapai jumlah Rp 338 milyar (uang lama). Hal ini mengakibatkan inflasi meningkat sangat tinggi karena pemerintah sama sekali tidak mengindahkan jumlah uang yang beredar. Bank Indonesia diizinkan untuk mengadakan penyertaan dalam perusahaan, sehingga membawa akibat yang cukup luas bagi masyarakat:
1)   Bank Indonesia sebagai Bank Sentral tidak dapat lagi menjalankan fungsinya sebagai pengantar peredaran uang.
2)   Neraca Bank Indonesia tidak dapat diketahui oleh rakyat lagi.
3)   Neraca Bank Indonesia yang tidak diumumkan mendorong usaha-usaha spekulasi dalam bidang ekonomi dan perdagangan.

2.4  Kehidupan Sosial Budaya
Di tengah perekonomian yang terus memburuk, pemerintah tetap melaksanakan pembangunan-pembangunan fasilitas, pembangunan itu di antaranya yaitu :
1.      Tanggal 17 Agustus 1961, presiden memancangkan tiang pertama pembangunan Tugu Nasional yang terletak ditengah lapangan Merdeka yang direncanakan akan menjulang setinggi 127 meter dan memakan biaya setengah milyar rupiah. Menurut presiden, tugu ini akan menjadi tanda pusat bangsa Indonesia yang kuat, besar dan sentosa.
2.      Berikutnya tanggal 25 Agustus 1961 dilangsungkan upacara pemancangan tiang pertama Masjid Istiqlal yang diperkirakan akan menjadi Masjid terbesar di Asia Tenggara bahkan dunia.
3.      Rencana selanjutnya di Jalan Merdeka Utara akan dibangun gedung-gedung khusus untuk kesenian seperti teater dan museum. Jalan Merdeka Timur akan dipergunakan khusus untuk gedung kementrian.
4.      Sekitar akhir tahun 1964, saat muncul wacana untuk keluar dari PBB, presiden juga membangun markas besar dunia ketiga (pusat The New Emerging Forces) di Jakarta, menyaingi markas besar PBB di New York, yang kemudian hari menjadi gedung MPR/DPR.
5.      Upaya mencegah bahaya subversi asing juga mencuat di bidang budaya. Tanggal 17 Agustus 1963, dideklarasikan Manifestasi Kebudayaan (Manikebu) oleh 13 seniman di Jakarta, yaitu H. B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Sukito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Gunawan Mohammad, A. Bastari Asnin, Soe Hok Djin, Ras Siregar, Bur Rasuanto, D. S. Mulyanto, Sjahwil, dan Djufri Tanissan. Manikebu menyatakan pendirian, cita-cita, dan politik kebudayaan nasional yang berfalsafah Pancasila dan tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Hal ini dianggap tidak mencerminkan sikap yang progresif revolusioner di masa revolusi saat itu. Manikebu menjadi kelompok budayawan yang berseberangan dengan pemikiran Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi pada komunis. Menteri PP & K Prijono juga turut menyerang Manikebu dengan mempertanyakan mengapa Manikebu hanya mencantumkan Pancasila saja dan tidak menyebut Manipol. Para penyusun Manikebu menjadi bulan-bulanan serangan pribadi pihak Lekra dengan mencap Manikebu bukanlah Manipolis sejati. Tanggal 18 Mei 1964, presiden mengeluarkan larangan terhadap Manikebu dengan alasan Manifesto Politik RI sebagai pancaran Pancasila telah menjadi GBHN dan tidak dapat didampingi oleh manifesto lain yang bersikap ragu-ragu terhadap revolusi. Kebudayaan harus dijalankan di atas rel revolusi menurut petunjuk Manipol. Utara. Sementara itu, pemutaran film-film AS diboikot oleh PKI. PKI menggerakan lahirnya Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis AS (PAPFIAS). Bill Palmer, seorang pengusaha film AS, rumahnya di Gunung Mas dekat Puncak digrebek oleh massa pemuda dan kabarnya di rumah itu juga ditemukan copy Dokumen Gilchrist. Bill Palmer adalah kepala AMPAI (American Motion Pictures Assosiacition in Indonesia). Para pemuda menuntut agar AMPAI dibubarkan dan Bill Palmer diusir atau diadili karena dianggap sebagai seorang agen CIA di Indonesia. Pelarangan terhadap Manikebu juga berbuntut dengan dikeluarkannya instruksi Menteri PP & K dalam membina kepribadian bangsa dengan melarang potongan rambut The Beatles (gondrong) dan disasak secara berlebihan, dalam berpakaian dilarang menjiplak mode-mode luar negeri, dan juga menghilangkan nama panggilan yang kebarat-baratan, misalnya daddy, mom, papi, mami, mientje, fransje, mieke, dan wiesje. Kebijakan ganyang kebudayaan ngak-ngik-ngok membuat lagu-lagu barat misalnya Beatles dilarang. Tanggal 29 Juli 1965 Band Koes Bersaudara di Jakarta ditahan oleh Kejaksaan Tinggi/Istimewa Jakarta karena membawakan lagu ala Beatles. Bahkan menurut Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Anwas, Asisten II Bidang Operasi Komdak VII/Jaya, dalam suatu razia mengatakan piringan hitam dan pita rekaman The Beatles paling ampuh menanamkan Nekolim way of life dan paling efektif memberikan didikan jahat kepada generasi muda dan anak-anak yang sedang tumbuh. Dalam razia tersebut, sejumlah 22.000 buku penetrasi kebudayaan imperialis AS, 250 piringan hitam The Beatles, dan buku-buku berbau Manikebu, cabul, dan merusak akhlak anak-anak muda dibakar oleh massa rakyat revolusioner yang menyanyikan lagu “Hancurkanlah musuh kita Inggris dan AS”. Kebudayaan yang asalnya dari Barat, termasuk AS dan Inggris dilarang dan dianggap tidak cocok dengan budaya timur yang ada di Indonesia.

2.5  Kehidupan Pertahanan dan Keamanan
2.5.1   Pembebasan Irian Barat
Bentuk perjuangan alam rangka pembebesan Irian Barat melalui 2 cara,yaitu di bidang diplomasi dan bidang  militer :
a)     Bidang Diplomasi
Cara ini ditempuh guna menunjukkan niat baik indonesia mandahulukan cara damai dalam menyelesaikan persengketaan.perjuangan tersebut dilakukan dengan perundingan KBM 1949 Pasal 1 Tentang Penyerahan Kedaulatan Sepenuhnya Atas Indonesia (RIS). jalan diplomasi ini sudah dimulai sejak 1950 yang selanjutnya dijadikan program oleh setiap cabinet hingga tahun 1960 dalam pidatonya di depan Sidang Majelis Umum PBB yang berjudul ‘’Membangun Dunia Kembali’’ di mana Presiden Soekarno menegaskan kembali masalh irian yang dirangkaikan dengan masalah imperialisme. meskipun selalu mengalami kegagalan sebab belanda masih menguasai irian barat bahkan secara sepihak memasukkan irian barat ke dalam wilayah kerajaan Belanda.
Dalam masalah Irian Barat, AS mendukung setiap usaha diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia dengan Belanda untuk menghindari konflik terbuka. Salah satu bukti AS ingin berperan sebagai perantara dalam sengketa Irian Barat tampak pada tindakan AS yang memfasilitasi pelaksanaan perundingan Indonesia-Belanda di Washington pada tanggal 20 Maret 1962 dengan disaksikan pihak ketiga yaitu AS.
Pelaksanaan kepercayaan yang telah diberikan kedua belah pihak yang bersengketa, PBB melakukan kembali perundingan pada tanggal 31 juli 1962, dimana salah satu butir kesepakatannya berisi rencana penyerahan administrasi pemerintah Irian Barat ke Indonesia melalui suatu badan pemerintah PBB dan menjamin adanya hak menentukan pendapat rakyat Irian Barat.mengirimkan wakilnya MR. Sudjarwo Tjondronegoro, Adam Malik, Mr. Zairin Zain, dan Sukardjo Wirjopranoto untuk menghadapi delegasi Belanda yang terdiri dari Dr. Van Royen dan Schuurman. Dari perundingan itu, diterimalah usul dari Ellsworth Bunker, bekas Duta Besar AS di India, yang bertindak sebagai penengah dalam perundingan Indonesia-Belanda. Dari perundingan itu, diterimalah usul dari Ellsworth Bunker, bekas Duta Besar AS di India, yang bertindak sebagai penengah dalam perundingan Indonesia-Belanda. Serangkaian pembicaraan dilakukan di Washington antara delegasi Indonesia dan Belanda yang pada akhirnya menghasilkan rencana kompromistis yang lebih dikenal sebagai Rencana Bunker.Pembentukan badan administrasi di Irian Barat tersebut dinamakan UNTEA (United Nations Temporary Executif Authority).
b)        Bidang Militer (konfrontasi)
Dampak Dari Tindakan Konfrontasi Politik Dan Ekonomi Tersebut Maka Tahun 1961 Dalam Sidang Majelis Umum PBB terjadi perdebatan mengenai masalah irian barat.diputuskan bahwa diplomat Amerika Serikat Ellsworth bunker bersedia menjadi penengah dalam perselisihan antara indonesia dan Belanda. Bunker mengajukan usul yang dikenal dengan rencana bunker, yaitu :
1)    Pemerintah Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia.
2)   Setelah sekian tahun, rakyat irian barat harus diberi kesempatan untuk menentukan pendapat apakah tetap dalam negara republik indonesia atau memisahkan diri.
3)   Pelaksanaan penyelesaian masalah irian barat akan selesai dalam jangka waktu dua tahun.
4)   Guna menghindari bentrokan fisik antara pihak yang bersengketa, diadakan pemerintah peralihan di bawah pengawasan PBB selama satu tahun.
Indonesia menyetujui usul itu dengan catatan jangka waktu diperpendek. pihak belanda tidak mengindahkan usul tersebut bahkan mengajukan usul untuk menyerahkan irian barat di bawah pengawasan PBB. selanjutnya PBB membentuk negara papua dalam jangka waktu 16 tahun.jadi belanda tetap tidak ingin irian barat menjadi bagian dari indonesia. keinginan belanda tersebut tampak jelas ketika tanpa persetujuan PBB, Belanda mendirikan negara papua, lengkap dengan bendera dan lagu kebangsaan. tindakan belanda tersebut tidak melemahkan semangat bangsa indonesia.indonesia menganggap bahwa sudah saatnya menempuh jalan kekuatan fisik (militer).
Pada 17 Agustus 1960 hubungan diplomatik dengan belanda diputuskan. untuk meningkatkan perjuangan dewan pertahanan nasional merumuskan Trikora (Tri Komando Rakyat) dikepalai oleh Soerkarno pada 19 desember 1961 di Yokyakarta, di mana dalam rapat dewan pertahanan nasional bersama organisasi gabungan kepala staf serta komando tertinggi pembebasab Irian Barat memutuskan:
a)    Membentuk Provinsi Irian barat gaya baru dengan putra irian sebagai gubernurnya
b)    Membentuk Komando Mandala yang langsung memimpin kesatuan ABRI dalam tugas merebut irian barat
Sesuai dengan perkembangan situasi, trikora dijelaskan dengan intruksi panglima besra komando tertinggi  pembebasan Irian Barat No. 1 kepada panglima mandala yang isinya :
a)    Merencanakan, mempersiapkan, menyelenggarakan operasi-operasi militer yang bertujuan mengembalikan Wilayah Propinsi Irian Barat kedalam kekuasaan negara RI
b)    Mengembangkan situasi diwilayah propinsi Irian Barat
Hal tersebut bertujuan supaya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di wilayah propinsi irian barat dapat secara de fakto diciptakannya daerah-daerah bebas atau didudukkan unsur kekuasaan atau pemerintah RI.
2.5.2   Peritiwa 30 September 1965 (G 30 S/PKI)
Mencermati rangkaian peristiwa, secara teknis PKI mempersiapkan perebutan kekuasaan dengan melancarkan lima skenario sekaligus, yaitu persiapan rencana operasi (renops) gerakan militer dan politik secara tertutup, propaganda publik, penciptaan politik kesan bahwa gerakannya merupakan agenda Presiden, test case kesiagapan pimpinan TNI AD dan netralisasi potensi penghambat gerakan.
Kelima skenario itu dilakukan secara serentak sehingga memecah konsentrasi pihak lawan (ABRI dan kalangan nasionalis religius) untuk segera menyadari adanya perebutan kekuasaan oleh PKI.
Pertama, persiapan rencana operasi (renops) dan konsolidasi gerakan militer pembersihan pimpinan TNI-AD maupun gerakan politik untuk mengganti Kabinet Dwikora. Gerakan ini dilaksanakan melalui: (a) 3 kali rapat Politbiro, (b) lima kali rapat interen Biro Chusus Central (BCC), (c) satu kali rapat gabungan pendahuluan dan sepuluh kali “rapat komando pembersihan” (rapat gabungan antara BCC dengan pimpinan gerakan militer), (d) koordinasi intensif antara Aidit dan Sjam (laporan-laporan dan pembahasan hasil rapat internal BCC maupun rapat komando pembersihan), (e) pengiriman anggota CC (Comite Central) untuk mengarahkan operasi perebutan kekuasaan lokal, (f) koordinasi dan instruksi Sjam kepada pengurus Biro Chusus Daerah (BCD), dan (g) misi netralisasi satuan-satuan militer yang dianggap tidak memiliki komitmen untuk melaksanakan rencana PKI.
Kedua, propaganda publik yang dilakukan Aidit dan anggota CC Politbiro melalui ceramah dan media massa untuk mengesankan bahwa momentum revolusioner telah sampai puncak dan oleh karena itu kepada pelaksana inti gerakan, anggota PKI maupun simpatisannya tidak ragu-ragu bertindak. Perlu diingat, bahwa rencana perebutan kekuasaan yang akan dilakukan PKI dibangun di atas “fatamorgana situasi revolusioner” berupa argumentasi dan justifikasi moral yang rapuh. Justifikasi moral itu berupa isu rencana kudeta Dewan Jenderal terhadap Presiden pada tanggal 5 Oktober 1965 yang harus didahului, adanya dokumen Gilchrist yang dihembuskan sebagai bukti dukungan CIA terhadap Dewan Jenderal dan masa depan Presiden yang tidak akan berumur panjang.
Ketiga, penciptaan politik kesan bahwa gerakan mendahului Dewan Jenderal merupakan perintah Presiden. PKI (melalui ketua Biro Chusus Central, Sjam) menanamkan pemahaman mengesankan bahwa pembersihan (penculikan) para Jenderal TNI AD merupakan bagian dari usaha melindungi Presiden dari coup Dewan Jenderal. Penciptaan politik kesan dimaksudkan untuk memperoleh dukungan dari satuan-satuan ketentaraan yang dijadikan target untuk menjalankan misi “pembersihan” terhadap pimpinan TNI AD. Argumentasi ini bukan ditujukan sebagai konsumsi Letkol Untung, Mayor Udara Sujono maupun Kol. A. Latief yang sejak awal, dalam rapat-rapat “komando pembersihan” telah mengetahui adanya skenario pembentukan Dewan Revolusi sebagai pengganti Kabinet Dwikora (perebutan kekuasaan). Pemilihan Letkol Inf. Untung dan penggunaan sebagian pasukan Tjakrabirawa sebagai unsur pasukan pengawal Presiden merupakan bagian dari upaya mengelabui berbagai pihak seperti kesatuan 530 & 454 untuk secara fanatik termobilisasi dan mendukung gerakan pembersihan pimpinan TNI AD dalam rangka menyelamatkan Presiden.
Keempat, test case kesigapan pimpinan TNI-AD melalui hembusan isu penculikan. Sebagaimana kasus tanggal 18 September, kesiagaan para Jenderal TNI AD terhadap isu akan adanya penculikan yang dilaporkan Jenderal S. Parman kepada Jenderal A. Yani ternyata tidak menemukan bukti. Hal itu menyebabkan informasi rencana penculikan berikutnya (sebagaimana diterima Mayjen MT. Haryono) antara tanggal 29 s/d 30 September, tidak ditanggapi dan diantisipasi secara memadai. Terlepas adanya analisis bahwa masalah kesiapan teknis merupakan faktor penyebab penundaan hari H dan jam J penculikan para Jenderal, penundaan tersebut telah menyebabkan ketidakpastian informasi seputar kapan pelaksanaan penculikan para Jenderal akan dilakukan.
Kelima, netralisasi potensi penghambat gerakan. Langkah ini dilakukan dengan mengirimkan 600 pejabat negara untuk menghadiri undangan pemerintah RRC dalam peringatan HUT Kemerdekaan RRC 1 Oktober 1965. Pengosongan pejabat tinggi negara itu dimungkinkan atas pertimbangan:
1.    Untuk mengurangi potensi kritis terhadap langkah-langkah PKI sehingga perebutan kekuasaan berjalan dengan mulus. Eksodusnya para pejabat tinggi, menjadikan arena pertarungan hanya menyisakan barisan PKI dan sedikit lawan yang tidak mampu menggerakkan kekuatan birokrasi pemerintahan untuk menghadang langkah-langkah PKI.
2.    Untuk mempermudah pergantian pejabat tinggi dengan calon-calon PKI. Ketika gerakan perebutan kekuasaan di Indonesia berhasil, para delegasi Indonesia yang sedang berada di RRC dapat dengan mudah dihabisi oleh kader-kader Komunis RRC dan posisinya di Indonesia diganti oleh calon-calon PKI.
Mencermati skenario tersebut, keputusan PKI melakukan perebutan kekuasaan pada tahun 1965 dilatarbelakangi oleh dua kemungkinan di antaranya yaitu:
Pertama, Jatuh sakitnya “kawan sementara” sosok Presiden Soekarno yang powerful dan kharismatis, dijadikan momentum bagi PKI untuk mengevaluasi koalisi taktisnya dengan kalangan borjuasi nasional dan segera memutuskan skema baru perebutan kekuasaan di Indonesia.
Kedua, PKI merasa cukup percaya diri dengan situasi revolusioner yang diciptakannya atau mungkin juga karena dukungan/dorongan “partai sekawan” dalam payung Comintern (Communist International) maupun negara–negara Komunis tetangga khususnya RRC untuk segera mengambil alih kekuasaan di Indonesia. PKI kemudian menciptakan politik medis dengan memanfaatkan dokter-dokter Cina untuk mempengaruhi (mengerjai) kesehatan Presiden. Melalui dua kemungkinan itu Presiden Soekarno benar-benar sakit atau sakitnya diskenariokan dokter-dokter Cina atas pesanan Aidit dan pemerintah RRC PKI mempersiapkan perebutan kekuasaan di Indonesia melalui skema sederhana. Tahap pertama, akuisisi kekuatan militer (TNI AD) dengan mengganti masinisnya untuk digantikan orang-orang yang bisa dikendalikan PKI. Keberhasilan akuisisi TNI-AD akan segera menjadikan PKI memiliki superiotas politik dan militer sekaligus.


BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Munculnya demokrasi Terpimpin dilatar belakangi oleh beberapa faktor diantaranya adalah Kegagalan Badan Konstituante dalam menyusun undang-undang dasar baru, presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959 yang bertujuan untuk menyelamtkan negara yang dalam kondisi genting, munculnya gerakan separatis yang ingin mengambil alih kekuasaan secara paksa, sering berganti-ganti kebinet dan munculnya persaingan di masing-masing parpol.
            Kehidupan politik pada masa Demokrasi Terpimpin dilakukan tindakan perubahan dalam menata pilitik dalam negeri maupun politik luar negeri, terlihat dengan adanya beberapa tindakan yaitu: 1) Indonesia lebih condong pada politik NEFO (New Emerging Forces), 2) Munculnya politik Mercusuar, 3) Munculnya politik poros antara Jakarta-Peking dan 4) Indonesia keluar dari PBB, keempat tindakan tersebut merupakan pembaharuan bagi Politik Luar Negeri. Sedangkan tindakan-tindakan pembaharuan bagi Politik Dalam Negeri diantaranya adalah 1) Kedudukan presiden di bawah MPRS berdasarkan UUD 1945 akan tetapi dalam kenyataannya MPRS tidak memiliki kekuasaan, 2)Presiden diangkat seumur hidup, 3)Presiden membentuk MPRS, 4)Manifesto politik Republik Indonesia, 5)Pembubaran DPR hasil pemilu dan pembentukan DPR-GR, 6)Pemasyarakatan ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis), dan 5)Perjuangan pembebasan Irian Barat.
            Kemudian kehidupan ekonomi pada masa demokrasi terpimpin tindakan-tindakan pembaharuan yang dilakukan yaitu 1)Membentuk Dekon (BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Indonesia yang ada sekarang, tidaklah langsung demikian adanya. Melewati berbagai peristiwa bersejarah yang sangat berpengaruh terhadap terbentuknya Indonesia seperti yang kita kenal sekarang ini. Banyak hal yang telah dilalui bangsa ini demi terciptanya bangsa yang merdeka sepenuhnya dan diakui eksistensinya oleh dunia. Mulai dari perjuangan merebut atau memperoleh kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah, hingga pergolakan yang terjadi pasca merdeka.
Pergolakan yang terjadi setelah Indonesia merdeka terhitung banyak sekali. Mulai dari ancaman akan datangnya penjajah kembali ke Indonesia, hingga pergolakan yang ada dalam tubuh Indonesia itu sendiri. Pergolakan yang timbul sebagai luapan rasa tidak puas atau kecewa dengan kebijakan atau sistem yang pemerintah ciptakan pada masa itu. Pergolakan timbul kebanyakan berkaitan dengan masalah politik Indonesia saat itu, yang kemudian dampaknya akan menjalar ke berbagai aspek tidak hanya dalam politik saja.
Di tengah-tengah krisis tahun 1957, diambillah langkah-langkah pertama menuju suatu bentuk pemerintahan yang oleh Soekarno dinamakan “demokrasi terpimpin”. Ini merupakan suatu sistem yang tidak tetap, yang dilahirkan dari krisis dan terus-menerus berubah sepanjang masa yang paling kacau dalam sejarah Indonesia sejak Revolusi. Demokrasi terpimpin didominasi oleh keprobadian Soekarno, walaupun prakarsa pelaksanaanya diambilnya bersama-sama dengan pimpinan angkatan bersenjata. Pada waktu itu, beberapa pengamat menganggap Soekarno sebagai diktator dan, ketika sikapnya semakin berapi-api, beberapa pengamat cenderung menganggapnya hanya sebagai sebuah karikatur yang sudah lanjut usia. Soekarno tidak seperti itu semua. Dia adalah ahli manipulator rakyat dan manipulator lambang-lambang. Dia dapat berpidato kepada khalayak ramai atau membuat terpesona musuh yang potensial dengan sama mudahnya, meskipun dia juga sangat ahli dalam membenci musuh-musuhnya. Dia menawarkan sesuatu untuk diyakini kepada bangsa Indonesia, sesuatu yang diaharapkan banyak orang akan memberi mereka dan negara mereka martabat atau kebanggaan. Kekuatan-kekuatan besar lainnya berpaling kepadanya untuk mendapatkan bimbingan, legitimasi, atau perlindungan. Dengan menampilkan dirinya ke depan dalam krisis tahun 1957, maka ia didukung oleh para pemimpin lainnya dalam mempertahankan posisi sentralnya. Akan tetapi, semua ini adalah untuk mendukung suatu keseimbangan politik yang bahkan tidak dapat ditegakkan oleh Soekarno, suatu keseimbangan politik yang merupakan kompromi antara kepentingan-kepentingan yang tidak dapat dirujukkan kembali dan, oleh karenanya, tidak memuaskan semua pihak. Meskipun Soekarno memiliki pandangan tentang masa depannya sendiri, tetapi dia tidak mempunyai satu pun pandangan (atau setidak-tidaknya satu pun pandangan yang akhirnya dapat diterima oleh pemimpin lainnya) mengenai masa depan negara dan bangsanya. Janji dari demokrasi terpimpin adalah palsu.
Dengan latar belakang yang telah kami paparkan diatas, dalam makalah ini kami akan membahas mengenai sebuah ideologi yang pernah berlaku di Indonesia, yang juga membawa pengaruh dan dampak cukup besar bagi sejarah dan kehidupan politik Indonesia pada masa itu, yaitu mengenai Demokrasi Terpimpin.

1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, rumusan masalah yang dapat kami paparkan yaitu :
1.      Bagaimana lahirnya Dekrit Presiden  5 Juli 1959 ?
2.      Bagaimana keadaan politik pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)?
3.      Bagaimana keadaan ekonomi pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)?
4.      Bagaimana keadaan sosial – budaya pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)?
5.      Bagaimana keadaan HANKAM pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)?

1.3  Tujuan
1.      Menganalisis lahirnya dekrit presiden 5 Juli 1959
2.      Menganalisis keadaan politik pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)
3.      Menganalisis keadaan ekonomi pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)
4.      Menganalisis keadaan sosial – budaya pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)
5.      Menganalisis keadaan sosial – budaya pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)






















BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar besaran menuntut pembuatan suatu negara kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, negara Indonesia Timur, dan negara Sumatra Timur dihasilkan pembentukan negara kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950. Sejak 17 Agustus 1950, negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang – Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer di Indonesia. Kemudian muncullah pergantian perdana menteri selama 7 kali yang akibatnya juga mempengaruhi kehidupan politik di Indonesia.
Konstituante diberikan tugas untuk membuat undang – undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. UUDS 1950 ditetapkan berdasarrkan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang perubahan konstitusi sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam sidang pertama abak ke 3 rapat ke 71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.
Dekrit presiden 5 Juli 1959 dikenal sebagai suatu peristiwa yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Yang mengantarkan Indonesia kepada demokrasi baru yang sama sekali berbeda dari demokrasi yang telah digunakan sebelumnya.
Dekrit 5 juli 1959 dapat dipahami sebagi seuatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui kepembentukan kepemimpinan  yang kuat. Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit sebagai langkah untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa  dan juga merupakan tonggak sejarah indonesia, karena telah berhasil menyelamatkan bangsa dan negara, menyelamatkan Pancasila dan UUD 1945 dari segala macam gangguan di berbagai bidang yaitu ideologi dan politik, konstitusi dan hokum, ekonomi, sosial dan budaya, moral serta agama. Dekrit yang dilaksanakan oleh Presiden SSoekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapat sambutan dari masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan kehidupan negara yang stabil. Namun kekuatan Dekrit tersebut bukan hanya berasal dari sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti Mahkamah Agung (MA) dan Kepala Satuan Angkatn Darat (KSAD).
Dekrit Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD.
Keadaan seperti ini semakin menggoncangkan situasi politik Indonesia pada saat itu. Bahkan masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Sementara itu, sejak akhir tahun 1956 keadaan kondisi dan situasi politik Indonesia semakin memburuk dan kacau. Keadaan semakin memburuk karena daerah-daerah semakin memperlihatkan gejolak dan gejala separatisme seperti pembentukan Dewan Banteng, dewan Gajah, Dewan Garuda, Dewan Manguni dan Dewan Lambung Mangkurat. Daerah-daerah tersebut tidak lagi mengakui pemerintahan pusat dan bahkan mereka membentuk pemerintahan sendiri, seperti PRRI dan PERMESTA.
Keadaan yang semakin bertambah kacau ini dapat mengancam keutuhan Negara dan bangsa Indonesia dari dalam negeri. Suasana semakin bertambah panas, ketegangan-ketegangan diikuti oleh keganjilan sikap dari setiap partai politik dalam konstituante. Rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang. Konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.
Pada tanggal 22 April 1959, didepan sidang konstituante, Presiden Soekarno menganjurkan kembali kepada UUD 1945 sebagai UUD Negara RI. Menanggapi pernyataan Presiden Soekarno tanggal 30 Mei 1959 konstituante mengadakan siding pemungutan suara. Hasil pemungutan suara menunjukkan bahwa mayoritas anggota konstituante menginginkan kembali berlakunya UUD 1945 sebagai UUD Negara RI. Namun, jumlah suara tidak mencapai 2/3 dari anggota konstituante seperti yang diisyaratkan pasal 137 UUDS 1950. Pemungutan suara diulang kembali tanggal 1 dan 2 Juni 1959, tetapi juga mengalami kegagalan dan tidak mencapai 2/3 dari jumlah suara yang dibutuhkan. Dengan demikian, sejak tanggal 3 juni 1959 Konstituante mengadakan reses (istirahat).
Untuk menghindari bahaya yang disebabkan oleh kegiatan partai-partai politik, maka pengumuman istirahat konstituante diikuti dengan larangan melakukan segala bentuk kegiatan terhadap partai politik. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan membubarkan konstituante serta memberlakukan UUD 1945. Pemberlakuan kembali UUD 1945 merupakan langkah terbaik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden.
Alasan Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959:
1)       Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
2)       Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.
3)       Situasi politik yang kacau dan semakin buruk.
4)       Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme.
5)       Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional
6)       Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat
7)       Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.
Yang kemudian mengahsilkan sebuah keputusan yang dikenal dengan istilah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang isinya yaitu :
1)       Pembubaran Konstituante;
2)       Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950;
3)       Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Kebijakan Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit kemudian membubarkan Kabinet Djuanda tanggal 9 juli 1959 di gantikan dengan kabinet kerja, dimana Presiden soekarno bertindak sebagai kepala pemerintahan, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri pertama. Bulan juli itu juga Presiden Soekarno mengumumkan  kabinetnya terdiri dari 9 menteri yang disebut “Menteri-Menteri kabinet inti” dan 24 orang itu di sebut “Menteri Muda”. Fakta menarik terungkap dari pembentukan kabinet kerja yang di gagas oleh Presiden Soekarno, ternyata menteri-menteri didalamnya hampir mendominasi dari golongan militer (TNI-AD) dengan komposisi 12 orang menduduki jabatan menteri, bahkan 2 dari golongan militer (TNI-AD) masuk dalam menteri kabinet inti. Berbicara mengenai peran militer dalam politik pada masa demokrasi terpimpin, dimana militer memiliki peran ganda dalam negara yaitu sebagai fungsi pertahan dan perannya dalam dunia politik (Sitepu,2009:21)
“Pada awal tahun 1959 tampak gejala makin berkurangnya ancaman terhadap disintegrasi bangsa dilihat dari gejolak dan pemberontakan daerah. Dalam pidato peringatan HUT 17 Agustus 1959, presiden Sukarno telah menemukan jawaban atas permasalahan yang bersifat dualistik: “dualisme antara pemerintah dan kepemimpinan revolusi” antara “masyarakat adil makmur dan masyarakat kapitalis” antara “gagasan revolusi belum selesai dan kebutuhan akan konsolidasi”. (Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya hal 265)
Dari penejelasan diatas, jelaslah bahwa yang dinamakan presiden Soekarno telah menemukan jawaban dari beberapa permsalahan yang saat itu tengah berkemelut, yaitu dengan mengganti demokrasi liberal (yang dianut bangsa Indonesia) menjadi demokrasi terpimpin. Adanya perubahan ini membawa dampak dalam berbagai aspek bangsa.
2.2 Keadaan Politik
Setelah dekrit tanggal 5 Juli 1959, sistem demokrasi terpimpin diterapkan di Indonesia karena memang kondisi yang menuntut agar dilakukan perubahan sistem politik, sehingga hubungan antara sistem politik dengan kondisi yang terjadi sangat erat. Sistem politik dipengaruhi oleh segala macam hal yang terjadi disekelilingnya. Harapan dari sistem demokrasi terpimpin mengandung aspek restabilisasi  politik, artinya kepemimpinan yang menguat mulai dari pusat hingga daerah, tujuan tersebut untuk merapikan struktur negara yang tercerai-berai, sehingga arah pembangunan bangsa Indonesia menjadi tersusun rapi dan tertata dengan satu tujuan revolusi menjadi Negara kuat dan stabilitas politik terjaga, apabila tercipta stabilitas politik akan membawa hasil akan terjamin kesejahteraan rakyat, serta mencegah terjadinya disintegrasi bangsa Indonesia.
Sesuai naskah Kembali  Kepada Undang-Undang  Dasar  1945” tertulis jawaban pemerintah tanggal 25 Maret 1959 yang disampaikan oleh Ir. Djuanda, rancangan demokrasi terpimpin memiliki isi dan arti sebagai berikut:
1)      Demokrasi terpimpin ialah demokrasi menurut Undangan-Undang Dasar 1945ke rakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
2)      Demokrasi terpimpin bukan diktator dan berbeda pula dengan demokrasi liberal.
3)      Demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia.
4)      Demokrasi terpimpin adalah demokrasi disegala soal kenegaraan dan kemasyarakatan, meliputi bidang-bidang politik, ekonomi dan sosial.
5)      Demokrasi terpimpin adalah alat, bukan tujuan.
6)      Tujuan melakasanakan demokrasi terpimpin  ialah mencapai suatu masyarakat yang adil dan makmur melalui ekonomi terpimpin.
7)      Demokrasi terpimpin juga mengenal kebebasan berfikir dan berbicara, tetapi dalam            batas-batas tertentu yaitu batas kepentingan rakyat, kepetingan keselamatan negara dan kepribadian bangsa.
2.2.1 Pembentukan Lembaga Pemerintahan
a.  Pembentukan kabinet
Kabinet pada masa demokrasi terpimpin dilantik pada tanggal 10 juli 1959 dengan nama kabinet kerja,bertindak sebagai kepala pemerintahan adalah presiden soekarno sedangkan Ir Djuanda ditunjuk sebagai menteri pertama dibantu dengan dua orang wakilnya J Leimena dan Subandrio. Program jangka pendek dari kabinet meliputi; sandang pangan, keamanan dalam negeri, pembebasan irian barat dan melanjuaatkan perjuangan anti imperiallisme. Selanjutnya program jangka panjang dari kabinet tersebut bertujuan agar tercipta maasyarakat yang adil dan makmur serta melenyapkan kolonialisme dan imperialisme menuju perdamaian dunia.
Karena tidak ada wakil presiden, maka presiden mengadakan jabatan menteri pertama. Ir. Djuanda ditunjuk untuk memegang jabatan itu. Program kabinet kerja yang terkenal dengan nama Triprogram. Triprogram itu meliputi :
1.      Mencukupi kebutuhan sandang pangan
2.      Menciptakan keamanan negara
3.      Mengembalikan Irian Barat
Kabinet kerja pada masa demokrasi terpimpin tidak bersifat permanen, artinya kabinet ini juga mengalami pergantian struktur maupun posisi menteri yang duduk dalam kabinet. Kabinet yang dilantik pada tanggal 10 Juli 1959 merupakan kabinet kerja I karena dalam pelaksaan demokrasi terpimpin terjadi beberapa kali pergantian kabinet kerja dan terjadi juga pergantian nama kabinet seperti beikut:
a. Kabinet Kerja I dilantik pada tanggal 10 Juli 1959 dan berakhir masa kerjanya tanggal 18 Februari 1960, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan Ir Djuanda sebagai menteri pertama.
b. Kabinet Kerja II dilantik pada tanggal  18 Februari 1960 dan berakhir masa kerjanya tanggal 6 Maret 1962, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan menteri pertama Ir. Djuanda Kartawidjaja bersama wakil menteri pertama J. Leimena.
c. Kabinet Kerja III dilantik pada tanggal 6 Maret 1962 dan berakhir masa kerjanya tanggal 13 November 1963, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan menteri pertama Ir. Djuanda Kartawidjaja bersama J. Leimena sebagai wakil menteri pertama I ditambah Subandrio sebagai wakil menteri pertama II. wakil menteri pertama/koordinator pertahanan/keamanan dijabat A.H. Nasution sejak tanggal 22 Januari 1962 diubah menjadi Wakil Menteri Pertama/Menteri/Kepala Staf Angkatan Bersenjata.
d. Kabinet Kerja IV dilantik pada tanggal 13 November 1963 sesuai dengan surat keputusan presiden No. 232/1963 tertanggal 13 November 1963 dan berakhir pada tanggal 27 Agustus 1964, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan Subandrio sebagai wakil kepala pemerintahan I, J. Leimena sebagai wakil kepala pemerintahan II ditambah Chaerul Saleh sebagai wakil kepala pemerintahan III. Ketiga wakil Kepala pemerintahan merupakan satu Presidium yang berada langsung di bawah Presiden/kepala pemerintahan.
e. Kabinet Dwikora I dilantik pada tanggal 27 Agustus 1964 dan berakhir masa kerjanya sampai tanggal 22 Februari 1966, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan Subandrio sebagai wakil kepala pemerintahan I, J. Leimena sebagai wakil kepala pemerintahan II ditambah Chaerul Saleh sebagai wakil kepala pemerintahan III.
f. Kabinet Dwikora II dilantik pada tanggal 24 Februari 1966 dan berakhir masa kerjanya sampai tanggal 28 Maret 1966, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan Subandrio sebagai wakil kepala pemerintahan I, J. Leimena sebagai wakil kepala pemerintahan II ditambah Chaerul Saleh sebagai wakil kepala pemerintahan III ditambah K.H. Idham Chalid wakil kepala pemerintahan IV serta menteri penerangan diperbantukan ke Presidium. Tanggal 18 Maret 1966 Subandrio dan Chaerul Saleh serta beberapa menteri lain ditangkap akibat gejolak politik paska Gerakan 30 September, sehingga posisi beberapa menteri menjadi kosong sampai terbentuknya kabinet baru.
g. Kabinet Dwikora III dibentuk tanggal 28 Maret 1966 dan berakhir masa kerjanya sampai tanggal 25 Juli 1966, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan J. Leimena sebagai wakil kepala pemerintahan untuk Urusan Umum.
h. Kabinet Ampera I dibentuk tanggal 25 Juli 1966 dan berakhir masa kerjanya sampai tanggal 17 Oktober 1967, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan ketua Presidium adalah Letjen Soeharto, untuk selanjutnya kabinet ini diteruskan oleh Soeharto selaku Pjs. Presiden Seokarno.
b.  Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung
            Setelah kabinet terbentuk tanggal 22 Juli 1959 langkah selanjutnya Presiden Soekarno adalah membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA), sebagai penetapan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) maka Presiden Soekarno mengelurkan Penpres No. 3 tahun 1959. Lembaga ini terdiri dari empat puluh tiga anggota, diluar Presiden Soekarno sendiri sebagai ketua dan Roeslan Abdulgani sebagai wakil ketua, pengangkatan anggota tersebut didasarkan kepada tiga golongan. Pemimpin-pemimpin dari sepuluh partai penting yang tidak disertakan dalam kabinet kemudian diberikan dua belas kursi di DPA. Golongan kedua terdiri dari wakil-wakil daerah, delapan kursi. Selebihnya, dua puluh tiga kursi, diberikan kepada wakil-wakil golongan kekaryaan (Legge, 1985:359).
Dasar hukum pembentukan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) berlandaskan kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku pada masa demokrasi terpimpin yaitu tertuang pada Pasal 16 Ayat 1 dan 2. Kedudukan Dewan Pertimbangan Agung merupakan lembaga negara dengan prinsip dan falsafah kekeluargaan sebagai pemberi jawaban dan pertimbangan-pertimbangan atas pertanyaan pemerintah. Sehubungan fungsi Dewan Nasional yang hampir mirip dengan Dewan Pertimbangan Agung maka pada tanggal 12 Juli 1959 Dewan Nasional dibubarkan pada sidang VII bertempat di Istana Bogor.
Selanjutnya pada tanggal 15 Juli 1959 dilaksanakan pelantikan Dewan Pertimbangan Agung. Tugas dan fungsi dari Dewan Pertimbangan Agung (DPA) adalah memberikan jawaban dan nasehat maupun usulan kepada pemerintah baik dibutuhkan atau tidak, Presiden Soekarno juga menjelaskan bahwa Dewan Pertimbangan Agung hampir memiliki tugas yang sama dengan Dewan Nasional. Dewan Pertimbangan Agung lebih tegas disebut di dalam Undang Undang Dasar 1945 tetapi juga karena Dewan Pertimbangan Agung bukan hanya diketuai oleh Presiden Soekarno seperti Dewan Nasional, tetapi di ketuai oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan (Tumakaka, 1996:151).
c. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS)
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dibentuk bersadarkan Penpres No. 2 Tahun 1959. Para anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh presiden dengan sejumlah persyaratan : setuju kembali kepada UUD 1945, setia kepada perjuangan RI, dan setuju pada manifesto politik. Keanggotaan MPRS terdiri atas 61 orang anggota DPR, dan 200 wakil golongan. Pada saat itu, ABRI mulai terjun ke dunia politik. Hal ini sesuai dengan ide Dwifungsi ABRI yang dicetuskan oleh A.H Nasution. Tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis – garis Besar Haluan Negara. Berikut merupakan beberapa keputusan yang dibuat oleh MPRS:
1.      Melaksanakan Manifesto Politik
2.      Pengankatan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup
3.      Pidato presiden yang berjudul “Berdiri di atas kaki sendiri” sebagai pedoman revolusi dan politik luar negeri.
Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959 yanggal 31 Desember 1959 merupakan dsar hukum pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagaimana memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
a.    Syarat-syarat keanggotaan DPR berlaku uga bagi anggota MPRS dengan tambahan syarat membacadan menulis diartikan membaca dan menulis huruf latin.
b.    Setuju dengan kembali ke UUD 1945
c.    Tidak cacat dalam perjuangan Revolusi . Syarat ini dianggap sebagai suatu syarat cacat.
d.   Setuju kepada Manifesto Politik yang diucapkan oleh Presiden oleh Presiden tanggal 17 Agustus 1959 ( Tumaka:161)
Jumlah MPRS yang dibentuk pada tahun 1960 terdiri dari 616 anggota (Legge 1985:358), jumlah tersebut nampaknya setelah Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu tahun 1955 dan membentuk DPR GR, jumlah pasti keanggotaan Majelis Permusyawarata Rakyat (MPR) memang tidak dijelaskan dengan mendetail dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 2 ayat 1.
Mengatasi jumlah keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) maka presiden Soekarno mengajukan pertanyaan kepada Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam sidang I tanggal 27 Agustus 1959 , kemudian dalam sidang II tanggal 23 September 1959 melahirkan sebuah jawaban dari Dewan Pertimbanagan Agung (DPA) terkait jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).Jumlah anggotanya tidak lebih sedikit dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) karena dianggap akan membahayakan kondisi politik apabila terjadi pemungutan suara terbanyak seperti yang terjadi pada waktu Konstituante dan akan mengalami kembali kemacetan politik.Mengingat tugas dari Maajelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) keepan sangat menentukan untuk menetapkan Undang-undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sesuai pasal 3 memilih Presiden dan Wakil Presiden pada pasal 6 ayat 2 Undang Undang Dasar 1945.
Tugas dan wewenang Majelis Permusyawatan Rakyat Sementara (MPRS) adalah melaksanakan pasal 3 dan pasal 6 ayat 2 Undangan-Undang Dasar 1945 tidak secara utuh harus dilaksanakan keseluruhan, sebab sesuai saran dan nasehat Dewan Pertimabngan Agung (DPA) bahwa kedudukan Majelis Permusyawatan Rakyat Sementara (MPRS) hanya bersifat sementara, maksudnya adalah tidak merubah dan mengganti Undang-Undang Dasar 1945 serta memilih Presiden/Wakil Presiden, jelas bahwa wewenang dari Majelis Permusyawatan Rakyat Sementara (MPRS) hanya mengesahkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pendapat ini juga dipertegas oleh Presiden Soekarno dalam amanat negara pada pembukaan sidang pertama MPRS tanggal 10 November 1960.
d. Pembentukan Front Nasional
Front Nasional adalah sebuah pengorganisaian massa dengan maksud dan tujuan bersama menghimpun kekuatan untuk tercapainya sebuah gerakan massa berlandaskan gotong-royong untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia, Presiden Soekarno juga mempertegas maksud dari gagasan akan  di bentuk  lembaga front Nasional yaitu akan dibentuk untuk menggalang seluruh rakyat. Lembaga tersebut harus menggalang seluruh kekuatan kegotong-royong rakyat. Front Nasional harus menggalang semangat dan tenaga di kalangan rakyat, kemudian dijadikan satu gelombang “holobis kuntul baris” untuk menyelesaikan revolusi (Soekarno, 1959:69).
Front Nasional lahir dari gagasan Presiden Soekarno kemudian peran Dewan Pertimbangan Agung ikut serta mendorong kesepakatan pembentukan lembaga tersebut, melalui saran dan pertimbangan yang disampaikan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) maka dikelurkan Penetapan Presiden  No.13/1959 tanggal 31 Desember 1959 tentang Front Nasional yang mengatur pembentukan azas,tujuan,tugas dan lain-lain dari Front Nasional. Kemudian melalui Keputusan Presiden No.34 tahun 1960 tanggal 23 april dibentuk panitia persiapan untuk mempersiapkan program dengan batas waktu penyusunan paling lambat pada akhir bulan Mei 1960. Tanggal 8 September 1960 Pengurus Besar Front Nasional dilantik oleh Presiden Soekarno di Istana Negara. Tugas dari Front Nasional adalah :
1.  Menyelesaikan revolusi nasional
2.  Melaksanakan pembangunan
3.  Mengembalikan Irian Barat
e.    Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR – GR)
Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, para anggota DPR hasil pemilu 1955 menyatakan kesediaannya untuk bekerja terus. Setelah adanya kesediaan, para anggota DPR itu, pemerintah mengeluarkan ketetapan pada tanggal 22 Juli 1959 tentang penetapan DPR. DPR hasil pemilu 1955 ditetapkan berdasarkan Penpres No.1 tahun 1959 yang dilantik pada tanggal 23 Juli 1959 dan awalnya anggota DPR hasil pemilu 1955 akan mengikuti saja kebijakan presiden Ir. Soekarno. Akan tetapi, DPR hasil pemilu 1955 ternyata menolak Rencana Anggaran Belanja Negara (RAPBN) tahun 1960 yang diajukan oleh pemerintah. Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,  dari 44 milyar rupiah yang diajukan Pemerintah hanya disetujui sekitar 36 sampai 38  milyar rupiah  (Budiardjo,  2003:192). Langkah pembubaran DPR hasil pemilu 1955  disebut retooling. Istilah retooling telah dijelaskan oleh Presiden Soekarno dalam  pidato  17  Agustus  1959  Manifesto  Politik  bahwa  retooling  berarti  mengganti sarana-sarana, alat-alat dan aparatur negara yang tidak sesuai dengan pikiran demokrasi terpimpin. Retooling juga berarti  menghemat segala sarana-sarana dan alat-alat yanmasih dapat digunakan(Soekarno, 1959:50).
Penolakan RAPBN tersebut menyebabkan keluarnya Penpres NO.3 tahun 1960 tentang pembubaran DPR hasil pemilu 1955. Tindakan itu disusun dengan pembentukan DPR baru yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong atau DPR-GR pada tanggal 24 Juni 1960.
Semua anggota DPR-GR adalah hasil penunjukan presiden tanpa didasarkan pada perimbangan kekuatan partai politik pemilu 1955. Anggota DPR-GR terdiri atas wakil – wakil golongan politik, golongan karya, dan seorang wakil dari Irian Barat. Keanggotaan DPR-Gr dibahas dan disusun oleh presiden di Istana Tampaksiring, Bali. Pembentukan DPR-GR mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak. Kelompok yang menolak ini, kemudian membentuk wadah yang dinamakan Liga Demokrasi yang diketuai oleh Imron Rosyadi dari NU. Partai yang tergabung dalam liga ini adalah NU, Parkindo, Partai Katolik, Liga Muslimin, PSII, IPKI dan Masyumi. Pada akhir bulan Maret 1960, liga ini mengeluarkan pernyataan agar dibentuk DPR yang lebih demokratis dan konstitusional. Liga Demokrasi meminta agar peresmian DPR-GR ditangguhkan.
Menanggapi pernyataan dari Liga Demokrasi tersebut, presiden Ir. Soekarno bersikap tegas dan menegaskan bahwa demokrasi terpimpin harus berjalan dengan baik dan DPR-GR harus segera bekerja. Liga Demokrasi yang menolak DPR-GR segera dilarang. Pada tanggal 25 Juni 1960, presiden meresmikan dan melantik anggota DPR-GR yang berjumlah 283 orang. Dari seluruh anggota DPR-GR, tidak ada seorangpun yang berasal dari PSII dan Masyumi. Dalam pidato pelantikannya, presiden Ir. Soekarno menjelaskan bahwa tugas DPR-GR adalah:
1.    Melaksanakan Manipol
2.    Merealisasikan “amanat penderitaan rakyat”
3.    Melaksanakan demokrasi terpimpin
Dalam upacara pelantikan wakil – wakil DPR-GR tanggal 5 Januari 1961, presiden Ir.Soekarno kembali menjelaskan kedudukan DPR-GR sebagai pembantu presiden atau mandataris MPRS.
2.2.2 Kebijakan Politik Dalam Negeri
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) memberikan pernyataan bahwa Manifesto Politik tersebut adalah penjelasan resmi dari dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sehingga tidak dapat dipisahkan antara Manifesto Politik dan dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, apabila ingin memahami dekrit Presiden harus memahami Manifesto Politik begitu pula sebaliknya. Manifesto Politik tidak memiliki kesamaan dengan Manisfesto Komunis tahun 1848 yang tulis oleh Karl Marx dan Freidrich Ennggels, Manifesto Politik memiliki maksud dan tujuan sebuah revolusi menuju sosialisme Indonesia. Dalam pidato-pidatonya di awal tahun 1959, Presiden Soekarno mengungkapkan bahwa revolusi Indonesia memiliki lima gagasan penting (Feith, 1995:80). Intisari 5 hal penting dari Manifesto Politik diungkapkan Presiden Soekarno pada bulan Februari 1960 pada acara pembukaan kongres pemuda dikota Bandung yaitu:
1.Undang-Undang Dasar 1945.
2.Sosialisme Indonesia.
3.Demokrasi terpimpin
4.Ekonomi terpimpin
5.Kepribadian Indonesia
Dari kelima kata tersebut dapat diambil huruf depan menjadi USDEK, sebenarnya istilah Usdek tidak secara resmi ditetapkan oleh Presiden Soekarno melainkan istilah Usdek di peroleh dari rapat pamong praja di Jawa Barat. Ketua DPRD bernama Kosasih, dalam penyampiannya dianjurkan untuk menghafal lima intisari Manifesto Politik dalam rangkian Usdek, sehingga dalam penggunaannya sering di sebut Manipol-Usdek. Penjelasannya adalah apabila sepakat dengan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan yang terkandung pada amanah sosialisme Indonesia, apabila sepakat dengan sosialisme Indonesia maka pelaksaannya melalui demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin, kesemuanya itulah adalah Kepribadian bangsa Indonesia.
Apabila sedikit dicermati bahwa tulisan tentang Nasionalis, Islam dan Marxis direncanakan untuk tahun-tahun perjuangan dan itu sebenarnya dimaksudkan untuk menjembatani perbedaan-perbadaan serta membina usaha bersama untuk mencapai kemerdekaan, sedangkan Nasakom juga merupakan persatuan ketiga ideologi dengan tujuan yang sama yaitu berjuang melawan kolonialisme dan imprialisme dalam suasana revolusi, hanya saja terdapat perbedaan dari situasi dan kondisi dari kedua gagasan tersebut. Gagasan Nasionalis, Islam dan Marxis berada dalam kondisi sebelum kemerdekaan sedangkan Nasakom berada dalam situasi kemerdekaan dan kondisi politik yang belum sepenuhnya mendukung gagasan tersebut, faktor lain juga mempengaruhi kalangan militer yang tidak pernah sependapat bahkan saling bertentangan dengan pihak Komunis.
Nasakom harus dipahami sebagai doktrin pada masa demokrasi terpimpin sebagai alat perjuangan melawan kolonialisme dan imprialisme karena ketiga unsur tersebut merupakan aspek pendukung yang revolusiner menuju sosisalisme Indonesia, konsep Nasakom sangat jelas sebagai sebuah wadah persatuan bukan mengkotak-kotak unsur tersebut menjadi tiga golongan, bukan juga hanya PNI, NU dan PKI gambaran dari ketiga partai politik, melainkan segala unsur di Indonesia yang berpaham Nasionalis, Agama dan Komunis. Ideologi Nasakom akan menjadi gelombang yang besar apabila tidak dipahami secara sempit, ketiga unsur tersebut merupakan kekuatan yang akan membuat Indonesia lebih kokoh dalam percaturan politik dunia internasional serta menjadi sebuah ancaman menakutkan bagi kolonoalisme dan imprialisme. Sehingga tidak heran apabila dalam pelaksanaan demokrasi terpimpin banyak kalangan yang anti revolusi mengutuk ideologi Nasakom dan beranggapan Nasakom hanya kepentingan salah satu aliran ideologi
2.2.3 Politik Luar Negeri
Semenjak ditetapkan berlakunya kembali Undang – Undang Dasar 1945 dengan Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959, terdapat serangkaian dokumen – dokumen yang mendasari politik luar negeri Republik Indonesia, yakni :
1.    Undang – Undang Dasar 1945
2.    Amanat Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” dan yang terkenal sebagai “Manifesto Politik Republik Indonesia”. Dengan penetapan presiden No.1 tahun 1960, tanggal 29 Januari 1960, yang diperkuat pula dengan ketetapan MPRS No. 1/MPRS/I/1960, tanggal 19 November 1960, Manifesto tersebut telah dijadikan “Garis Besar Haluan Negara”
3.    Amanat presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang terkenal dengan nama “Jalannya Revolusi Kita” yang dengan ketetapan MPRS No.I/MPRS/1960, tanggal 9 Nopember 1960 telah dijadikan “Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia”
4.    Pidato presiden tanggal 30 September 1960 dimuka sidang PBB yang berjudul “To Build the World anew” (membangun dunia kembali), yang dengan ketetapan MPRS NO.I/MPRS/1960, tanggal 19 Nopember 1960, ditetapkan sebagai Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia dan yang dengan keputusan DPA NO.2/Kpts/Sd/61, tanggal 19 Januari 1961, dinyatakan sebagai “Garis – garis Besar Politik Luar Negeri RI” dan sebagai “Pedoman Pelaksaaan Manifesto Politik Republik Indonesia dibidang politik Luar Negeri RI”
Kebijaksanaan politik luar negeri yang bertolak dari teori – teori revolusi itu telah menyeret diplomasi Indonesia ke hadapan panggung politik dunia, tanpa memperhatikan prioritas kepentingan dan sumber – sumber kekuatan nasional. Di sini pula berlaku teori bahwa “politik adalah panglima”. Dasar politik luar negeri RI termaktub dalam Undang – Undang Dasar 1945 alinea pertama Pembukaannya yang berbunyi :
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Dibidang politik luar negeri Manipol menyatakan sebagai tujuan jangka pendek “melanjutkan perjuangan anti imperialisme ditambah dengan mempertahankan kepribadian Indonesia di tengah – tengah tarikan – tarikan ke kanan dan ke kiri, yang sekarang sedang berlaku kepada kita dalam pergolakan dunia menuju keseimbangan baru.dalam jangka panjang, Revolusi Indonesia bertujuan untuk “melenyapkan imperialisme dimana – mana, dan mencapai dasar – dasar bagi perdamaian dunia yang kekal dan abadi”.
Menurut perincian Dewan Pertimbangan Agungdalam keputusan No.2/Kpts/Sd/I/61 tanggal 19 Januari 1961, Garis – garis Dasar Politik Luar Negeri RI yang terdapat dalam pidato “Membangun Dunia Kembali”, adalah sebagai berikut:
1.    Dasar        : UUD 1945
2.    Sifat         : bebas dan aktif, anti-imperialisme dan kolinialisme
3.    Tujuan      : a. Mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan
      Indonesia yang penuh
b. Mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional
    dari seluruh bangsa – bangsa di dunia
c. Mengabdi pada perjuangan untuk membela perdamaian dunia.
Politik bebas dan aktif indonesia bukanlah suatu pulitik netralisme dan dalam hubungannya dengan non-alignment . indonesia berpendirian bahwa politik non-alignment juga bukan politik netralisme dimana pada dasrnya non alignment itu aktif dan diplomasi indonesia senantiasa diarahkan pada posisi subjek dan bukan sebagai objek dalam pergolakan politik internasional .gerakan non-blok merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang kehidupan politiknya tidak terpengaruh oleh blok barat maupun blok timur.gerakan ini memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan perang dingin. keterlibatan indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik indonesia di dunia sudah cukup maju. GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. bagi indonesia, GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional dan internasional yang melahirkan KAAPolitik bebas dan aktif indonesia bukanlah suatu pulitik netralisme dan dalam hubungannya dengan non-alignment . indonesia berpendirian bahwa politik non-alignment juga bukan politik netralisme dimana pada dasrnya non alignment itu aktif dan diplomasi indonesia senantiasa diarahkan pada posisi subjek dan bukan sebagai objek dalam pergolakan politik internasional .gerakan non-blok merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang kehidupan politiknya tidak terpengaruh oleh blok barat maupun blok timur.gerakan ini memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan perang dingin. keterlibatan indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik indonesia di dunia sudah cukup maju. GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. bagi indonesia, GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional dan internasional yang melahirkan KAA
-  Politik Konfrontasi Nefo dan Oldefo
Terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas aktif yang menjadi cenderung condong pada salah satu poros. Saat itu Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih mengarah pada negara-negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik Konfrontasi tersebut dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara komunis umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme. Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim).  Untuk mewujudkan Nefo maka dibentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang. Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab hanya berpedoman ke negara-negara komunis.
-  Politik Konfrontasi Malaysia
Indonesia juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok Nefo. Dalam rangka konfrontasi tersebut Presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964, yang isinya sebagai berikut.
1. Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.
2. Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
3. Pelaksanaan Dwikora dengan mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat menunjukkan adanya campur tanggan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.
-  Politik Mercusuar
Politik Mercusuar dijalankan oleh presiden sebab beliau menganggap bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Untuk mewujudkannya maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di kalangan Nefo. Proyek-proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar mencapai milyaran rupiah diantaranya diselenggarakannya GANEFO (Games of the New Emerging Forces ) yang membutuhkan pembangunan kompleks Olahraga Senayan serta biaya perjalanan bagi delegasi asing. Pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB sebab Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
-  Politik Gerakan Non-Blok
Gerakan Non-Blok merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang kehidupan politiknya tidak terpengaruh oleh Blok Barat maupun Blok Timur. Selanjutnya gerakan ini memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan Perang Dingin. Keterlibatan Indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik Indonesia di dunia sudah cukup maju. GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. Bagi RI, GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional dan Internasional.
2.3  Kehidupan Ekonomi
Perubahan politik menuju demokrasi terpimpin barakibat ekonomi pun mengikuti ekonomi terpimpin. Di mana ekonomi indonesia bersifat agraris yang lebih kurang 80% dari penduduk hidup dalam pertanian ataupun perkebunan dan hasilnya dijual dan diekspor keluar negeri untuk memperoleh devisa atau valuta asing guna membeli atau mengimpor berbagai bahan baku dan barang konsumsi yang tidak dapat dihasilkan di indonesia. Sehingga ekonomi terpimpin merupakan bagian dari demokrasi terpimpin. dimana semua aktivitas ekonomi disentralisasikan di pusat pemerintahan sementara daerah merupakan kepanjangan dari pusat. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk menunjang pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut:
2.3.1 Pembentukan Badan Perencana Pembangunan Nasional
Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah kabinet kerja maka dibentuklah dewan perancang nasional (Depernas) pada Tanggal 15 Agustus 1959 Dipimpin Oleh Moh.Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang.tugas depernas:
1)      Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Pembangunan Nasional Yang Berencana
2)      Menilai Penyelenggaraan Pembangunan
Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun depenas berhasil menyusun Rancangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara berencana tahapan tahun 1961-1969 yang disetujui oleh MPRS.
Pada tahun 1963, Dewan Perancang Nasional diganti dengan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Dalam rangka usaha membendung inflasi maka dikeluarkan kebijakan:
1)        Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 1959 yang mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959. Peraturan itu dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran untuk kepentingan perbaikan keadaan keuangan dan perekonomian negara. Untuk mencapai tujuan itu nilai uang kertas pecahan Rp.500,- dan Rp.1000,- yang ada dalam peredaran pada saat berlakunya peraturan itu diturunkan masing-masing menjadi Rp.50,- dan Rp.100,-.
2)        Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.3 tahun 1959 tentang pembekuan sebagian dari simpanan pada bank-bank yang dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran, yang terutama dalam tahun 1957 dan 1958 sangat meningkat jumlahnya.
Peraturan moneter tanggal 25 Agustus 1959 diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.6/1959, yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang lembaran seribu rupiah dan lima ratus rupiah yang masih berlaku (dan yang kini bernilai seratus rupiah dan lima puluh rupiah) harus ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum tanggal 1 Januari 1960. Untuk menampung akibat-akibat dari tindakan moneter dari bulan Agustus 1959 dibentuklah Panitia Penampung Operasi Keuangan (PPOK). Tugas pokok dari panitia ini ialah menyelenggarakan tindak lanjut dari tindakan moneter itu, tanpa mengurangi tanggung jawab menteri, departemen, dan jawatan yang bersangkutan.
Akibat utama dari tindakan moneter yang dilakukan oleh pemerintah ialah terjadinya kesukaran likuiditas di semua faktor, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta.Keadaan ini merupakan suatu kesempatan yang baik untuk mengadakan penertiban dari segala kegiatan pemerintah dan swasta yang sebelumnya seolah-olah tidak terkendalikan. Untuk tujuan itu pemerintah menginstruksikan:
1)   Penghematan bagi instansi pemerintah serta memperketat pengawasan atas pelaksanaan anggaran belanja.
2)   Dilakukan penertiban manajemen dan administrasi perusahaan-perusahaan negara, baik yang sudah lama ada, maupun yang baru diambil alih dari pihak Belanda.
3)   Dengan tindakan moneter tanggal 25 Agustus 1959 itu, pemerintah bertujuan akan dapat mengendalikan inflasi dan mencapai keseimbangan dan kemantapan moneter dengan menghilangkan excess liquidity dalam masyarakat. Hal itu diusahakan dengan menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang-bidang usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Tetapi pada akhir tahun 1959 itu juga, jadi hanya 4 bulan lebih sedikit setelah dilakukan tindakan moneter tersebut, dapat diketahui bahwa pemerintah mengalami kegagalan. Semua tindakan-tindakan moneter itu tidak mencapai sasarannya karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya.Misalnya saja menyelenggarakan proyek mercu-suar seperti Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dan Conefo (Conference of The New Emerging Forces).
Sejak tahun 1961, Indonesia terus-menerus membiayai kekurangan neraca pembayarannya dari cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun 1965, untuk pertama kali dalam sejarah moneternya, Indonesia sudah habis membelanjakan cadangan emas dan devisanya, yang memperlihatkan saldo negatif sebesar US $ 3 juta sebagai akibat politik konfrontasi terus-menerus yang dilakukan.Tingkat kenaikan harga-harga paling tinggi terjadi dalam tahun 1965 (antara 200%-300% dari harga tahun 1964). Presiden Sukarno menganggap perlu untuk mengintegrasikan semua Bank Negara ke dalam suatu organisasi Bank Sentral.Untuk itu dikeluarkan Penetapan Presiden No.7 tahun 1965 tentang Pendirian Bank Tunggal Milik Negara. Tugas bank tersebut adalah menjalankan aktivitas-aktivitas bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum. Maka kemudian diadakan peleburan bank-bank negara seperti: Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN); Bank Umum Negara; Bank Tabungan Negara; Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Sesudah pengintegrasian Bank Indonesia itu selesai, barulah dibentuk Bank Negara Indonesia. Bank Negara Indonesia tersebut dibagi dalam beberapa unit, yang masing-masing unit menjalankan pekerjaannya menurut aturan-aturan pendiriannya. Keadaan itu berlangsung terus sampai Bank Tunggal itu dibubarkan dengan berlakunya Undang-undang No.13 Tahun 1968.
2.3.2 Penurunan Nilai Uang
Tujuan dilakukan devaluasi :
1)      Guna Membendung Inflasi Yang Tetap Tinggi
2)      Untuk Mengurangi Jumlah Uang Yang Beredar Di Masyarakat
3)      Meningkatkan Nilai Rupiah Sehingga Rakyat Kecil Tidak Dirugikan.
Maka Pada Tanggal 25 Agustus 1959 Pemerintah Mengumumkan Keputusannya Mengenai Penuruan Nilai Uang (Devaluasi), Yaitu Sebagai Berikut:
1)      uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 Menjadi Rp. 50
2)      uang kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 Menjadi Rp. 100
3)      pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000
Tetapi usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter.para pengusaha daerah di seluruh indonesia tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut. Pada masa pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang menjadi murah tetapi tetap saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki uang.
2.3.3 Menyikapi Kenaikan Laju Inflasi                        
Latar belakang meningkatnya laju inflasi :
1)   Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan
2)   Nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan
3)   Anggaran Belanja mengalami defisit yang semakin besar
4)   Pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada
5)   Upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil
6)   Penertiban administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan keuangan tak memberikan banyak pengaruh
7)   Penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan.
Dan selain itu ada pula kegagalan-kegagalan yang disebabkan karena:
1)   Pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan pengeluaran.
2)   Pemerintah menyelenggarakan proyek-proyek Mercusuar seperti GANEFO (Games Of The New Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference Of The New Emerging Forces) Yang Memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya pada setiap tahunnya. 
Salah satu langkah yang dilakukan oleh soekarno dalam menstabilkan keadaan ekonomi, maka kredit-kredit luar negeri diperbolehkan diterima untuk Pembangunan dan perluasan aparat produksi nasional. Hal ini dapat memperbesar volume komoditas ekspor guna membayar utang-utang luar negeri dan kepentingan lainnya. politik ekonomi terpimpin sangat rentan terhadap bahaya berupa Insolvensi Internsional dari suatu negara yang dapat menarik kedalam suatu blok, fakta, atau lingkungan pengaruh di antara nya peristiwa konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia, dan bantuan dari RRC pada Indonesia melalui perdagangan bilateral atas dasar Government To Government (G To G) RRC Mmendapatkan keuntungan politik dan ekonomi yang tidak sedikit.
Campur tangan tentara dalam perekonomian meningkat. Pada tahun 1959 pihak tentara mulai memindahkan orang-orang Cina secara paksa dari daerah pedesaan ke kota, sekitar 119.000 orang dipulangkan ke Cina. Pada bulan Mei 1959 telah diputuskan bahwa mulai tanggqal 1 Januari 1960 orang-orang asing dilarang melakukan perdagangan di pedesaan. Langkah ini didorong oleh pihak militer untuk memukul orang-orang cina, melemahkan hubungan Jakarta dengan Cina, dan mempersulit urusan PKI.
2.3.4 Perkreditan dan Perdagangan Luar Negeri
Politik luar negeri pada masa Demokrasi Terpimpin di bidang perkreditan dan perdagangan hakekatnya tidak berbeda sifatnya dari sistem ijon dari petani-petani dan pengusaha-pengusaha kecil, hanya saja kredit luar negeri ini berskala nasional dan menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia. Dalih perkreditan luar negeri pada masa ini adalah mengarrangement dan readjustment dengan negara-negara kreditor. Dan sementara itu masyarakat Indonesia pada umumnya masih beranggapan bahwa hutang adalah identik dengan penghasilan.
Perdagangan luar negeri antara Indonesia dengan negara lain misalnya dengan negara Cina. Perdagangan bilateral tersebut dijalin atas dasar Government to Government (G to G). Dalam perdagangan G to G ini RRC memperoleh keuntungan politik disamping keuntungan ekonomi yang tidak sedikit. Sebagai contoh perdagangan karet. Transaksi-transaksi karet rakyat Indonesia dengan RRC pada hakekatnya adalah pembelian bahan baku yang murah oleh RRC, yang kemudian dijual kembali sebagai barang jadi yang mahal ke Indonesia sebagai yang disebut bantuan luar negeri. Dalam hubungan ini adakalanya barang-barang yang bercap RRC seperti tekstil yang dikirim sebagai bantuan ke Indonesia bukan dibuat di RRC sendiri akan tetapi di Hongkong. Dalam hal ini disebut bantuan pada hakekatnya adalah hasil keuntungan RRC dari pembelian karet rakyat Indonesia. Maka jelaslah bahwa kebijaksanaan perdagangan dan perkreditan luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah Orde Lama terutama selama 3 tahun terakhir telah membawa Indonesia ke dalam lingkungan pengaruh politik RRC sampai titik kulminasinya dalam pemberontakan G 30 S/PKI.
Dalam rangka usaha untuk membiayai proyek-proyek Presiden/Mandataris MPR-S, maka Presiden Sukarno mengeluarkan Instruksi Presiden No.018 tahun 1964 dan Keputusan Presiden No.360 tahun 1964, yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai penghimpunan dan penggunaan “dana-dana revolusi”. Dana-dana revolusi tersebut pada mulanya diperoleh dari pungutan uang call SPP dan dari pungutan yang dikenakan pada pemberian izin impor dengan deferred payment. Deferred payment ialah suatu macam impor yang dibayar dengan kredit (kredit berjangka 1-2 tahun) karena tidak cukup persediaan devisa. Dalam praktek, barang-barang yang diimpor dengan menggunakan deferred payment khusus itu adalah barang-barang yang tidak membawa manfaat bagi rakyat banyak, bahkan sebaliknya merupakan barang-barang yang sudah dijadikan bahan spekulasi dalam perdagangan, misalnya scooter dan barang-barang lux lainnya. Pada umumnya yang mendapat izin deferred payment ini adalah yang disponsori oleh Presiden Sukarno sendiri. Akibat kebijaksanaan kredit luar negeri ini adalah:
1)   Hutang-hutang negara semakin bertimbun-timbun, sedangkan ekspor semakin menurun.
2)   Devisa menipis karena ekspor menurun sekali.
3)   Hutang luar negeri dibayar dengan kredit baru atau pembayaran itu ditangguhkan.
4)   RI tidak mampu lagi membayar tagihan-tagihan dari luar negeri, yang mengakibatkan adanya insolvensi internasional. Karena itu, sering terjadi bahwa beberapa negara menyetop impornya ke Indonesia karena hutang-hutang tidak dibayar.
5)   Di dalam negeri berakibat mengganggu proses produksi, distribusi dan perdagangan serta menimbulkan kegelisahan di kalangan penduduk.
Menteri Bank Sentral, Jusuf Muda Dalam diberikan kuasa untuk mengelola “dana revolusi” itu. Dana revolusi tersebut diberikan dalam bentuk kredit kepada orang lain atau perusahaan dengan rente tertentu agar jumlah dana bertambah terus. Namun, pemberian kredit tersebut menyimpang dari pemberian kredit biasa sampai kira-kira mencapai jumlah Rp 338 milyar (uang lama). Hal ini mengakibatkan inflasi meningkat sangat tinggi karena pemerintah sama sekali tidak mengindahkan jumlah uang yang beredar. Bank Indonesia diizinkan untuk mengadakan penyertaan dalam perusahaan, sehingga membawa akibat yang cukup luas bagi masyarakat:
1)   Bank Indonesia sebagai Bank Sentral tidak dapat lagi menjalankan fungsinya sebagai pengantar peredaran uang.
2)   Neraca Bank Indonesia tidak dapat diketahui oleh rakyat lagi.
3)   Neraca Bank Indonesia yang tidak diumumkan mendorong usaha-usaha spekulasi dalam bidang ekonomi dan perdagangan.

2.4  Kehidupan Sosial Budaya
Di tengah perekonomian yang terus memburuk, pemerintah tetap melaksanakan pembangunan-pembangunan fasilitas, pembangunan itu di antaranya yaitu :
1.      Tanggal 17 Agustus 1961, presiden memancangkan tiang pertama pembangunan Tugu Nasional yang terletak ditengah lapangan Merdeka yang direncanakan akan menjulang setinggi 127 meter dan memakan biaya setengah milyar rupiah. Menurut presiden, tugu ini akan menjadi tanda pusat bangsa Indonesia yang kuat, besar dan sentosa.
2.      Berikutnya tanggal 25 Agustus 1961 dilangsungkan upacara pemancangan tiang pertama Masjid Istiqlal yang diperkirakan akan menjadi Masjid terbesar di Asia Tenggara bahkan dunia.
3.      Rencana selanjutnya di Jalan Merdeka Utara akan dibangun gedung-gedung khusus untuk kesenian seperti teater dan museum. Jalan Merdeka Timur akan dipergunakan khusus untuk gedung kementrian.
4.      Sekitar akhir tahun 1964, saat muncul wacana untuk keluar dari PBB, presiden juga membangun markas besar dunia ketiga (pusat The New Emerging Forces) di Jakarta, menyaingi markas besar PBB di New York, yang kemudian hari menjadi gedung MPR/DPR.
5.      Upaya mencegah bahaya subversi asing juga mencuat di bidang budaya. Tanggal 17 Agustus 1963, dideklarasikan Manifestasi Kebudayaan (Manikebu) oleh 13 seniman di Jakarta, yaitu H. B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Sukito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Gunawan Mohammad, A. Bastari Asnin, Soe Hok Djin, Ras Siregar, Bur Rasuanto, D. S. Mulyanto, Sjahwil, dan Djufri Tanissan. Manikebu menyatakan pendirian, cita-cita, dan politik kebudayaan nasional yang berfalsafah Pancasila dan tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Hal ini dianggap tidak mencerminkan sikap yang progresif revolusioner di masa revolusi saat itu. Manikebu menjadi kelompok budayawan yang berseberangan dengan pemikiran Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi pada komunis. Menteri PP & K Prijono juga turut menyerang Manikebu dengan mempertanyakan mengapa Manikebu hanya mencantumkan Pancasila saja dan tidak menyebut Manipol. Para penyusun Manikebu menjadi bulan-bulanan serangan pribadi pihak Lekra dengan mencap Manikebu bukanlah Manipolis sejati. Tanggal 18 Mei 1964, presiden mengeluarkan larangan terhadap Manikebu dengan alasan Manifesto Politik RI sebagai pancaran Pancasila telah menjadi GBHN dan tidak dapat didampingi oleh manifesto lain yang bersikap ragu-ragu terhadap revolusi. Kebudayaan harus dijalankan di atas rel revolusi menurut petunjuk Manipol. Utara. Sementara itu, pemutaran film-film AS diboikot oleh PKI. PKI menggerakan lahirnya Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis AS (PAPFIAS). Bill Palmer, seorang pengusaha film AS, rumahnya di Gunung Mas dekat Puncak digrebek oleh massa pemuda dan kabarnya di rumah itu juga ditemukan copy Dokumen Gilchrist. Bill Palmer adalah kepala AMPAI (American Motion Pictures Assosiacition in Indonesia). Para pemuda menuntut agar AMPAI dibubarkan dan Bill Palmer diusir atau diadili karena dianggap sebagai seorang agen CIA di Indonesia. Pelarangan terhadap Manikebu juga berbuntut dengan dikeluarkannya instruksi Menteri PP & K dalam membina kepribadian bangsa dengan melarang potongan rambut The Beatles (gondrong) dan disasak secara berlebihan, dalam berpakaian dilarang menjiplak mode-mode luar negeri, dan juga menghilangkan nama panggilan yang kebarat-baratan, misalnya daddy, mom, papi, mami, mientje, fransje, mieke, dan wiesje. Kebijakan ganyang kebudayaan ngak-ngik-ngok membuat lagu-lagu barat misalnya Beatles dilarang. Tanggal 29 Juli 1965 Band Koes Bersaudara di Jakarta ditahan oleh Kejaksaan Tinggi/Istimewa Jakarta karena membawakan lagu ala Beatles. Bahkan menurut Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Anwas, Asisten II Bidang Operasi Komdak VII/Jaya, dalam suatu razia mengatakan piringan hitam dan pita rekaman The Beatles paling ampuh menanamkan Nekolim way of life dan paling efektif memberikan didikan jahat kepada generasi muda dan anak-anak yang sedang tumbuh. Dalam razia tersebut, sejumlah 22.000 buku penetrasi kebudayaan imperialis AS, 250 piringan hitam The Beatles, dan buku-buku berbau Manikebu, cabul, dan merusak akhlak anak-anak muda dibakar oleh massa rakyat revolusioner yang menyanyikan lagu “Hancurkanlah musuh kita Inggris dan AS”. Kebudayaan yang asalnya dari Barat, termasuk AS dan Inggris dilarang dan dianggap tidak cocok dengan budaya timur yang ada di Indonesia.

2.5  Kehidupan Pertahanan dan Keamanan
2.5.1   Pembebasan Irian Barat
Bentuk perjuangan alam rangka pembebesan Irian Barat melalui 2 cara,yaitu di bidang diplomasi dan bidang  militer :
a)     Bidang Diplomasi
Cara ini ditempuh guna menunjukkan niat baik indonesia mandahulukan cara damai dalam menyelesaikan persengketaan.perjuangan tersebut dilakukan dengan perundingan KBM 1949 Pasal 1 Tentang Penyerahan Kedaulatan Sepenuhnya Atas Indonesia (RIS). jalan diplomasi ini sudah dimulai sejak 1950 yang selanjutnya dijadikan program oleh setiap cabinet hingga tahun 1960 dalam pidatonya di depan Sidang Majelis Umum PBB yang berjudul ‘’Membangun Dunia Kembali’’ di mana Presiden Soekarno menegaskan kembali masalh irian yang dirangkaikan dengan masalah imperialisme. meskipun selalu mengalami kegagalan sebab belanda masih menguasai irian barat bahkan secara sepihak memasukkan irian barat ke dalam wilayah kerajaan Belanda.
Dalam masalah Irian Barat, AS mendukung setiap usaha diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia dengan Belanda untuk menghindari konflik terbuka. Salah satu bukti AS ingin berperan sebagai perantara dalam sengketa Irian Barat tampak pada tindakan AS yang memfasilitasi pelaksanaan perundingan Indonesia-Belanda di Washington pada tanggal 20 Maret 1962 dengan disaksikan pihak ketiga yaitu AS.
Pelaksanaan kepercayaan yang telah diberikan kedua belah pihak yang bersengketa, PBB melakukan kembali perundingan pada tanggal 31 juli 1962, dimana salah satu butir kesepakatannya berisi rencana penyerahan administrasi pemerintah Irian Barat ke Indonesia melalui suatu badan pemerintah PBB dan menjamin adanya hak menentukan pendapat rakyat Irian Barat.mengirimkan wakilnya MR. Sudjarwo Tjondronegoro, Adam Malik, Mr. Zairin Zain, dan Sukardjo Wirjopranoto untuk menghadapi delegasi Belanda yang terdiri dari Dr. Van Royen dan Schuurman. Dari perundingan itu, diterimalah usul dari Ellsworth Bunker, bekas Duta Besar AS di India, yang bertindak sebagai penengah dalam perundingan Indonesia-Belanda. Dari perundingan itu, diterimalah usul dari Ellsworth Bunker, bekas Duta Besar AS di India, yang bertindak sebagai penengah dalam perundingan Indonesia-Belanda. Serangkaian pembicaraan dilakukan di Washington antara delegasi Indonesia dan Belanda yang pada akhirnya menghasilkan rencana kompromistis yang lebih dikenal sebagai Rencana Bunker.Pembentukan badan administrasi di Irian Barat tersebut dinamakan UNTEA (United Nations Temporary Executif Authority).
b)        Bidang Militer (konfrontasi)
Dampak Dari Tindakan Konfrontasi Politik Dan Ekonomi Tersebut Maka Tahun 1961 Dalam Sidang Majelis Umum PBB terjadi perdebatan mengenai masalah irian barat.diputuskan bahwa diplomat Amerika Serikat Ellsworth bunker bersedia menjadi penengah dalam perselisihan antara indonesia dan Belanda. Bunker mengajukan usul yang dikenal dengan rencana bunker, yaitu :
1)    Pemerintah Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia.
2)   Setelah sekian tahun, rakyat irian barat harus diberi kesempatan untuk menentukan pendapat apakah tetap dalam negara republik indonesia atau memisahkan diri.
3)   Pelaksanaan penyelesaian masalah irian barat akan selesai dalam jangka waktu dua tahun.
4)   Guna menghindari bentrokan fisik antara pihak yang bersengketa, diadakan pemerintah peralihan di bawah pengawasan PBB selama satu tahun.
Indonesia menyetujui usul itu dengan catatan jangka waktu diperpendek. pihak belanda tidak mengindahkan usul tersebut bahkan mengajukan usul untuk menyerahkan irian barat di bawah pengawasan PBB. selanjutnya PBB membentuk negara papua dalam jangka waktu 16 tahun.jadi belanda tetap tidak ingin irian barat menjadi bagian dari indonesia. keinginan belanda tersebut tampak jelas ketika tanpa persetujuan PBB, Belanda mendirikan negara papua, lengkap dengan bendera dan lagu kebangsaan. tindakan belanda tersebut tidak melemahkan semangat bangsa indonesia.indonesia menganggap bahwa sudah saatnya menempuh jalan kekuatan fisik (militer).
Pada 17 Agustus 1960 hubungan diplomatik dengan belanda diputuskan. untuk meningkatkan perjuangan dewan pertahanan nasional merumuskan Trikora (Tri Komando Rakyat) dikepalai oleh Soerkarno pada 19 desember 1961 di Yokyakarta, di mana dalam rapat dewan pertahanan nasional bersama organisasi gabungan kepala staf serta komando tertinggi pembebasab Irian Barat memutuskan:
a)    Membentuk Provinsi Irian barat gaya baru dengan putra irian sebagai gubernurnya
b)    Membentuk Komando Mandala yang langsung memimpin kesatuan ABRI dalam tugas merebut irian barat
Sesuai dengan perkembangan situasi, trikora dijelaskan dengan intruksi panglima besra komando tertinggi  pembebasan Irian Barat No. 1 kepada panglima mandala yang isinya :
a)    Merencanakan, mempersiapkan, menyelenggarakan operasi-operasi militer yang bertujuan mengembalikan Wilayah Propinsi Irian Barat kedalam kekuasaan negara RI
b)    Mengembangkan situasi diwilayah propinsi Irian Barat
Hal tersebut bertujuan supaya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di wilayah propinsi irian barat dapat secara de fakto diciptakannya daerah-daerah bebas atau didudukkan unsur kekuasaan atau pemerintah RI.
2.5.2   Peritiwa 30 September 1965 (G 30 S/PKI)
Mencermati rangkaian peristiwa, secara teknis PKI mempersiapkan perebutan kekuasaan dengan melancarkan lima skenario sekaligus, yaitu persiapan rencana operasi (renops) gerakan militer dan politik secara tertutup, propaganda publik, penciptaan politik kesan bahwa gerakannya merupakan agenda Presiden, test case kesiagapan pimpinan TNI AD dan netralisasi potensi penghambat gerakan.
Kelima skenario itu dilakukan secara serentak sehingga memecah konsentrasi pihak lawan (ABRI dan kalangan nasionalis religius) untuk segera menyadari adanya perebutan kekuasaan oleh PKI.
Pertama, persiapan rencana operasi (renops) dan konsolidasi gerakan militer pembersihan pimpinan TNI-AD maupun gerakan politik untuk mengganti Kabinet Dwikora. Gerakan ini dilaksanakan melalui: (a) 3 kali rapat Politbiro, (b) lima kali rapat interen Biro Chusus Central (BCC), (c) satu kali rapat gabungan pendahuluan dan sepuluh kali “rapat komando pembersihan” (rapat gabungan antara BCC dengan pimpinan gerakan militer), (d) koordinasi intensif antara Aidit dan Sjam (laporan-laporan dan pembahasan hasil rapat internal BCC maupun rapat komando pembersihan), (e) pengiriman anggota CC (Comite Central) untuk mengarahkan operasi perebutan kekuasaan lokal, (f) koordinasi dan instruksi Sjam kepada pengurus Biro Chusus Daerah (BCD), dan (g) misi netralisasi satuan-satuan militer yang dianggap tidak memiliki komitmen untuk melaksanakan rencana PKI.
Kedua, propaganda publik yang dilakukan Aidit dan anggota CC Politbiro melalui ceramah dan media massa untuk mengesankan bahwa momentum revolusioner telah sampai puncak dan oleh karena itu kepada pelaksana inti gerakan, anggota PKI maupun simpatisannya tidak ragu-ragu bertindak. Perlu diingat, bahwa rencana perebutan kekuasaan yang akan dilakukan PKI dibangun di atas “fatamorgana situasi revolusioner” berupa argumentasi dan justifikasi moral yang rapuh. Justifikasi moral itu berupa isu rencana kudeta Dewan Jenderal terhadap Presiden pada tanggal 5 Oktober 1965 yang harus didahului, adanya dokumen Gilchrist yang dihembuskan sebagai bukti dukungan CIA terhadap Dewan Jenderal dan masa depan Presiden yang tidak akan berumur panjang.
Ketiga, penciptaan politik kesan bahwa gerakan mendahului Dewan Jenderal merupakan perintah Presiden. PKI (melalui ketua Biro Chusus Central, Sjam) menanamkan pemahaman mengesankan bahwa pembersihan (penculikan) para Jenderal TNI AD merupakan bagian dari usaha melindungi Presiden dari coup Dewan Jenderal. Penciptaan politik kesan dimaksudkan untuk memperoleh dukungan dari satuan-satuan ketentaraan yang dijadikan target untuk menjalankan misi “pembersihan” terhadap pimpinan TNI AD. Argumentasi ini bukan ditujukan sebagai konsumsi Letkol Untung, Mayor Udara Sujono maupun Kol. A. Latief yang sejak awal, dalam rapat-rapat “komando pembersihan” telah mengetahui adanya skenario pembentukan Dewan Revolusi sebagai pengganti Kabinet Dwikora (perebutan kekuasaan). Pemilihan Letkol Inf. Untung dan penggunaan sebagian pasukan Tjakrabirawa sebagai unsur pasukan pengawal Presiden merupakan bagian dari upaya mengelabui berbagai pihak seperti kesatuan 530 & 454 untuk secara fanatik termobilisasi dan mendukung gerakan pembersihan pimpinan TNI AD dalam rangka menyelamatkan Presiden.
Keempat, test case kesigapan pimpinan TNI-AD melalui hembusan isu penculikan. Sebagaimana kasus tanggal 18 September, kesiagaan para Jenderal TNI AD terhadap isu akan adanya penculikan yang dilaporkan Jenderal S. Parman kepada Jenderal A. Yani ternyata tidak menemukan bukti. Hal itu menyebabkan informasi rencana penculikan berikutnya (sebagaimana diterima Mayjen MT. Haryono) antara tanggal 29 s/d 30 September, tidak ditanggapi dan diantisipasi secara memadai. Terlepas adanya analisis bahwa masalah kesiapan teknis merupakan faktor penyebab penundaan hari H dan jam J penculikan para Jenderal, penundaan tersebut telah menyebabkan ketidakpastian informasi seputar kapan pelaksanaan penculikan para Jenderal akan dilakukan.
Kelima, netralisasi potensi penghambat gerakan. Langkah ini dilakukan dengan mengirimkan 600 pejabat negara untuk menghadiri undangan pemerintah RRC dalam peringatan HUT Kemerdekaan RRC 1 Oktober 1965. Pengosongan pejabat tinggi negara itu dimungkinkan atas pertimbangan:
1.    Untuk mengurangi potensi kritis terhadap langkah-langkah PKI sehingga perebutan kekuasaan berjalan dengan mulus. Eksodusnya para pejabat tinggi, menjadikan arena pertarungan hanya menyisakan barisan PKI dan sedikit lawan yang tidak mampu menggerakkan kekuatan birokrasi pemerintahan untuk menghadang langkah-langkah PKI.
2.    Untuk mempermudah pergantian pejabat tinggi dengan calon-calon PKI. Ketika gerakan perebutan kekuasaan di Indonesia berhasil, para delegasi Indonesia yang sedang berada di RRC dapat dengan mudah dihabisi oleh kader-kader Komunis RRC dan posisinya di Indonesia diganti oleh calon-calon PKI.
Mencermati skenario tersebut, keputusan PKI melakukan perebutan kekuasaan pada tahun 1965 dilatarbelakangi oleh dua kemungkinan di antaranya yaitu:
Pertama, Jatuh sakitnya “kawan sementara” sosok Presiden Soekarno yang powerful dan kharismatis, dijadikan momentum bagi PKI untuk mengevaluasi koalisi taktisnya dengan kalangan borjuasi nasional dan segera memutuskan skema baru perebutan kekuasaan di Indonesia.
Kedua, PKI merasa cukup percaya diri dengan situasi revolusioner yang diciptakannya atau mungkin juga karena dukungan/dorongan “partai sekawan” dalam payung Comintern (Communist International) maupun negara–negara Komunis tetangga khususnya RRC untuk segera mengambil alih kekuasaan di Indonesia. PKI kemudian menciptakan politik medis dengan memanfaatkan dokter-dokter Cina untuk mempengaruhi (mengerjai) kesehatan Presiden. Melalui dua kemungkinan itu Presiden Soekarno benar-benar sakit atau sakitnya diskenariokan dokter-dokter Cina atas pesanan Aidit dan pemerintah RRC PKI mempersiapkan perebutan kekuasaan di Indonesia melalui skema sederhana. Tahap pertama, akuisisi kekuatan militer (TNI AD) dengan mengganti masinisnya untuk digantikan orang-orang yang bisa dikendalikan PKI. Keberhasilan akuisisi TNI-AD akan segera menjadikan PKI memiliki superiotas politik dan militer sekaligus.



BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Munculnya demokrasi Terpimpin dilatar belakangi oleh beberapa faktor diantaranya adalah Kegagalan Badan Konstituante dalam menyusun undang-undang dasar baru, presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959 yang bertujuan untuk menyelamtkan negara yang dalam kondisi genting, munculnya gerakan separatis yang ingin mengambil alih kekuasaan secara paksa, sering berganti-ganti kebinet dan munculnya persaingan di masing-masing parpol.
            Kehidupan politik pada masa Demokrasi Terpimpin dilakukan tindakan perubahan dalam menata pilitik dalam negeri maupun politik luar negeri, terlihat dengan adanya beberapa tindakan yaitu: 1) Indonesia lebih condong pada politik NEFO (New Emerging Forces), 2) Munculnya politik Mercusuar, 3) Munculnya politik poros antara Jakarta-Peking dan 4) Indonesia keluar dari PBB, keempat tindakan tersebut merupakan pembaharuan bagi Politik Luar Negeri. Sedangkan tindakan-tindakan pembaharuan bagi Politik Dalam Negeri diantaranya adalah 1) Kedudukan presiden di bawah MPRS berdasarkan UUD 1945 akan tetapi dalam kenyataannya MPRS tidak memiliki kekuasaan, 2)Presiden diangkat seumur hidup, 3)Presiden membentuk MPRS, 4)Manifesto politik Republik Indonesia, 5)Pembubaran DPR hasil pemilu dan pembentukan DPR-GR, 6)Pemasyarakatan ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis), dan 5)Perjuangan pembebasan Irian Barat.
            Kemudian kehidupan ekonomi pada masa demokrasi terpimpin tindakan-tindakan pembaharuan yang dilakukan yaitu 1)Membentuk Dekon (Deklarasi Ekonomi), 2)Membentuk Kotoe (Komando Tertinggi Operasi Ekonomi), 3)Membentuk Kesop (Kesatuan Operasi) dan Membentuk Bank Sentral. Kehidupan sosial-budaya pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965) banyak dipengaruhi oleh Partai Komunis Indonesia. Dalam sub bahasan yang ke empat ini akan dibahas mengenai kehidupan di dunia pendidikan, Komunikasi Massa, dan Budaya pada masa demokrasi terpimpin.Dan dalam kehidupan hankam terjadi perpecahan militer dan Konfrontasi Indonesia-Malaysia.

DAFTAR PUSTAKA

Marwati Djoened Poesponegoro:Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs.2008, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta : PT. Ikrar Mandiriabadi.

 Deklarasi Ekonomi), 2)Membentuk Kotoe (Komando Tertinggi Operasi Ekonomi), 3)Membentuk Kesop (Kesatuan Operasi) dan Membentuk Bank Sentral. Kehidupan sosial-budaya pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965) banyak dipengaruhi oleh Partai Komunis Indonesia. Dalam sub bahasan yang ke empat ini akan dibahas mengenai kehidupan di dunia pendidikan, Komunikasi Massa, dan Budaya pada masa demokrasi terpimpin.Dan dalam kehidupan hankam terjadi perpecahan militer dan Konfrontasi Indonesia-Malaysia.

DAFTAR PUSTAKA

Marwati Djoened Poesponegoro:Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs.2008, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta : PT. Ikrar Mandiriabadi.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar