MEDIA PEMBELAJARAN POWER POINT
NB : UNTUK LEBIH MEMPERDALAM MATERI BACALAH MAKALAH BERIKUT INI
MAKALAH DEMOKRASI TERPIMPIN
MASA DEMOKRASI
TERPIMPIN (1959-1965)
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
kelompok mata kuliahSejarah Indonesia IV
Kelas B
Dosen Pengampu :Drs. Kayan Swastika, M.Si.
Disusun Oleh :
1. Khoiriyatul
Wulan S 140210302084
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada
Allah SWT atas segala limpahan
karunia-Nya sehingga makalah dengan judul “Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)”
dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Makalah masa demokrasi
terpimpin (1959-1965) disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah
Indonesia IV dengan dosen pengampuDrs. Kayan Swastika, M.Si.
Makalah
masa demokrasi terpimpin (1959-1965) tidak akan terselesaikan tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, terimakasih yang sebesar-besarnya
penulis haturkan pada berbagai pihak yang ikut andil dalam penyusunanan makalah
ini.
Penulis
menyadari dalam makalah masa demokrasi terpimpin (1959-1965) jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu dengan kerendahan hati, penulis mengharap kritik dan
saran dari pembaca demi sempurnanya makalah ini.Akhirnya, penulis berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Jember, Maret 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
halaman
Kata
Pengantar.............................................................................................. i
Daftar
Isi........................................................................................................ ii
BAB
1. PENDAHULUAN.......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 1
1.3 Tujuan............................................................................................. 2
BAB
2. PEMBAHASAN............................................................................. 3
2.1 Latar Belakang Dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959......... 3
2.1.1 Pelaksanaan Sistem
Demokrasi Terpimpin............................ 3
2.1.2 Lembaga
Pemerintahan Demokrasi Terpimpin...................... 9
2.2 Kehidupan Politik Pada Masa
Demokrasi Terpimpin
(1959-1965).................................................................................... 13
2.3 Kehidupan
Ekonomi Pada Masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1965).................................................................................... 16
2.3.1 Pemikiran
Soekarno Terhadap Perekonomian Indonesia....... 17
2.3.2 Kebijakan
Ekonomi Soekarno............................................... 20
2.3.3 Pengaruh
Kebijakan Pemerintah Terhadap Perekonomian
Indonesia............................................................................... 28
2.4 Kehidupan
Sosial-Budaya Pada Masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1965).................................................................................... 31
2.5 Kehidupan
Hankam Pada Masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1965).................................................................................... 38
2.5.1 Perpecahan
Militer................................................................. 38
2.5.2
Konfrontasi Indonesia-Malaysia............................................ 38
2.5.3 Runtuhnya
Sistem Demokrasi Terpimpin.............................. 39
BAB
3. PENUTUP...................................................................................... 48
3.1 Kesimpulan..................................................................................... 48
DAFTAR PUSTA
BAB
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia
yang ada sekarang, tidaklah langsung demikian adanya. Melewati berbagai
peristiwa bersejarah yang sangat berpengaruh terhadap terbentuknya Indonesia
seperti yang kita kenal sekarang ini. Banyak hal yang telah dilalui bangsa ini
demi terciptanya bangsa yang merdeka sepenuhnya dan diakui eksistensinya oleh
dunia. Mulai dari perjuangan merebut atau memperoleh kemerdekaan Indonesia dari
tangan penjajah, hingga pergolakan yang terjadi pasca merdeka.
Pergolakan
yang terjadi setelah Indonesia merdeka terhitung banyak sekali. Mulai dari
ancaman akan datangnya penjajah kembali ke Indonesia, hingga pergolakan yang
ada dalam tubuh Indonesia itu sendiri. Pergolakan yang timbul sebagai luapan
rasa tidak puas atau kecewa dengan kebijakan atau sistem yang pemerintah
ciptakan pada masa itu. Pergolakan timbul kebanyakan berkaitan dengan masalah
politik Indonesia saat itu, yang kemudian dampaknya akan menjalar ke berbagai
aspek tidak hanya dalam politik saja.
Di tengah-tengah krisis tahun 1957,
diambillah langkah-langkah pertama menuju suatu bentuk pemerintahan yang oleh
Soekarno dinamakan “demokrasi terpimpin”. Ini merupakan suatu sistem yang tidak
tetap, yang dilahirkan dari krisis dan terus-menerus berubah sepanjang masa
yang paling kacau dalam sejarah Indonesia sejak Revolusi. Demokrasi terpimpin
didominasi oleh keprobadian Soekarno, walaupun prakarsa pelaksanaanya
diambilnya bersama-sama dengan pimpinan angkatan bersenjata. Pada waktu itu,
beberapa pengamat menganggap Soekarno sebagai diktator dan, ketika sikapnya
semakin berapi-api, beberapa pengamat cenderung menganggapnya hanya sebagai
sebuah karikatur yang sudah lanjut usia. Soekarno tidak seperti itu semua. Dia
adalah ahli manipulator rakyat dan manipulator lambang-lambang. Dia dapat
berpidato kepada khalayak ramai atau membuat terpesona musuh yang potensial
dengan sama mudahnya, meskipun dia juga sangat ahli dalam membenci
musuh-musuhnya. Dia menawarkan sesuatu untuk diyakini kepada bangsa Indonesia,
sesuatu yang diaharapkan banyak orang akan memberi mereka dan negara mereka
martabat atau kebanggaan. Kekuatan-kekuatan besar lainnya berpaling kepadanya
untuk mendapatkan bimbingan, legitimasi, atau perlindungan. Dengan menampilkan
dirinya ke depan dalam krisis tahun 1957, maka ia didukung oleh para pemimpin
lainnya dalam mempertahankan posisi sentralnya. Akan tetapi, semua ini adalah
untuk mendukung suatu keseimbangan politik yang bahkan tidak dapat ditegakkan
oleh Soekarno, suatu keseimbangan politik yang merupakan kompromi antara
kepentingan-kepentingan yang tidak dapat dirujukkan kembali dan, oleh
karenanya, tidak memuaskan semua pihak. Meskipun Soekarno memiliki pandangan
tentang masa depannya sendiri, tetapi dia tidak mempunyai satu pun pandangan
(atau setidak-tidaknya satu pun pandangan yang akhirnya dapat diterima oleh
pemimpin lainnya) mengenai masa depan negara dan bangsanya. Janji dari
demokrasi terpimpin adalah palsu.
Dengan
latar belakang yang telah kami paparkan diatas, dalam makalah ini kami akan
membahas mengenai sebuah ideologi yang pernah berlaku di Indonesia, yang juga
membawa pengaruh dan dampak cukup besar bagi sejarah dan kehidupan politik
Indonesia pada masa itu, yaitu mengenai Demokrasi Terpimpin.
1.2 Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas, rumusan masalah yang dapat kami paparkan yaitu :
1. Bagaimana lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ?
2. Bagaimana keadaan politik pada masa
demokrasi terpimpin (1959-1965)?
3. Bagaimana keadaan ekonomi pada masa
demokrasi terpimpin (1959-1965)?
4. Bagaimana keadaan sosial – budaya pada
masa demokrasi terpimpin (1959-1965)?
5. Bagaimana keadaan HANKAM pada masa
demokrasi terpimpin (1959-1965)?
1.3 Tujuan
1. Menganalisis lahirnya dekrit presiden 5
Juli 1959
2. Menganalisis keadaan politik pada masa
demokrasi terpimpin (1959-1965)
3. Menganalisis keadaan ekonomi pada masa
demokrasi terpimpin (1959-1965)
4. Menganalisis keadaan sosial – budaya
pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)
5. Menganalisis keadaan sosial – budaya
pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)
BAB
2. PEMBAHASAN
2.1 Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Sebelum Republik
Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar besaran
menuntut pembuatan suatu negara kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga
negara bagian, Negara Republik Indonesia, negara Indonesia Timur, dan negara
Sumatra Timur dihasilkan pembentukan negara kesatuan pada tanggal 17 Agustus
1950. Sejak 17 Agustus 1950, negara Indonesia diperintah dengan menggunakan
Undang – Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem
kabinet parlementer di Indonesia. Kemudian muncullah pergantian perdana menteri
selama 7 kali yang akibatnya juga mempengaruhi kehidupan politik di Indonesia.
Konstituante diberikan
tugas untuk membuat undang – undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950.
Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. UUDS
1950 ditetapkan berdasarrkan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang
perubahan konstitusi sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam sidang pertama abak ke 3 rapat ke 71
DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.
Dekrit
presiden 5 Juli 1959 dikenal sebagai suatu peristiwa yang sangat bersejarah
bagi bangsa Indonesia. Yang mengantarkan Indonesia kepada demokrasi baru yang
sama sekali berbeda dari demokrasi yang telah digunakan sebelumnya.
Dekrit 5 juli 1959
dapat dipahami sebagi seuatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan
politik melalui kepembentukan kepemimpinan
yang kuat. Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit sebagai langkah untuk
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa
dan juga merupakan tonggak sejarah indonesia, karena telah berhasil
menyelamatkan bangsa dan negara, menyelamatkan Pancasila dan UUD 1945 dari
segala macam gangguan di berbagai bidang yaitu ideologi dan politik, konstitusi
dan hokum, ekonomi, sosial dan budaya, moral serta agama. Dekrit yang dilaksanakan
oleh Presiden SSoekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapat sambutan dari
masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan kehidupan
negara yang stabil. Namun kekuatan Dekrit tersebut bukan hanya berasal dari
sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat indonesia, tetapi terletak
dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti
Mahkamah Agung (MA) dan Kepala Satuan Angkatn Darat (KSAD).
Dekrit Presiden 1959
dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru
sebagai pengganti UUDS 1950.
Anggota
konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya
sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di
kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin
kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di
depan sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk
kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan
suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju.
Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus
diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Pemungutan suara kembali dilakukan
pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga
gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses
yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD.
Keadaan seperti ini semakin menggoncangkan situasi politik
Indonesia pada saat itu. Bahkan masing-masing partai politik selalu berusaha
untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Sementara itu,
sejak akhir tahun 1956 keadaan kondisi dan situasi politik Indonesia semakin
memburuk dan kacau. Keadaan semakin memburuk karena daerah-daerah semakin
memperlihatkan gejolak dan gejala separatisme seperti pembentukan Dewan
Banteng, dewan Gajah, Dewan Garuda, Dewan Manguni dan Dewan Lambung Mangkurat.
Daerah-daerah tersebut tidak lagi mengakui pemerintahan pusat dan bahkan mereka
membentuk pemerintahan sendiri, seperti PRRI dan PERMESTA.
Keadaan yang semakin bertambah kacau ini dapat mengancam
keutuhan Negara dan bangsa Indonesia dari dalam negeri. Suasana semakin
bertambah panas, ketegangan-ketegangan diikuti oleh keganjilan sikap dari
setiap partai politik dalam konstituante. Rakyat sudah tidak sabar lagi dan
menginginkan agar pemerintah mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi
kemacetan sidang. Konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.
Pada tanggal 22 April 1959, didepan sidang konstituante,
Presiden Soekarno menganjurkan kembali kepada UUD 1945 sebagai UUD Negara RI.
Menanggapi pernyataan Presiden Soekarno tanggal 30 Mei 1959 konstituante
mengadakan siding pemungutan suara. Hasil pemungutan suara menunjukkan bahwa
mayoritas anggota konstituante menginginkan kembali berlakunya UUD 1945 sebagai
UUD Negara RI. Namun, jumlah suara tidak mencapai 2/3
dari anggota konstituante seperti yang diisyaratkan pasal 137 UUDS 1950.
Pemungutan suara diulang kembali tanggal 1 dan 2 Juni 1959, tetapi juga
mengalami kegagalan dan tidak mencapai 2/3 dari jumlah
suara yang dibutuhkan. Dengan demikian, sejak tanggal 3 juni 1959 Konstituante
mengadakan reses (istirahat).
Untuk menghindari bahaya yang disebabkan oleh kegiatan
partai-partai politik, maka pengumuman istirahat konstituante diikuti dengan
larangan melakukan segala bentuk kegiatan terhadap partai politik. Dalam
situasi dan kondisi seperti ini, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul
kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan
membubarkan konstituante serta memberlakukan UUD 1945. Pemberlakuan kembali UUD
1945 merupakan langkah terbaik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan
nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan
Dekrit Presiden.
Alasan
Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959:
1)
Undang-undang Dasar yang menjadi
pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang
Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal
dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
2)
Kegagalan konstituante dalam
menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran
sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.
3)
Situasi politik yang kacau dan
semakin buruk.
4)
Terjadinya sejumlah pemberontakan di
dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan
sparatisme.
5)
Konflik antar partai politik yang
mengganggu stabilitas nasional
6)
Banyaknya partai dalam parlemen yang
saling berbeda pendapat
7)
Masing-masing partai politik selalu
berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.
Yang
kemudian mengahsilkan sebuah keputusan yang dikenal dengan istilah Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, yang isinya yaitu :
1)
Pembubaran Konstituante;
2)
Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan
tidak berlakunya UUDS 1950;
3)
Pembentukan MPRS dan DPAS dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.
Kebijakan Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit kemudian membubarkan Kabinet Djuanda tanggal 9 juli 1959 di
gantikan dengan kabinet kerja, dimana Presiden soekarno bertindak sebagai
kepala pemerintahan, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri pertama.
Bulan juli itu juga Presiden Soekarno mengumumkan kabinetnya terdiri dari 9 menteri yang
disebut “Menteri-Menteri kabinet inti” dan 24 orang itu di sebut “Menteri
Muda”. Fakta menarik terungkap dari pembentukan kabinet kerja yang di gagas oleh
Presiden Soekarno, ternyata menteri-menteri didalamnya hampir mendominasi dari
golongan militer (TNI-AD) dengan komposisi 12 orang menduduki jabatan menteri,
bahkan 2 dari golongan militer (TNI-AD) masuk dalam menteri kabinet inti.
Berbicara mengenai peran militer dalam politik pada masa demokrasi terpimpin,
dimana militer memiliki peran ganda dalam negara yaitu sebagai fungsi pertahan
dan perannya dalam dunia politik (Sitepu,2009:21)
“Pada
awal tahun 1959 tampak gejala makin berkurangnya ancaman terhadap disintegrasi
bangsa dilihat dari gejolak dan pemberontakan daerah. Dalam pidato peringatan
HUT 17 Agustus 1959, presiden Sukarno telah menemukan jawaban atas permasalahan
yang bersifat dualistik: “dualisme antara pemerintah dan kepemimpinan revolusi”
antara “masyarakat adil makmur dan masyarakat kapitalis” antara “gagasan
revolusi belum selesai dan kebutuhan akan konsolidasi”. (Direktorat Sejarah dan
Nilai Budaya hal 265)
Dari
penejelasan diatas, jelaslah bahwa yang dinamakan presiden Soekarno telah
menemukan jawaban dari beberapa permsalahan yang saat itu tengah berkemelut,
yaitu dengan mengganti demokrasi liberal (yang dianut bangsa Indonesia) menjadi
demokrasi terpimpin. Adanya perubahan ini membawa dampak dalam berbagai aspek
bangsa.
2.2 Keadaan Politik
Setelah
dekrit
tanggal 5 Juli 1959,
sistem demokrasi terpimpin
diterapkan di Indonesia
karena memang
kondisi yang menuntut agar dilakukan perubahan
sistem politik, sehingga
hubungan antara sistem
politik dengan
kondisi yang terjadi
sangat
erat. Sistem
politik dipengaruhi
oleh
segala
macam
hal yang terjadi
disekelilingnya. Harapan
dari sistem demokrasi terpimpin mengandung aspek
restabilisasi politik, artinya
kepemimpinan yang
menguat mulai
dari pusat hingga daerah,
tujuan
tersebut untuk merapikan struktur negara yang tercerai-berai, sehingga
arah pembangunan
bangsa Indonesia menjadi
tersusun rapi dan tertata dengan satu
tujuan
revolusi
menjadi Negara kuat
dan stabilitas politik
terjaga, apabila
tercipta stabilitas politik akan membawa
hasil akan terjamin
kesejahteraan
rakyat, serta
mencegah
terjadinya disintegrasi
bangsa Indonesia.
Sesuai naskah “Kembali Kepada
Undang-Undang
Dasar 1945” tertulis jawaban pemerintah tanggal
25 Maret 1959 yang
disampaikan oleh Ir. Djuanda,
rancangan
demokrasi terpimpin
memiliki isi
dan arti sebagai berikut:
1)
Demokrasi terpimpin ialah demokrasi menurut
Undangan-Undang
Dasar 1945“
ke rakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan
perwakilan”.
2)
Demokrasi terpimpin bukan
diktator
dan berbeda pula dengan demokrasi
liberal.
3)
Demokrasi terpimpin adalah
demokrasi yang
cocok
dengan
kepribadian
dan dasar hidup bangsa
Indonesia.
4)
Demokrasi terpimpin adalah demokrasi disegala
soal kenegaraan dan
kemasyarakatan, meliputi
bidang-bidang
politik, ekonomi dan sosial.
5)
Demokrasi terpimpin adalah alat,
bukan tujuan.
6)
Tujuan melakasanakan demokrasi terpimpin
ialah mencapai suatu masyarakat
yang adil
dan makmur melalui ekonomi terpimpin.
7)
Demokrasi terpimpin juga
mengenal kebebasan
berfikir dan
berbicara, tetapi
dalam batas-batas tertentu
yaitu batas kepentingan rakyat, kepetingan keselamatan
negara
dan
kepribadian bangsa.
2.2.1
Pembentukan Lembaga Pemerintahan
a.
Pembentukan kabinet
Kabinet pada masa demokrasi terpimpin dilantik pada tanggal
10 juli 1959 dengan nama kabinet kerja,bertindak sebagai kepala pemerintahan
adalah presiden soekarno sedangkan Ir Djuanda ditunjuk sebagai menteri pertama
dibantu dengan dua orang wakilnya J Leimena dan Subandrio. Program jangka
pendek dari kabinet meliputi; sandang pangan, keamanan dalam negeri, pembebasan
irian barat dan melanjuaatkan perjuangan anti imperiallisme. Selanjutnya
program jangka panjang dari kabinet tersebut bertujuan agar tercipta
maasyarakat yang adil dan makmur serta melenyapkan kolonialisme dan
imperialisme menuju perdamaian dunia.
Karena tidak ada wakil presiden, maka presiden mengadakan
jabatan menteri pertama. Ir. Djuanda ditunjuk untuk memegang jabatan itu.
Program kabinet kerja yang terkenal dengan nama Triprogram. Triprogram itu
meliputi :
1.
Mencukupi kebutuhan sandang pangan
2.
Menciptakan keamanan negara
3.
Mengembalikan Irian Barat
Kabinet kerja pada masa demokrasi
terpimpin tidak bersifat permanen, artinya kabinet ini juga mengalami
pergantian struktur maupun posisi menteri yang duduk dalam kabinet. Kabinet
yang dilantik pada tanggal 10 Juli 1959 merupakan kabinet kerja I karena dalam
pelaksaan demokrasi terpimpin terjadi beberapa kali pergantian kabinet kerja
dan terjadi juga pergantian nama kabinet seperti beikut:
a. Kabinet Kerja I dilantik pada
tanggal 10 Juli 1959 dan berakhir masa kerjanya tanggal 18 Februari 1960,
kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan Ir Djuanda sebagai
menteri pertama.
b. Kabinet Kerja II
dilantik pada tanggal 18 Februari 1960
dan berakhir masa kerjanya tanggal 6 Maret 1962, kepala pemerintahan dijabat
oleh Presiden Soekarno dan menteri pertama Ir. Djuanda Kartawidjaja bersama
wakil menteri pertama J. Leimena.
c.
Kabinet Kerja III dilantik pada tanggal 6 Maret 1962 dan berakhir masa kerjanya
tanggal 13 November 1963, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno
dan menteri pertama Ir. Djuanda Kartawidjaja bersama J. Leimena sebagai wakil
menteri pertama I ditambah Subandrio sebagai wakil menteri pertama II. wakil
menteri pertama/koordinator pertahanan/keamanan dijabat A.H. Nasution sejak
tanggal 22 Januari 1962 diubah menjadi Wakil Menteri Pertama/Menteri/Kepala
Staf Angkatan Bersenjata.
d. Kabinet Kerja IV
dilantik pada tanggal 13 November 1963 sesuai dengan surat keputusan presiden
No. 232/1963 tertanggal 13 November 1963 dan berakhir pada tanggal 27 Agustus
1964, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan Subandrio sebagai
wakil kepala pemerintahan I, J. Leimena sebagai wakil kepala pemerintahan II
ditambah Chaerul Saleh sebagai wakil kepala pemerintahan III. Ketiga wakil
Kepala pemerintahan merupakan satu Presidium yang berada langsung di bawah
Presiden/kepala pemerintahan.
e. Kabinet Dwikora I dilantik
pada tanggal 27 Agustus 1964 dan berakhir masa kerjanya sampai tanggal 22
Februari 1966, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan Subandrio
sebagai wakil kepala pemerintahan I, J. Leimena sebagai wakil kepala
pemerintahan II ditambah Chaerul Saleh sebagai wakil kepala pemerintahan III.
f. Kabinet Dwikora II
dilantik pada tanggal 24 Februari 1966 dan berakhir masa kerjanya sampai
tanggal 28 Maret 1966, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan
Subandrio sebagai wakil kepala pemerintahan I, J. Leimena sebagai wakil kepala
pemerintahan II ditambah Chaerul Saleh sebagai wakil kepala pemerintahan III
ditambah K.H. Idham Chalid wakil kepala pemerintahan IV serta menteri
penerangan diperbantukan ke Presidium. Tanggal 18 Maret 1966 Subandrio dan
Chaerul Saleh serta beberapa menteri lain ditangkap akibat gejolak politik
paska Gerakan 30 September, sehingga posisi beberapa menteri menjadi kosong
sampai terbentuknya kabinet baru.
g. Kabinet Dwikora III
dibentuk tanggal 28 Maret 1966 dan berakhir masa kerjanya sampai tanggal 25
Juli 1966, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan J. Leimena
sebagai wakil kepala pemerintahan untuk Urusan Umum.
h. Kabinet Ampera I
dibentuk tanggal 25 Juli 1966 dan berakhir masa kerjanya sampai tanggal 17
Oktober 1967, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan ketua
Presidium adalah Letjen Soeharto, untuk selanjutnya kabinet ini diteruskan oleh
Soeharto selaku Pjs. Presiden Seokarno.
b.
Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung
Setelah kabinet terbentuk tanggal 22 Juli 1959 langkah
selanjutnya Presiden Soekarno adalah membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA),
sebagai penetapan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) maka Presiden Soekarno
mengelurkan Penpres No. 3 tahun 1959. Lembaga ini terdiri dari empat puluh tiga
anggota, diluar Presiden Soekarno sendiri sebagai ketua dan Roeslan Abdulgani
sebagai wakil ketua, pengangkatan anggota tersebut didasarkan kepada tiga
golongan. Pemimpin-pemimpin dari sepuluh partai penting yang tidak disertakan dalam
kabinet kemudian diberikan dua belas kursi di DPA. Golongan kedua terdiri dari
wakil-wakil daerah, delapan kursi. Selebihnya, dua puluh tiga kursi, diberikan
kepada wakil-wakil golongan kekaryaan (Legge, 1985:359).
Dasar hukum pembentukan
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) berlandaskan kepada Undang-Undang Dasar 1945
yang berlaku pada masa demokrasi terpimpin yaitu tertuang pada Pasal 16 Ayat 1
dan 2. Kedudukan Dewan Pertimbangan Agung merupakan lembaga negara dengan
prinsip dan falsafah kekeluargaan sebagai pemberi jawaban dan
pertimbangan-pertimbangan atas pertanyaan pemerintah. Sehubungan fungsi Dewan
Nasional yang hampir mirip dengan Dewan Pertimbangan Agung maka pada tanggal 12
Juli 1959 Dewan Nasional dibubarkan pada sidang VII bertempat di Istana Bogor.
Selanjutnya pada
tanggal 15 Juli 1959 dilaksanakan pelantikan Dewan Pertimbangan Agung. Tugas
dan fungsi dari Dewan Pertimbangan Agung (DPA) adalah memberikan jawaban dan
nasehat maupun usulan kepada pemerintah baik dibutuhkan atau tidak, Presiden
Soekarno juga menjelaskan bahwa Dewan Pertimbangan Agung hampir memiliki tugas
yang sama dengan Dewan Nasional. Dewan Pertimbangan Agung lebih tegas disebut
di dalam Undang Undang Dasar 1945 tetapi juga karena Dewan Pertimbangan Agung
bukan hanya diketuai oleh Presiden Soekarno seperti Dewan Nasional, tetapi di
ketuai oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan (Tumakaka, 1996:151).
c.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS)
Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) dibentuk bersadarkan Penpres No. 2 Tahun 1959. Para
anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh presiden dengan sejumlah persyaratan :
setuju kembali kepada UUD 1945, setia kepada perjuangan RI, dan setuju pada
manifesto politik. Keanggotaan MPRS terdiri atas 61 orang anggota DPR, dan 200
wakil golongan. Pada saat itu, ABRI mulai terjun ke dunia politik. Hal ini
sesuai dengan ide Dwifungsi ABRI yang dicetuskan oleh A.H Nasution. Tugas MPRS
terbatas pada menetapkan Garis – garis Besar Haluan Negara. Berikut merupakan
beberapa keputusan yang dibuat oleh MPRS:
1. Melaksanakan Manifesto Politik
2. Pengankatan Ir. Soekarno sebagai
presiden seumur hidup
3. Pidato presiden yang berjudul “Berdiri
di atas kaki sendiri” sebagai pedoman revolusi dan politik luar negeri.
Penetapan Presiden No.
2 tahun 1959 yanggal 31 Desember 1959 merupakan dsar hukum pembentukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagaimana memiliki syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Syarat-syarat keanggotaan DPR berlaku
uga bagi anggota MPRS dengan tambahan syarat membacadan menulis diartikan
membaca dan menulis huruf latin.
b. Setuju dengan kembali ke UUD 1945
c. Tidak cacat dalam perjuangan Revolusi .
Syarat ini dianggap sebagai suatu syarat cacat.
d. Setuju kepada Manifesto Politik yang
diucapkan oleh Presiden oleh Presiden tanggal 17 Agustus 1959 ( Tumaka:161)
Jumlah MPRS yang
dibentuk pada tahun 1960 terdiri dari 616 anggota (Legge 1985:358), jumlah
tersebut nampaknya setelah Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu tahun
1955 dan membentuk DPR GR, jumlah pasti keanggotaan Majelis Permusyawarata
Rakyat (MPR) memang tidak dijelaskan dengan mendetail dalam Undang Undang Dasar
1945 pasal 2 ayat 1.
Mengatasi jumlah
keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) maka presiden
Soekarno mengajukan pertanyaan kepada Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam
sidang I tanggal 27 Agustus 1959 , kemudian dalam sidang II tanggal 23
September 1959 melahirkan sebuah jawaban dari Dewan Pertimbanagan Agung (DPA)
terkait jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).Jumlah
anggotanya tidak lebih sedikit dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (
DPR ) karena dianggap akan membahayakan kondisi politik apabila terjadi
pemungutan suara terbanyak seperti yang terjadi pada waktu Konstituante dan
akan mengalami kembali kemacetan politik.Mengingat tugas dari Maajelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) keepan sangat menentukan untuk menetapkan
Undang-undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sesuai pasal 3
memilih Presiden dan Wakil Presiden pada pasal 6 ayat 2 Undang Undang Dasar
1945.
Tugas dan wewenang
Majelis Permusyawatan Rakyat Sementara (MPRS) adalah melaksanakan pasal 3 dan
pasal 6 ayat 2 Undangan-Undang Dasar 1945 tidak secara utuh harus dilaksanakan
keseluruhan, sebab sesuai saran dan nasehat Dewan Pertimabngan Agung (DPA)
bahwa kedudukan Majelis Permusyawatan Rakyat Sementara (MPRS) hanya bersifat
sementara, maksudnya adalah tidak merubah dan mengganti Undang-Undang Dasar
1945 serta memilih Presiden/Wakil Presiden, jelas bahwa wewenang dari Majelis
Permusyawatan Rakyat Sementara (MPRS) hanya mengesahkan Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN). Pendapat ini juga dipertegas oleh Presiden Soekarno dalam
amanat negara pada pembukaan sidang pertama MPRS tanggal 10 November 1960.
d.
Pembentukan Front Nasional
Front Nasional adalah sebuah pengorganisaian massa dengan
maksud dan tujuan bersama menghimpun kekuatan untuk tercapainya sebuah gerakan
massa berlandaskan gotong-royong untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia,
Presiden Soekarno juga mempertegas maksud dari gagasan akan di bentuk
lembaga front Nasional yaitu akan dibentuk untuk menggalang seluruh
rakyat. Lembaga tersebut harus menggalang seluruh kekuatan kegotong-royong
rakyat. Front Nasional harus menggalang semangat dan tenaga di kalangan rakyat,
kemudian dijadikan satu gelombang “holobis kuntul baris” untuk menyelesaikan
revolusi (Soekarno, 1959:69).
Front Nasional lahir dari gagasan Presiden Soekarno kemudian
peran Dewan Pertimbangan Agung ikut serta mendorong kesepakatan pembentukan
lembaga tersebut, melalui saran dan pertimbangan yang disampaikan Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) maka dikelurkan Penetapan Presiden No.13/1959 tanggal 31 Desember 1959 tentang
Front Nasional yang mengatur pembentukan azas,tujuan,tugas dan lain-lain dari
Front Nasional. Kemudian melalui Keputusan Presiden No.34 tahun 1960 tanggal 23
april dibentuk panitia persiapan untuk mempersiapkan program dengan batas waktu
penyusunan paling lambat pada akhir bulan Mei 1960. Tanggal 8 September 1960
Pengurus Besar Front Nasional dilantik oleh Presiden Soekarno di Istana Negara.
Tugas dari Front Nasional adalah :
1. Menyelesaikan revolusi nasional
2. Melaksanakan pembangunan
3. Mengembalikan Irian Barat
e. Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPR – GR)
Setelah keluarnya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, para anggota DPR hasil pemilu 1955 menyatakan
kesediaannya untuk bekerja terus. Setelah adanya kesediaan, para anggota DPR
itu, pemerintah mengeluarkan ketetapan pada tanggal 22 Juli 1959 tentang
penetapan DPR. DPR hasil pemilu 1955 ditetapkan berdasarkan Penpres No.1 tahun
1959 yang dilantik pada tanggal 23 Juli 1959 dan awalnya anggota DPR hasil
pemilu 1955 akan mengikuti saja kebijakan presiden Ir. Soekarno. Akan tetapi,
DPR hasil pemilu 1955 ternyata menolak Rencana Anggaran Belanja Negara (RAPBN)
tahun 1960 yang diajukan oleh pemerintah. Penetapan Anggaran
Pendapatan
dan Belanja Negara, dari 44 milyar rupiah
yang diajukan
Pemerintah hanya disetujui sekitar 36
sampai
38 milyar rupiah
(Budiardjo,
2003:192). Langkah
pembubaran
DPR hasil pemilu 1955 disebut retooling. Istilah retooling telah dijelaskan
oleh Presiden Soekarno
dalam pidato
17 Agustus 1959 Manifesto Politik bahwa retooling berarti
mengganti sarana-sarana, alat-alat
dan aparatur
negara
yang
tidak
sesuai dengan pikiran demokrasi terpimpin.
Retooling juga berarti menghemat
segala
sarana-sarana
dan alat-alat yang masih dapat
digunakan(Soekarno, 1959:50).
Penolakan RAPBN
tersebut menyebabkan keluarnya Penpres NO.3 tahun 1960 tentang pembubaran DPR
hasil pemilu 1955. Tindakan itu disusun dengan pembentukan DPR baru yang diberi
nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong atau DPR-GR pada tanggal 24 Juni
1960.
Semua anggota DPR-GR
adalah hasil penunjukan presiden tanpa didasarkan pada perimbangan kekuatan
partai politik pemilu 1955. Anggota DPR-GR terdiri atas wakil – wakil golongan
politik, golongan karya, dan seorang wakil dari Irian Barat. Keanggotaan DPR-Gr
dibahas dan disusun oleh presiden di Istana Tampaksiring, Bali. Pembentukan
DPR-GR mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak. Kelompok yang menolak ini,
kemudian membentuk wadah yang dinamakan Liga Demokrasi yang diketuai oleh Imron
Rosyadi dari NU. Partai yang tergabung dalam liga ini adalah NU, Parkindo,
Partai Katolik, Liga Muslimin, PSII, IPKI dan Masyumi. Pada akhir bulan Maret
1960, liga ini mengeluarkan pernyataan agar dibentuk DPR yang lebih demokratis
dan konstitusional. Liga Demokrasi meminta agar peresmian DPR-GR ditangguhkan.
Menanggapi pernyataan
dari Liga Demokrasi tersebut, presiden Ir. Soekarno bersikap tegas dan
menegaskan bahwa demokrasi terpimpin harus berjalan dengan baik dan DPR-GR
harus segera bekerja. Liga Demokrasi yang menolak DPR-GR segera dilarang. Pada
tanggal 25 Juni 1960, presiden meresmikan dan melantik anggota DPR-GR yang
berjumlah 283 orang. Dari seluruh anggota DPR-GR, tidak ada seorangpun yang
berasal dari PSII dan Masyumi. Dalam pidato pelantikannya, presiden Ir.
Soekarno menjelaskan bahwa tugas DPR-GR adalah:
1. Melaksanakan Manipol
2. Merealisasikan “amanat penderitaan
rakyat”
3. Melaksanakan demokrasi terpimpin
Dalam upacara
pelantikan wakil – wakil DPR-GR tanggal 5 Januari 1961, presiden Ir.Soekarno
kembali menjelaskan kedudukan DPR-GR sebagai pembantu presiden atau mandataris
MPRS.
2.2.2
Kebijakan Politik Dalam Negeri
Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) memberikan pernyataan bahwa Manifesto Politik tersebut adalah
penjelasan resmi dari dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sehingga tidak dapat
dipisahkan antara Manifesto Politik dan dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959,
apabila ingin memahami dekrit Presiden harus memahami Manifesto Politik begitu
pula sebaliknya. Manifesto Politik tidak memiliki kesamaan dengan Manisfesto
Komunis tahun 1848 yang tulis oleh Karl Marx dan Freidrich Ennggels, Manifesto
Politik memiliki maksud dan tujuan sebuah revolusi menuju sosialisme Indonesia.
Dalam pidato-pidatonya di awal tahun 1959, Presiden Soekarno mengungkapkan
bahwa revolusi Indonesia memiliki lima gagasan penting (Feith, 1995:80).
Intisari 5 hal penting dari Manifesto Politik diungkapkan Presiden Soekarno
pada bulan Februari 1960 pada acara pembukaan kongres pemuda dikota Bandung
yaitu:
1.Undang-Undang
Dasar 1945.
2.Sosialisme
Indonesia.
3.Demokrasi
terpimpin
4.Ekonomi
terpimpin
5.Kepribadian
Indonesia
Dari kelima kata
tersebut dapat diambil huruf depan menjadi USDEK, sebenarnya istilah Usdek
tidak secara resmi ditetapkan oleh Presiden Soekarno melainkan istilah Usdek di
peroleh dari rapat pamong praja di Jawa Barat. Ketua DPRD bernama Kosasih,
dalam penyampiannya dianjurkan untuk menghafal lima intisari Manifesto Politik
dalam rangkian Usdek, sehingga dalam penggunaannya sering di sebut
Manipol-Usdek. Penjelasannya adalah apabila sepakat dengan Undang-Undang Dasar
1945. Tujuan yang terkandung pada amanah sosialisme Indonesia, apabila sepakat
dengan sosialisme Indonesia maka pelaksaannya melalui demokrasi terpimpin dan
ekonomi terpimpin, kesemuanya itulah adalah Kepribadian bangsa Indonesia.
Apabila sedikit
dicermati bahwa tulisan tentang Nasionalis, Islam dan Marxis direncanakan untuk
tahun-tahun perjuangan dan itu sebenarnya dimaksudkan untuk menjembatani
perbedaan-perbadaan serta membina usaha bersama untuk mencapai kemerdekaan,
sedangkan Nasakom juga merupakan persatuan ketiga ideologi dengan tujuan yang sama
yaitu berjuang melawan kolonialisme dan imprialisme dalam suasana revolusi,
hanya saja terdapat perbedaan dari situasi dan kondisi dari kedua gagasan
tersebut. Gagasan Nasionalis, Islam dan Marxis berada dalam kondisi sebelum
kemerdekaan sedangkan Nasakom berada dalam situasi kemerdekaan dan kondisi
politik yang belum sepenuhnya mendukung gagasan tersebut, faktor lain juga
mempengaruhi kalangan militer yang tidak pernah sependapat bahkan saling
bertentangan dengan pihak Komunis.
Nasakom harus dipahami
sebagai doktrin pada masa demokrasi terpimpin sebagai alat perjuangan melawan
kolonialisme dan imprialisme karena ketiga unsur tersebut merupakan aspek
pendukung yang revolusiner menuju sosisalisme Indonesia, konsep Nasakom sangat
jelas sebagai sebuah wadah persatuan bukan mengkotak-kotak unsur tersebut
menjadi tiga golongan, bukan juga hanya PNI, NU dan PKI gambaran dari ketiga
partai politik, melainkan segala unsur di Indonesia yang berpaham Nasionalis,
Agama dan Komunis. Ideologi Nasakom akan menjadi gelombang yang besar apabila
tidak dipahami secara sempit, ketiga unsur tersebut merupakan kekuatan yang
akan membuat Indonesia lebih kokoh dalam percaturan politik dunia internasional
serta menjadi sebuah ancaman menakutkan bagi kolonoalisme dan imprialisme. Sehingga
tidak heran apabila dalam pelaksanaan demokrasi terpimpin banyak kalangan yang
anti revolusi mengutuk ideologi Nasakom dan beranggapan Nasakom hanya
kepentingan salah satu aliran ideologi
2.2.3
Politik Luar Negeri
Semenjak ditetapkan
berlakunya kembali Undang – Undang Dasar 1945 dengan Dekrit Presiden tertanggal
5 Juli 1959, terdapat serangkaian dokumen – dokumen yang mendasari politik luar
negeri Republik Indonesia, yakni :
1. Undang – Undang Dasar 1945
2. Amanat Presiden/Panglima Tertinggi
Angkatan Perang pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali
Revolusi Kita” dan yang terkenal sebagai “Manifesto Politik Republik
Indonesia”. Dengan penetapan presiden No.1 tahun 1960, tanggal 29 Januari 1960,
yang diperkuat pula dengan ketetapan MPRS No. 1/MPRS/I/1960, tanggal 19
November 1960, Manifesto tersebut telah dijadikan “Garis Besar Haluan Negara”
3. Amanat presiden tanggal 17 Agustus 1960
yang terkenal dengan nama “Jalannya Revolusi Kita” yang dengan ketetapan MPRS
No.I/MPRS/1960, tanggal 9 Nopember 1960 telah dijadikan “Pedoman Pelaksanaan
Manifesto Politik Republik Indonesia”
4. Pidato presiden tanggal 30 September
1960 dimuka sidang PBB yang berjudul “To Build the World anew” (membangun dunia
kembali), yang dengan ketetapan MPRS NO.I/MPRS/1960, tanggal 19 Nopember 1960,
ditetapkan sebagai Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia dan
yang dengan keputusan DPA NO.2/Kpts/Sd/61, tanggal 19 Januari 1961, dinyatakan
sebagai “Garis – garis Besar Politik Luar Negeri RI” dan sebagai “Pedoman Pelaksaaan
Manifesto Politik Republik Indonesia dibidang politik Luar Negeri RI”
Kebijaksanaan politik
luar negeri yang bertolak dari teori – teori revolusi itu telah menyeret
diplomasi Indonesia ke hadapan panggung politik dunia, tanpa memperhatikan prioritas
kepentingan dan sumber – sumber kekuatan nasional. Di sini pula berlaku teori
bahwa “politik adalah panglima”. Dasar politik luar negeri RI termaktub dalam
Undang – Undang Dasar 1945 alinea pertama Pembukaannya yang berbunyi :
“Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan”.
Dibidang politik luar
negeri Manipol menyatakan sebagai tujuan jangka pendek “melanjutkan perjuangan
anti imperialisme ditambah dengan mempertahankan kepribadian Indonesia di
tengah – tengah tarikan – tarikan ke kanan dan ke kiri, yang sekarang sedang berlaku
kepada kita dalam pergolakan dunia menuju keseimbangan baru.dalam jangka
panjang, Revolusi Indonesia bertujuan untuk “melenyapkan imperialisme dimana –
mana, dan mencapai dasar – dasar bagi perdamaian dunia yang kekal dan abadi”.
Menurut perincian Dewan
Pertimbangan Agungdalam keputusan No.2/Kpts/Sd/I/61 tanggal 19 Januari 1961,
Garis – garis Dasar Politik Luar Negeri RI yang terdapat dalam pidato
“Membangun Dunia Kembali”, adalah sebagai berikut:
1. Dasar :
UUD 1945
2. Sifat :
bebas dan aktif, anti-imperialisme dan kolinialisme
3. Tujuan :
a. Mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan
Indonesia yang penuh
b.
Mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional
dari seluruh bangsa – bangsa di dunia
c.
Mengabdi pada perjuangan untuk membela perdamaian dunia.
Politik bebas dan aktif indonesia bukanlah suatu pulitik
netralisme dan dalam hubungannya dengan non-alignment . indonesia berpendirian
bahwa politik non-alignment juga bukan politik netralisme dimana pada dasrnya
non alignment itu aktif dan diplomasi indonesia senantiasa diarahkan pada
posisi subjek dan bukan sebagai objek dalam pergolakan politik internasional
.gerakan non-blok merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang
kehidupan politiknya tidak terpengaruh oleh blok barat maupun blok
timur.gerakan ini memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan
bangsa-bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan perang dingin. keterlibatan
indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik indonesia di dunia
sudah cukup maju. GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia
dan kemanusiaan. bagi indonesia, GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari
UUD1945 baik dalam skala nasional dan internasional yang melahirkan KAAPolitik
bebas dan aktif indonesia bukanlah suatu pulitik netralisme dan dalam
hubungannya dengan non-alignment . indonesia berpendirian bahwa politik
non-alignment juga bukan politik netralisme dimana pada dasrnya non alignment
itu aktif dan diplomasi indonesia senantiasa diarahkan pada posisi subjek dan
bukan sebagai objek dalam pergolakan politik internasional .gerakan non-blok
merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang kehidupan
politiknya tidak terpengaruh oleh blok barat maupun blok timur.gerakan ini
memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika dan
mencegah perluasan perang dingin. keterlibatan indonesia dalam GNB menunjukkan
bahwa kehidupan politik indonesia di dunia sudah cukup maju. GNB merupakan
gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. bagi indonesia,
GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional
dan internasional yang melahirkan KAA
- Politik
Konfrontasi Nefo dan Oldefo
Terjadi penyimpangan dari politik
luar negeri bebas aktif yang menjadi cenderung condong pada salah satu poros.
Saat itu Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih mengarah pada
negara-negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik
Konfrontasi tersebut dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging
Forces) dan Oldefo (Old Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru yang
sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia
dan negara-negara komunis umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme.
Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis
yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim). Untuk mewujudkan Nefo maka
dibentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang. Dampaknya ruang
gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab hanya berpedoman ke
negara-negara komunis.
- Politik Konfrontasi Malaysia
Indonesia juga menjalankan politik
konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak setuju
dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap sebagai proyek
neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok
Nefo. Dalam rangka konfrontasi tersebut Presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat
(Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964, yang isinya sebagai berikut.
1. Perhebat
Ketahanan Revolusi Indonesia.
2. Bantu perjuangan rakyat
Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
3. Pelaksanaan Dwikora dengan
mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat menunjukkan adanya campur
tanggan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.
- Politik
Mercusuar
Politik Mercusuar dijalankan oleh
presiden sebab beliau menganggap bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat
menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Untuk mewujudkannya maka
diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang diharapkan dapat
menempatkan Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di kalangan Nefo.
Proyek-proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar mencapai milyaran
rupiah diantaranya diselenggarakannya GANEFO (Games of the New Emerging Forces
) yang membutuhkan pembangunan kompleks Olahraga Senayan serta biaya perjalanan
bagi delegasi asing. Pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari
keanggotaan PBB sebab Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan
Keamanan PBB.
- Politik
Gerakan Non-Blok
Gerakan Non-Blok merupakan gerakan
persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang kehidupan politiknya tidak
terpengaruh oleh Blok Barat maupun Blok Timur. Selanjutnya gerakan ini
memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika dan
mencegah perluasan Perang Dingin. Keterlibatan Indonesia dalam GNB menunjukkan
bahwa kehidupan politik Indonesia di dunia sudah cukup maju. GNB merupakan
gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. Bagi RI, GNB
merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional dan
Internasional.
2.3
Kehidupan
Ekonomi
Perubahan politik menuju demokrasi terpimpin barakibat
ekonomi pun mengikuti ekonomi terpimpin. Di mana ekonomi indonesia bersifat
agraris yang lebih kurang 80% dari penduduk hidup dalam pertanian ataupun
perkebunan dan hasilnya dijual dan diekspor keluar negeri untuk memperoleh
devisa atau valuta asing guna membeli atau mengimpor berbagai bahan baku dan
barang konsumsi yang tidak dapat dihasilkan di indonesia. Sehingga ekonomi
terpimpin merupakan bagian dari demokrasi terpimpin. dimana semua aktivitas
ekonomi disentralisasikan di pusat pemerintahan sementara daerah merupakan
kepanjangan dari pusat. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk menunjang
pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut:
2.3.1
Pembentukan Badan Perencana Pembangunan Nasional
Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah kabinet
kerja maka dibentuklah dewan perancang nasional (Depernas) pada Tanggal 15
Agustus 1959 Dipimpin Oleh Moh.Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang.tugas
depernas:
1) Mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang Pembangunan Nasional Yang Berencana
2) Menilai
Penyelenggaraan Pembangunan
Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun depenas berhasil
menyusun Rancangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara berencana
tahapan tahun 1961-1969 yang disetujui oleh MPRS.
Pada tahun 1963, Dewan Perancang Nasional diganti dengan
Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden
Sukarno. Dalam rangka usaha membendung inflasi maka dikeluarkan kebijakan:
1)
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No.2 Tahun 1959 yang mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959.
Peraturan itu dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran untuk
kepentingan perbaikan keadaan keuangan dan perekonomian negara. Untuk mencapai
tujuan itu nilai uang kertas pecahan Rp.500,- dan Rp.1000,- yang ada dalam
peredaran pada saat berlakunya peraturan itu diturunkan masing-masing menjadi
Rp.50,- dan Rp.100,-.
2)
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No.3 tahun 1959 tentang pembekuan sebagian dari simpanan pada
bank-bank yang dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran, yang
terutama dalam tahun 1957 dan 1958 sangat meningkat jumlahnya.
Peraturan
moneter tanggal 25 Agustus 1959 diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No.6/1959, yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang
lembaran seribu rupiah dan lima ratus rupiah yang masih berlaku (dan yang kini
bernilai seratus rupiah dan lima puluh rupiah) harus ditukar dengan uang kertas
bank baru sebelum tanggal 1 Januari 1960. Untuk menampung akibat-akibat dari
tindakan moneter dari bulan Agustus 1959 dibentuklah Panitia Penampung Operasi
Keuangan (PPOK). Tugas pokok dari panitia ini ialah menyelenggarakan tindak
lanjut dari tindakan moneter itu, tanpa mengurangi tanggung jawab menteri,
departemen, dan jawatan yang bersangkutan.
Akibat utama dari tindakan moneter yang dilakukan oleh
pemerintah ialah terjadinya kesukaran likuiditas di semua faktor, baik sektor
pemerintah maupun sektor swasta.Keadaan ini merupakan suatu kesempatan yang
baik untuk mengadakan penertiban dari segala kegiatan pemerintah dan swasta
yang sebelumnya seolah-olah tidak terkendalikan. Untuk tujuan itu pemerintah
menginstruksikan:
1) Penghematan
bagi instansi pemerintah serta memperketat pengawasan atas pelaksanaan anggaran
belanja.
2) Dilakukan
penertiban manajemen dan administrasi perusahaan-perusahaan negara, baik yang
sudah lama ada, maupun yang baru diambil alih dari pihak Belanda.
3) Dengan
tindakan moneter tanggal 25 Agustus 1959 itu, pemerintah bertujuan akan dapat
mengendalikan inflasi dan mencapai keseimbangan dan kemantapan moneter dengan
menghilangkan excess liquidity dalam masyarakat. Hal itu diusahakan dengan
menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang-bidang usaha yang dipandang penting
bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Tetapi pada akhir tahun 1959 itu
juga, jadi hanya 4 bulan lebih sedikit setelah dilakukan tindakan moneter
tersebut, dapat diketahui bahwa pemerintah mengalami kegagalan. Semua
tindakan-tindakan moneter itu tidak mencapai sasarannya karena pemerintah tidak
mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam
pengeluaran-pengeluarannya.Misalnya saja menyelenggarakan proyek mercu-suar
seperti Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dan Conefo (Conference of The
New Emerging Forces).
Sejak tahun 1961, Indonesia terus-menerus membiayai
kekurangan neraca pembayarannya dari cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun
1965, untuk pertama kali dalam sejarah moneternya, Indonesia sudah habis
membelanjakan cadangan emas dan devisanya, yang memperlihatkan saldo negatif
sebesar US $ 3 juta sebagai akibat politik konfrontasi terus-menerus yang
dilakukan.Tingkat kenaikan harga-harga paling tinggi terjadi dalam tahun 1965
(antara 200%-300% dari harga tahun 1964). Presiden Sukarno menganggap perlu
untuk mengintegrasikan semua Bank Negara ke dalam suatu organisasi Bank Sentral.Untuk
itu dikeluarkan Penetapan Presiden No.7 tahun 1965 tentang Pendirian Bank
Tunggal Milik Negara. Tugas bank tersebut adalah menjalankan
aktivitas-aktivitas bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum. Maka kemudian
diadakan peleburan bank-bank negara seperti: Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN);
Bank Umum Negara; Bank Tabungan Negara; Bank Negara Indonesia ke dalam Bank
Indonesia. Sesudah pengintegrasian Bank Indonesia itu selesai, barulah dibentuk
Bank Negara Indonesia. Bank Negara Indonesia tersebut dibagi dalam beberapa
unit, yang masing-masing unit menjalankan pekerjaannya menurut aturan-aturan
pendiriannya. Keadaan itu berlangsung terus sampai Bank Tunggal itu dibubarkan
dengan berlakunya Undang-undang No.13 Tahun 1968.
2.3.2 Penurunan Nilai Uang
Tujuan dilakukan devaluasi :
1) Guna
Membendung Inflasi Yang Tetap Tinggi
2) Untuk
Mengurangi Jumlah Uang Yang Beredar Di Masyarakat
3) Meningkatkan
Nilai Rupiah Sehingga Rakyat Kecil Tidak Dirugikan.
Maka
Pada Tanggal 25 Agustus 1959 Pemerintah Mengumumkan Keputusannya Mengenai
Penuruan Nilai Uang (Devaluasi), Yaitu Sebagai Berikut:
1) uang
kertas pecahan bernilai Rp. 500 Menjadi Rp. 50
2) uang
kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 Menjadi Rp. 100
3) pembekuan
semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000
Tetapi
usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang
semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter.para pengusaha daerah di
seluruh indonesia tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut. Pada
masa pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang menjadi murah
tetapi tetap saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki
uang.
2.3.3
Menyikapi Kenaikan Laju Inflasi
Latar belakang meningkatnya laju
inflasi :
1) Penghasilan
negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan
2) Nilai
mata uang rupiah mengalami kemerosotan
3) Anggaran
Belanja mengalami defisit yang semakin besar
4) Pinjaman
luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada
5) Upaya
likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil
6) Penertiban
administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan keuangan tak
memberikan banyak pengaruh
7) Penyaluran
kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan rakyat
dan pembangunan mengalami kegagalan.
Dan selain itu ada pula kegagalan-kegagalan
yang disebabkan karena:
1) Pemerintah
tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan pengeluaran.
2) Pemerintah
menyelenggarakan proyek-proyek Mercusuar seperti GANEFO (Games Of The New
Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference Of The New Emerging Forces) Yang
Memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya pada setiap tahunnya.
Salah satu langkah yang dilakukan oleh soekarno dalam
menstabilkan keadaan ekonomi, maka kredit-kredit luar negeri diperbolehkan
diterima untuk Pembangunan dan perluasan aparat produksi nasional. Hal ini
dapat memperbesar volume komoditas ekspor guna membayar utang-utang luar negeri
dan kepentingan lainnya. politik ekonomi terpimpin sangat rentan terhadap
bahaya berupa Insolvensi Internsional dari suatu negara yang dapat menarik
kedalam suatu blok, fakta, atau lingkungan pengaruh di antara nya peristiwa
konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia, dan bantuan dari RRC pada Indonesia
melalui perdagangan bilateral atas dasar Government To Government (G To G) RRC
Mmendapatkan keuntungan politik dan ekonomi yang tidak sedikit.
Campur tangan tentara dalam perekonomian meningkat. Pada tahun
1959 pihak tentara mulai memindahkan orang-orang Cina secara paksa dari daerah
pedesaan ke kota, sekitar 119.000 orang dipulangkan ke Cina. Pada bulan Mei
1959 telah diputuskan bahwa mulai tanggqal 1 Januari 1960 orang-orang asing
dilarang melakukan perdagangan di pedesaan. Langkah ini didorong oleh pihak
militer untuk memukul orang-orang cina, melemahkan hubungan Jakarta dengan Cina,
dan mempersulit urusan PKI.
2.3.4 Perkreditan dan Perdagangan
Luar Negeri
Politik luar negeri pada masa Demokrasi Terpimpin di bidang
perkreditan dan perdagangan hakekatnya tidak berbeda sifatnya dari sistem ijon
dari petani-petani dan pengusaha-pengusaha kecil, hanya saja kredit luar negeri
ini berskala nasional dan menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia. Dalih
perkreditan luar negeri pada masa ini adalah mengarrangement dan readjustment
dengan negara-negara kreditor. Dan sementara itu masyarakat Indonesia pada
umumnya masih beranggapan bahwa hutang adalah identik dengan penghasilan.
Perdagangan luar negeri antara Indonesia dengan negara lain
misalnya dengan negara Cina. Perdagangan bilateral tersebut dijalin atas dasar Government to Government (G to G). Dalam
perdagangan G to G ini RRC memperoleh keuntungan politik disamping keuntungan
ekonomi yang tidak sedikit. Sebagai contoh perdagangan karet.
Transaksi-transaksi karet rakyat Indonesia dengan RRC pada hakekatnya adalah
pembelian bahan baku yang murah oleh RRC, yang kemudian dijual kembali sebagai
barang jadi yang mahal ke Indonesia sebagai yang disebut bantuan luar negeri. Dalam
hubungan ini adakalanya barang-barang yang bercap RRC seperti tekstil yang
dikirim sebagai bantuan ke Indonesia bukan dibuat di RRC sendiri akan tetapi di
Hongkong. Dalam hal ini disebut bantuan pada hakekatnya adalah hasil keuntungan
RRC dari pembelian karet rakyat Indonesia. Maka jelaslah bahwa kebijaksanaan
perdagangan dan perkreditan luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah Orde
Lama terutama selama 3 tahun terakhir telah membawa Indonesia ke dalam
lingkungan pengaruh politik RRC sampai titik kulminasinya dalam pemberontakan G
30 S/PKI.
Dalam rangka usaha untuk membiayai proyek-proyek
Presiden/Mandataris MPR-S, maka Presiden Sukarno mengeluarkan Instruksi
Presiden No.018 tahun 1964 dan Keputusan Presiden No.360 tahun 1964, yang berisi
ketentuan-ketentuan mengenai penghimpunan dan penggunaan “dana-dana revolusi”.
Dana-dana revolusi tersebut pada mulanya diperoleh dari pungutan uang call SPP
dan dari pungutan yang dikenakan pada pemberian izin impor dengan deferred payment. Deferred payment ialah suatu macam impor yang dibayar dengan kredit
(kredit berjangka 1-2 tahun) karena tidak cukup persediaan devisa. Dalam
praktek, barang-barang yang diimpor dengan menggunakan deferred payment khusus itu adalah barang-barang yang tidak membawa
manfaat bagi rakyat banyak, bahkan sebaliknya merupakan barang-barang yang
sudah dijadikan bahan spekulasi dalam perdagangan, misalnya scooter dan
barang-barang lux lainnya. Pada umumnya yang mendapat izin deferred payment ini
adalah yang disponsori oleh Presiden Sukarno sendiri. Akibat kebijaksanaan
kredit luar negeri ini adalah:
1) Hutang-hutang
negara semakin bertimbun-timbun, sedangkan ekspor semakin menurun.
2) Devisa
menipis karena ekspor menurun sekali.
3) Hutang
luar negeri dibayar dengan kredit baru atau pembayaran itu ditangguhkan.
4) RI
tidak mampu lagi membayar tagihan-tagihan dari luar negeri, yang mengakibatkan
adanya insolvensi internasional. Karena itu, sering terjadi bahwa beberapa
negara menyetop impornya ke Indonesia karena hutang-hutang tidak dibayar.
5) Di
dalam negeri berakibat mengganggu proses produksi, distribusi dan perdagangan
serta menimbulkan kegelisahan di kalangan penduduk.
Menteri Bank Sentral, Jusuf Muda Dalam diberikan kuasa untuk
mengelola “dana revolusi” itu. Dana revolusi tersebut diberikan dalam bentuk
kredit kepada orang lain atau perusahaan dengan rente tertentu agar jumlah dana
bertambah terus. Namun, pemberian kredit tersebut menyimpang dari pemberian
kredit biasa sampai kira-kira mencapai jumlah Rp 338 milyar (uang lama). Hal ini
mengakibatkan inflasi meningkat sangat tinggi karena pemerintah sama sekali
tidak mengindahkan jumlah uang yang beredar. Bank Indonesia diizinkan untuk
mengadakan penyertaan dalam perusahaan, sehingga membawa akibat yang cukup luas
bagi masyarakat:
1) Bank
Indonesia sebagai Bank Sentral tidak dapat lagi menjalankan fungsinya sebagai
pengantar peredaran uang.
2) Neraca
Bank Indonesia tidak dapat diketahui oleh rakyat lagi.
3) Neraca
Bank Indonesia yang tidak diumumkan mendorong usaha-usaha spekulasi dalam
bidang ekonomi dan perdagangan.
Di tengah perekonomian
yang terus memburuk, pemerintah tetap melaksanakan pembangunan-pembangunan
fasilitas, pembangunan itu di antaranya yaitu :
1.
Tanggal 17
Agustus 1961, presiden memancangkan tiang pertama pembangunan Tugu Nasional
yang terletak ditengah lapangan Merdeka yang direncanakan akan menjulang
setinggi 127 meter dan memakan biaya setengah milyar rupiah. Menurut presiden,
tugu ini akan menjadi tanda pusat bangsa Indonesia yang kuat, besar dan sentosa.
2.
Berikutnya
tanggal 25 Agustus 1961 dilangsungkan upacara pemancangan tiang pertama Masjid
Istiqlal yang diperkirakan akan menjadi Masjid terbesar di Asia Tenggara bahkan
dunia.
3.
Rencana
selanjutnya di Jalan Merdeka Utara akan dibangun gedung-gedung khusus untuk
kesenian seperti teater dan museum. Jalan Merdeka Timur akan dipergunakan
khusus untuk gedung kementrian.
4.
Sekitar akhir
tahun 1964, saat muncul wacana untuk keluar dari PBB, presiden juga membangun
markas besar dunia ketiga (pusat The New Emerging Forces) di Jakarta,
menyaingi markas besar PBB di New York, yang kemudian hari menjadi gedung
MPR/DPR.
5.
Upaya mencegah bahaya subversi asing juga mencuat
di bidang budaya. Tanggal 17 Agustus 1963, dideklarasikan Manifestasi
Kebudayaan (Manikebu) oleh 13 seniman di Jakarta, yaitu H. B. Jassin, Trisno
Sumardjo, Wiratmo Sukito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Gunawan Mohammad, A. Bastari
Asnin, Soe Hok Djin, Ras Siregar, Bur Rasuanto, D. S. Mulyanto, Sjahwil, dan
Djufri Tanissan. Manikebu menyatakan pendirian, cita-cita, dan politik
kebudayaan nasional yang berfalsafah Pancasila dan tidak mengutamakan salah
satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Hal ini dianggap
tidak mencerminkan sikap yang progresif revolusioner di masa revolusi saat itu.
Manikebu menjadi kelompok budayawan yang berseberangan dengan pemikiran Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi pada komunis. Menteri PP & K
Prijono juga turut menyerang Manikebu dengan mempertanyakan mengapa Manikebu
hanya mencantumkan Pancasila saja dan tidak menyebut Manipol. Para penyusun
Manikebu menjadi bulan-bulanan serangan pribadi pihak Lekra dengan mencap
Manikebu bukanlah Manipolis sejati. Tanggal 18 Mei 1964, presiden mengeluarkan
larangan terhadap Manikebu dengan alasan Manifesto Politik RI sebagai pancaran
Pancasila telah menjadi GBHN dan tidak dapat didampingi oleh manifesto lain
yang bersikap ragu-ragu terhadap revolusi. Kebudayaan harus dijalankan di atas
rel revolusi menurut petunjuk Manipol. Utara. Sementara itu, pemutaran film-film
AS diboikot oleh PKI. PKI menggerakan lahirnya Panitia Aksi Pemboikotan Film
Imperialis AS (PAPFIAS). Bill Palmer, seorang pengusaha film AS, rumahnya di
Gunung Mas dekat Puncak digrebek oleh massa pemuda dan kabarnya di rumah itu
juga ditemukan copy Dokumen Gilchrist. Bill Palmer adalah kepala AMPAI (American
Motion Pictures Assosiacition in Indonesia). Para pemuda menuntut agar
AMPAI dibubarkan dan Bill Palmer diusir atau diadili karena dianggap sebagai
seorang agen CIA di Indonesia. Pelarangan terhadap Manikebu juga berbuntut
dengan dikeluarkannya instruksi Menteri PP & K dalam membina kepribadian
bangsa dengan melarang potongan rambut The Beatles (gondrong) dan
disasak secara berlebihan, dalam berpakaian dilarang menjiplak mode-mode luar
negeri, dan juga menghilangkan nama panggilan yang kebarat-baratan, misalnya daddy,
mom, papi, mami, mientje, fransje, mieke,
dan wiesje. Kebijakan ganyang kebudayaan ngak-ngik-ngok membuat
lagu-lagu barat misalnya Beatles dilarang. Tanggal 29 Juli 1965 Band Koes
Bersaudara di Jakarta ditahan oleh Kejaksaan Tinggi/Istimewa Jakarta karena
membawakan lagu ala Beatles. Bahkan menurut Ajun Komisaris Besar Polisi
(AKBP) Anwas, Asisten II Bidang Operasi Komdak VII/Jaya, dalam suatu razia
mengatakan piringan hitam dan pita rekaman The Beatles paling ampuh
menanamkan Nekolim way of life dan paling efektif memberikan didikan
jahat kepada generasi muda dan anak-anak yang sedang tumbuh. Dalam razia
tersebut, sejumlah 22.000 buku penetrasi kebudayaan imperialis AS, 250 piringan
hitam The Beatles, dan buku-buku berbau Manikebu, cabul, dan merusak
akhlak anak-anak muda dibakar oleh massa rakyat revolusioner yang menyanyikan
lagu “Hancurkanlah musuh kita Inggris dan AS”. Kebudayaan yang asalnya dari
Barat, termasuk AS dan Inggris dilarang dan dianggap tidak cocok dengan budaya
timur yang ada di Indonesia.
2.5 Kehidupan Pertahanan dan Keamanan
2.5.1 Pembebasan
Irian Barat
Bentuk
perjuangan alam rangka pembebesan Irian Barat melalui 2 cara,yaitu di bidang diplomasi
dan bidang militer :
a)
Bidang Diplomasi
Cara ini ditempuh guna menunjukkan niat baik indonesia
mandahulukan cara damai dalam menyelesaikan persengketaan.perjuangan tersebut
dilakukan dengan perundingan KBM 1949 Pasal 1 Tentang Penyerahan Kedaulatan
Sepenuhnya Atas Indonesia (RIS). jalan diplomasi ini sudah dimulai sejak 1950
yang selanjutnya dijadikan program oleh setiap cabinet hingga tahun 1960 dalam
pidatonya di depan Sidang Majelis Umum PBB yang berjudul ‘’Membangun Dunia
Kembali’’ di mana Presiden Soekarno menegaskan kembali masalh irian yang
dirangkaikan dengan masalah imperialisme. meskipun selalu mengalami kegagalan
sebab belanda masih menguasai irian barat bahkan secara sepihak memasukkan
irian barat ke dalam wilayah kerajaan Belanda.
Dalam
masalah Irian Barat, AS mendukung setiap usaha diplomasi yang dilakukan oleh
Indonesia dengan Belanda untuk menghindari konflik terbuka. Salah satu bukti AS
ingin berperan sebagai perantara dalam sengketa Irian Barat tampak pada
tindakan AS yang memfasilitasi pelaksanaan perundingan Indonesia-Belanda di
Washington pada tanggal 20 Maret 1962 dengan disaksikan pihak ketiga yaitu AS.
Pelaksanaan kepercayaan
yang telah diberikan kedua belah pihak yang bersengketa, PBB melakukan kembali
perundingan pada tanggal 31 juli 1962, dimana salah satu butir kesepakatannya
berisi rencana penyerahan administrasi pemerintah Irian Barat ke Indonesia
melalui suatu badan pemerintah PBB dan menjamin adanya hak menentukan pendapat
rakyat Irian Barat.mengirimkan wakilnya MR. Sudjarwo Tjondronegoro, Adam Malik,
Mr. Zairin Zain, dan Sukardjo Wirjopranoto untuk menghadapi delegasi Belanda
yang terdiri dari Dr. Van Royen dan Schuurman. Dari perundingan itu,
diterimalah usul dari Ellsworth Bunker, bekas Duta Besar AS di India, yang
bertindak sebagai penengah dalam perundingan Indonesia-Belanda. Dari
perundingan itu, diterimalah usul dari Ellsworth Bunker, bekas Duta Besar AS di
India, yang bertindak sebagai penengah dalam perundingan Indonesia-Belanda.
Serangkaian pembicaraan dilakukan di Washington antara delegasi Indonesia dan
Belanda yang pada akhirnya menghasilkan rencana kompromistis yang lebih dikenal
sebagai Rencana Bunker.Pembentukan badan administrasi di Irian Barat tersebut
dinamakan UNTEA (United Nations Temporary Executif Authority).
b)
Bidang Militer (konfrontasi)
Dampak Dari Tindakan Konfrontasi Politik Dan Ekonomi
Tersebut Maka Tahun 1961 Dalam Sidang Majelis Umum PBB terjadi perdebatan
mengenai masalah irian barat.diputuskan bahwa diplomat Amerika Serikat
Ellsworth bunker bersedia menjadi penengah dalam perselisihan antara indonesia
dan Belanda. Bunker mengajukan usul yang dikenal dengan rencana bunker, yaitu :
1) Pemerintah
Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia.
2) Setelah
sekian tahun, rakyat irian barat harus diberi kesempatan untuk menentukan
pendapat apakah tetap dalam negara republik indonesia atau memisahkan diri.
3) Pelaksanaan
penyelesaian masalah irian barat akan selesai dalam jangka waktu dua tahun.
4) Guna
menghindari bentrokan fisik antara pihak yang bersengketa, diadakan pemerintah
peralihan di bawah pengawasan PBB selama satu tahun.
Indonesia menyetujui usul itu dengan catatan jangka waktu
diperpendek. pihak belanda tidak mengindahkan usul tersebut bahkan mengajukan
usul untuk menyerahkan irian barat di bawah pengawasan PBB. selanjutnya PBB
membentuk negara papua dalam jangka waktu 16 tahun.jadi belanda tetap tidak
ingin irian barat menjadi bagian dari indonesia. keinginan belanda tersebut
tampak jelas ketika tanpa persetujuan PBB, Belanda mendirikan negara papua,
lengkap dengan bendera dan lagu kebangsaan. tindakan belanda tersebut tidak
melemahkan semangat bangsa indonesia.indonesia menganggap bahwa sudah saatnya
menempuh jalan kekuatan fisik (militer).
Pada 17 Agustus 1960 hubungan diplomatik dengan belanda
diputuskan. untuk meningkatkan perjuangan dewan pertahanan nasional merumuskan
Trikora (Tri Komando Rakyat) dikepalai oleh Soerkarno pada 19 desember 1961 di
Yokyakarta, di mana dalam rapat dewan pertahanan nasional bersama organisasi
gabungan kepala staf serta komando tertinggi pembebasab Irian Barat memutuskan:
a) Membentuk Provinsi Irian barat
gaya baru dengan putra irian sebagai gubernurnya
b) Membentuk Komando Mandala yang
langsung memimpin kesatuan ABRI dalam tugas merebut irian barat
Sesuai dengan perkembangan situasi, trikora dijelaskan
dengan intruksi panglima besra komando tertinggi pembebasan Irian Barat No. 1 kepada panglima
mandala yang isinya :
a) Merencanakan,
mempersiapkan, menyelenggarakan operasi-operasi militer yang bertujuan
mengembalikan Wilayah Propinsi Irian Barat kedalam kekuasaan negara RI
b) Mengembangkan
situasi diwilayah propinsi Irian Barat
Hal tersebut bertujuan supaya dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya di wilayah propinsi irian barat dapat secara de fakto
diciptakannya daerah-daerah bebas atau didudukkan unsur kekuasaan atau
pemerintah RI.
2.5.2 Peritiwa
30 September 1965 (G 30 S/PKI)
Mencermati rangkaian peristiwa, secara teknis PKI
mempersiapkan perebutan kekuasaan dengan melancarkan lima skenario sekaligus,
yaitu persiapan rencana operasi (renops) gerakan militer dan politik secara
tertutup, propaganda publik, penciptaan politik kesan bahwa gerakannya
merupakan agenda Presiden, test case kesiagapan pimpinan TNI AD dan
netralisasi potensi penghambat gerakan.
Kelima skenario itu dilakukan secara serentak sehingga
memecah konsentrasi pihak lawan (ABRI dan kalangan nasionalis religius) untuk
segera menyadari adanya perebutan kekuasaan oleh PKI.
Pertama, persiapan rencana operasi (renops) dan konsolidasi gerakan
militer pembersihan pimpinan TNI-AD maupun gerakan politik untuk mengganti
Kabinet Dwikora. Gerakan ini dilaksanakan melalui: (a) 3 kali rapat Politbiro,
(b) lima kali rapat interen Biro Chusus Central (BCC), (c) satu kali rapat
gabungan pendahuluan dan sepuluh kali “rapat
komando pembersihan” (rapat gabungan antara BCC dengan pimpinan gerakan
militer), (d) koordinasi intensif antara Aidit dan Sjam (laporan-laporan dan
pembahasan hasil rapat internal BCC maupun rapat komando pembersihan), (e)
pengiriman anggota CC (Comite Central) untuk mengarahkan operasi perebutan
kekuasaan lokal, (f) koordinasi dan instruksi Sjam kepada pengurus Biro Chusus
Daerah (BCD), dan (g) misi netralisasi satuan-satuan militer yang dianggap
tidak memiliki komitmen untuk melaksanakan rencana PKI.
Kedua, propaganda publik yang dilakukan Aidit dan anggota CC
Politbiro melalui ceramah dan media massa untuk mengesankan bahwa momentum
revolusioner telah sampai puncak dan oleh karena itu kepada pelaksana inti
gerakan, anggota PKI maupun simpatisannya tidak ragu-ragu bertindak. Perlu
diingat, bahwa rencana perebutan kekuasaan yang akan dilakukan PKI dibangun di
atas “fatamorgana situasi revolusioner” berupa argumentasi dan
justifikasi moral yang rapuh. Justifikasi moral itu berupa isu rencana kudeta
Dewan Jenderal terhadap Presiden pada tanggal 5 Oktober 1965 yang harus
didahului, adanya dokumen Gilchrist yang dihembuskan sebagai bukti dukungan CIA
terhadap Dewan Jenderal dan masa depan Presiden yang tidak akan berumur
panjang.
Ketiga, penciptaan politik kesan bahwa gerakan mendahului Dewan
Jenderal merupakan perintah Presiden. PKI (melalui ketua Biro Chusus Central, Sjam)
menanamkan pemahaman mengesankan bahwa pembersihan (penculikan) para Jenderal
TNI AD merupakan bagian dari usaha melindungi Presiden dari coup Dewan
Jenderal. Penciptaan politik kesan dimaksudkan untuk memperoleh dukungan dari
satuan-satuan ketentaraan yang dijadikan target untuk menjalankan misi
“pembersihan” terhadap pimpinan TNI AD. Argumentasi ini bukan ditujukan sebagai
konsumsi Letkol Untung, Mayor Udara Sujono maupun Kol. A. Latief yang sejak
awal, dalam rapat-rapat “komando pembersihan” telah mengetahui adanya skenario
pembentukan Dewan Revolusi sebagai pengganti Kabinet Dwikora (perebutan
kekuasaan). Pemilihan Letkol Inf. Untung dan penggunaan sebagian pasukan
Tjakrabirawa sebagai unsur pasukan pengawal Presiden merupakan bagian dari
upaya mengelabui berbagai pihak seperti kesatuan 530 & 454 untuk secara
fanatik termobilisasi dan mendukung gerakan pembersihan pimpinan TNI AD dalam
rangka menyelamatkan Presiden.
Keempat, test case kesigapan pimpinan TNI-AD melalui
hembusan isu penculikan. Sebagaimana kasus tanggal 18 September, kesiagaan para
Jenderal TNI AD terhadap isu akan adanya penculikan yang dilaporkan Jenderal S.
Parman kepada Jenderal A. Yani ternyata tidak menemukan bukti. Hal itu
menyebabkan informasi rencana penculikan berikutnya (sebagaimana diterima
Mayjen MT. Haryono) antara tanggal 29 s/d 30 September, tidak ditanggapi dan
diantisipasi secara memadai. Terlepas adanya analisis bahwa masalah kesiapan
teknis merupakan faktor penyebab penundaan hari H dan jam J penculikan para
Jenderal, penundaan tersebut telah menyebabkan ketidakpastian informasi seputar
kapan pelaksanaan penculikan para Jenderal akan dilakukan.
Kelima, netralisasi potensi penghambat gerakan. Langkah ini
dilakukan dengan mengirimkan 600 pejabat negara untuk menghadiri undangan
pemerintah RRC dalam peringatan HUT Kemerdekaan RRC 1 Oktober 1965. Pengosongan
pejabat tinggi negara itu dimungkinkan atas pertimbangan:
1. Untuk
mengurangi potensi kritis terhadap langkah-langkah PKI sehingga perebutan
kekuasaan berjalan dengan mulus. Eksodusnya para pejabat tinggi, menjadikan
arena pertarungan hanya menyisakan barisan PKI dan sedikit lawan yang tidak
mampu menggerakkan kekuatan birokrasi pemerintahan untuk menghadang
langkah-langkah PKI.
2. Untuk
mempermudah pergantian pejabat tinggi dengan calon-calon PKI. Ketika gerakan
perebutan kekuasaan di Indonesia berhasil, para delegasi Indonesia yang sedang
berada di RRC dapat dengan mudah dihabisi oleh kader-kader Komunis RRC dan
posisinya di Indonesia diganti oleh calon-calon PKI.
Mencermati skenario tersebut, keputusan PKI melakukan
perebutan kekuasaan pada tahun 1965 dilatarbelakangi oleh dua kemungkinan di
antaranya yaitu:
Pertama, Jatuh sakitnya “kawan sementara”
sosok Presiden Soekarno yang powerful dan kharismatis, dijadikan
momentum bagi PKI untuk mengevaluasi koalisi taktisnya dengan kalangan borjuasi
nasional dan segera memutuskan skema baru perebutan kekuasaan di Indonesia.
Kedua, PKI merasa cukup percaya diri
dengan situasi revolusioner yang diciptakannya atau mungkin juga karena
dukungan/dorongan “partai sekawan” dalam payung Comintern (Communist International)
maupun negara–negara Komunis tetangga khususnya RRC untuk segera mengambil alih
kekuasaan di Indonesia. PKI kemudian menciptakan politik medis dengan
memanfaatkan dokter-dokter Cina untuk mempengaruhi (mengerjai) kesehatan
Presiden. Melalui dua kemungkinan itu Presiden Soekarno benar-benar sakit atau
sakitnya diskenariokan dokter-dokter Cina atas pesanan Aidit dan pemerintah RRC
PKI mempersiapkan perebutan kekuasaan di Indonesia melalui skema sederhana. Tahap
pertama, akuisisi kekuatan militer (TNI AD) dengan mengganti masinisnya
untuk digantikan orang-orang yang bisa dikendalikan PKI. Keberhasilan akuisisi
TNI-AD akan segera menjadikan PKI memiliki superiotas politik dan militer
sekaligus.
BAB 3. PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Munculnya
demokrasi Terpimpin dilatar belakangi oleh beberapa faktor diantaranya adalah
Kegagalan Badan Konstituante dalam menyusun undang-undang dasar baru, presiden
Soekarno mengeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959 yang bertujuan untuk
menyelamtkan negara yang dalam kondisi genting, munculnya gerakan separatis
yang ingin mengambil alih kekuasaan secara paksa, sering berganti-ganti kebinet
dan munculnya persaingan di masing-masing parpol.
Kehidupan
politik pada masa Demokrasi Terpimpin dilakukan tindakan perubahan dalam menata
pilitik dalam negeri maupun politik luar negeri, terlihat dengan adanya
beberapa tindakan yaitu: 1) Indonesia lebih
condong pada politik NEFO (New Emerging Forces), 2) Munculnya politik
Mercusuar, 3) Munculnya politik poros antara Jakarta-Peking dan 4) Indonesia
keluar dari PBB, keempat tindakan tersebut merupakan pembaharuan bagi Politik
Luar Negeri. Sedangkan tindakan-tindakan pembaharuan bagi Politik Dalam Negeri
diantaranya adalah 1) Kedudukan presiden di bawah MPRS berdasarkan UUD 1945
akan tetapi dalam kenyataannya MPRS tidak memiliki kekuasaan, 2)Presiden
diangkat seumur hidup, 3)Presiden membentuk MPRS, 4)Manifesto politik Republik
Indonesia, 5)Pembubaran DPR hasil pemilu dan pembentukan DPR-GR,
6)Pemasyarakatan ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis), dan
5)Perjuangan pembebasan Irian Barat.
Kemudian kehidupan ekonomi pada masa
demokrasi terpimpin tindakan-tindakan pembaharuan yang dilakukan yaitu
1)Membentuk Dekon (BAB
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia
yang ada sekarang, tidaklah langsung demikian adanya. Melewati berbagai
peristiwa bersejarah yang sangat berpengaruh terhadap terbentuknya Indonesia
seperti yang kita kenal sekarang ini. Banyak hal yang telah dilalui bangsa ini
demi terciptanya bangsa yang merdeka sepenuhnya dan diakui eksistensinya oleh
dunia. Mulai dari perjuangan merebut atau memperoleh kemerdekaan Indonesia dari
tangan penjajah, hingga pergolakan yang terjadi pasca merdeka.
Pergolakan
yang terjadi setelah Indonesia merdeka terhitung banyak sekali. Mulai dari
ancaman akan datangnya penjajah kembali ke Indonesia, hingga pergolakan yang
ada dalam tubuh Indonesia itu sendiri. Pergolakan yang timbul sebagai luapan
rasa tidak puas atau kecewa dengan kebijakan atau sistem yang pemerintah
ciptakan pada masa itu. Pergolakan timbul kebanyakan berkaitan dengan masalah
politik Indonesia saat itu, yang kemudian dampaknya akan menjalar ke berbagai
aspek tidak hanya dalam politik saja.
Di tengah-tengah krisis tahun 1957,
diambillah langkah-langkah pertama menuju suatu bentuk pemerintahan yang oleh
Soekarno dinamakan “demokrasi terpimpin”. Ini merupakan suatu sistem yang tidak
tetap, yang dilahirkan dari krisis dan terus-menerus berubah sepanjang masa
yang paling kacau dalam sejarah Indonesia sejak Revolusi. Demokrasi terpimpin
didominasi oleh keprobadian Soekarno, walaupun prakarsa pelaksanaanya
diambilnya bersama-sama dengan pimpinan angkatan bersenjata. Pada waktu itu,
beberapa pengamat menganggap Soekarno sebagai diktator dan, ketika sikapnya
semakin berapi-api, beberapa pengamat cenderung menganggapnya hanya sebagai
sebuah karikatur yang sudah lanjut usia. Soekarno tidak seperti itu semua. Dia
adalah ahli manipulator rakyat dan manipulator lambang-lambang. Dia dapat
berpidato kepada khalayak ramai atau membuat terpesona musuh yang potensial
dengan sama mudahnya, meskipun dia juga sangat ahli dalam membenci
musuh-musuhnya. Dia menawarkan sesuatu untuk diyakini kepada bangsa Indonesia,
sesuatu yang diaharapkan banyak orang akan memberi mereka dan negara mereka
martabat atau kebanggaan. Kekuatan-kekuatan besar lainnya berpaling kepadanya
untuk mendapatkan bimbingan, legitimasi, atau perlindungan. Dengan menampilkan
dirinya ke depan dalam krisis tahun 1957, maka ia didukung oleh para pemimpin
lainnya dalam mempertahankan posisi sentralnya. Akan tetapi, semua ini adalah
untuk mendukung suatu keseimbangan politik yang bahkan tidak dapat ditegakkan
oleh Soekarno, suatu keseimbangan politik yang merupakan kompromi antara
kepentingan-kepentingan yang tidak dapat dirujukkan kembali dan, oleh
karenanya, tidak memuaskan semua pihak. Meskipun Soekarno memiliki pandangan
tentang masa depannya sendiri, tetapi dia tidak mempunyai satu pun pandangan
(atau setidak-tidaknya satu pun pandangan yang akhirnya dapat diterima oleh
pemimpin lainnya) mengenai masa depan negara dan bangsanya. Janji dari
demokrasi terpimpin adalah palsu.
Dengan
latar belakang yang telah kami paparkan diatas, dalam makalah ini kami akan
membahas mengenai sebuah ideologi yang pernah berlaku di Indonesia, yang juga
membawa pengaruh dan dampak cukup besar bagi sejarah dan kehidupan politik
Indonesia pada masa itu, yaitu mengenai Demokrasi Terpimpin.
1.2 Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas, rumusan masalah yang dapat kami paparkan yaitu :
1. Bagaimana lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ?
2. Bagaimana keadaan politik pada masa
demokrasi terpimpin (1959-1965)?
3. Bagaimana keadaan ekonomi pada masa
demokrasi terpimpin (1959-1965)?
4. Bagaimana keadaan sosial – budaya pada
masa demokrasi terpimpin (1959-1965)?
5. Bagaimana keadaan HANKAM pada masa
demokrasi terpimpin (1959-1965)?
1.3 Tujuan
1. Menganalisis lahirnya dekrit presiden 5
Juli 1959
2. Menganalisis keadaan politik pada masa
demokrasi terpimpin (1959-1965)
3. Menganalisis keadaan ekonomi pada masa
demokrasi terpimpin (1959-1965)
4. Menganalisis keadaan sosial – budaya
pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)
5. Menganalisis keadaan sosial – budaya
pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)
BAB
2. PEMBAHASAN
2.1 Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Sebelum Republik
Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar besaran
menuntut pembuatan suatu negara kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga
negara bagian, Negara Republik Indonesia, negara Indonesia Timur, dan negara
Sumatra Timur dihasilkan pembentukan negara kesatuan pada tanggal 17 Agustus
1950. Sejak 17 Agustus 1950, negara Indonesia diperintah dengan menggunakan
Undang – Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem
kabinet parlementer di Indonesia. Kemudian muncullah pergantian perdana menteri
selama 7 kali yang akibatnya juga mempengaruhi kehidupan politik di Indonesia.
Konstituante diberikan
tugas untuk membuat undang – undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950.
Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. UUDS
1950 ditetapkan berdasarrkan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang
perubahan konstitusi sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam sidang pertama abak ke 3 rapat ke 71
DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.
Dekrit
presiden 5 Juli 1959 dikenal sebagai suatu peristiwa yang sangat bersejarah
bagi bangsa Indonesia. Yang mengantarkan Indonesia kepada demokrasi baru yang
sama sekali berbeda dari demokrasi yang telah digunakan sebelumnya.
Dekrit 5 juli 1959
dapat dipahami sebagi seuatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan
politik melalui kepembentukan kepemimpinan
yang kuat. Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit sebagai langkah untuk
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa
dan juga merupakan tonggak sejarah indonesia, karena telah berhasil
menyelamatkan bangsa dan negara, menyelamatkan Pancasila dan UUD 1945 dari
segala macam gangguan di berbagai bidang yaitu ideologi dan politik, konstitusi
dan hokum, ekonomi, sosial dan budaya, moral serta agama. Dekrit yang dilaksanakan
oleh Presiden SSoekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapat sambutan dari
masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan kehidupan
negara yang stabil. Namun kekuatan Dekrit tersebut bukan hanya berasal dari
sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat indonesia, tetapi terletak
dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti
Mahkamah Agung (MA) dan Kepala Satuan Angkatn Darat (KSAD).
Dekrit Presiden 1959
dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru
sebagai pengganti UUDS 1950.
Anggota
konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya
sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di
kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin
kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di
depan sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk
kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan
suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju.
Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus
diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Pemungutan suara kembali dilakukan
pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga
gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses
yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD.
Keadaan seperti ini semakin menggoncangkan situasi politik
Indonesia pada saat itu. Bahkan masing-masing partai politik selalu berusaha
untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Sementara itu,
sejak akhir tahun 1956 keadaan kondisi dan situasi politik Indonesia semakin
memburuk dan kacau. Keadaan semakin memburuk karena daerah-daerah semakin
memperlihatkan gejolak dan gejala separatisme seperti pembentukan Dewan
Banteng, dewan Gajah, Dewan Garuda, Dewan Manguni dan Dewan Lambung Mangkurat.
Daerah-daerah tersebut tidak lagi mengakui pemerintahan pusat dan bahkan mereka
membentuk pemerintahan sendiri, seperti PRRI dan PERMESTA.
Keadaan yang semakin bertambah kacau ini dapat mengancam
keutuhan Negara dan bangsa Indonesia dari dalam negeri. Suasana semakin
bertambah panas, ketegangan-ketegangan diikuti oleh keganjilan sikap dari
setiap partai politik dalam konstituante. Rakyat sudah tidak sabar lagi dan
menginginkan agar pemerintah mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi
kemacetan sidang. Konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.
Pada tanggal 22 April 1959, didepan sidang konstituante,
Presiden Soekarno menganjurkan kembali kepada UUD 1945 sebagai UUD Negara RI.
Menanggapi pernyataan Presiden Soekarno tanggal 30 Mei 1959 konstituante
mengadakan siding pemungutan suara. Hasil pemungutan suara menunjukkan bahwa
mayoritas anggota konstituante menginginkan kembali berlakunya UUD 1945 sebagai
UUD Negara RI. Namun, jumlah suara tidak mencapai 2/3
dari anggota konstituante seperti yang diisyaratkan pasal 137 UUDS 1950.
Pemungutan suara diulang kembali tanggal 1 dan 2 Juni 1959, tetapi juga
mengalami kegagalan dan tidak mencapai 2/3 dari jumlah
suara yang dibutuhkan. Dengan demikian, sejak tanggal 3 juni 1959 Konstituante
mengadakan reses (istirahat).
Untuk menghindari bahaya yang disebabkan oleh kegiatan
partai-partai politik, maka pengumuman istirahat konstituante diikuti dengan
larangan melakukan segala bentuk kegiatan terhadap partai politik. Dalam
situasi dan kondisi seperti ini, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul
kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan
membubarkan konstituante serta memberlakukan UUD 1945. Pemberlakuan kembali UUD
1945 merupakan langkah terbaik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan
nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan
Dekrit Presiden.
Alasan
Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959:
1)
Undang-undang Dasar yang menjadi
pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang
Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal
dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
2)
Kegagalan konstituante dalam
menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran
sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.
3)
Situasi politik yang kacau dan
semakin buruk.
4)
Terjadinya sejumlah pemberontakan di
dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan
sparatisme.
5)
Konflik antar partai politik yang
mengganggu stabilitas nasional
6)
Banyaknya partai dalam parlemen yang
saling berbeda pendapat
7)
Masing-masing partai politik selalu
berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.
Yang
kemudian mengahsilkan sebuah keputusan yang dikenal dengan istilah Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, yang isinya yaitu :
1)
Pembubaran Konstituante;
2)
Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan
tidak berlakunya UUDS 1950;
3)
Pembentukan MPRS dan DPAS dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.
Kebijakan Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit kemudian membubarkan Kabinet Djuanda tanggal 9 juli 1959 di
gantikan dengan kabinet kerja, dimana Presiden soekarno bertindak sebagai
kepala pemerintahan, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri pertama.
Bulan juli itu juga Presiden Soekarno mengumumkan kabinetnya terdiri dari 9 menteri yang
disebut “Menteri-Menteri kabinet inti” dan 24 orang itu di sebut “Menteri
Muda”. Fakta menarik terungkap dari pembentukan kabinet kerja yang di gagas oleh
Presiden Soekarno, ternyata menteri-menteri didalamnya hampir mendominasi dari
golongan militer (TNI-AD) dengan komposisi 12 orang menduduki jabatan menteri,
bahkan 2 dari golongan militer (TNI-AD) masuk dalam menteri kabinet inti.
Berbicara mengenai peran militer dalam politik pada masa demokrasi terpimpin,
dimana militer memiliki peran ganda dalam negara yaitu sebagai fungsi pertahan
dan perannya dalam dunia politik (Sitepu,2009:21)
“Pada
awal tahun 1959 tampak gejala makin berkurangnya ancaman terhadap disintegrasi
bangsa dilihat dari gejolak dan pemberontakan daerah. Dalam pidato peringatan
HUT 17 Agustus 1959, presiden Sukarno telah menemukan jawaban atas permasalahan
yang bersifat dualistik: “dualisme antara pemerintah dan kepemimpinan revolusi”
antara “masyarakat adil makmur dan masyarakat kapitalis” antara “gagasan
revolusi belum selesai dan kebutuhan akan konsolidasi”. (Direktorat Sejarah dan
Nilai Budaya hal 265)
Dari
penejelasan diatas, jelaslah bahwa yang dinamakan presiden Soekarno telah
menemukan jawaban dari beberapa permsalahan yang saat itu tengah berkemelut,
yaitu dengan mengganti demokrasi liberal (yang dianut bangsa Indonesia) menjadi
demokrasi terpimpin. Adanya perubahan ini membawa dampak dalam berbagai aspek
bangsa.
2.2 Keadaan Politik
Setelah
dekrit
tanggal 5 Juli 1959,
sistem demokrasi terpimpin
diterapkan di Indonesia
karena memang
kondisi yang menuntut agar dilakukan perubahan
sistem politik, sehingga
hubungan antara sistem
politik dengan
kondisi yang terjadi
sangat
erat. Sistem
politik dipengaruhi
oleh
segala
macam
hal yang terjadi
disekelilingnya. Harapan
dari sistem demokrasi terpimpin mengandung aspek
restabilisasi politik, artinya
kepemimpinan yang
menguat mulai
dari pusat hingga daerah,
tujuan
tersebut untuk merapikan struktur negara yang tercerai-berai, sehingga
arah pembangunan
bangsa Indonesia menjadi
tersusun rapi dan tertata dengan satu
tujuan
revolusi
menjadi Negara kuat
dan stabilitas politik
terjaga, apabila
tercipta stabilitas politik akan membawa
hasil akan terjamin
kesejahteraan
rakyat, serta
mencegah
terjadinya disintegrasi
bangsa Indonesia.
Sesuai naskah “Kembali Kepada
Undang-Undang
Dasar 1945” tertulis jawaban pemerintah tanggal
25 Maret 1959 yang
disampaikan oleh Ir. Djuanda,
rancangan
demokrasi terpimpin
memiliki isi
dan arti sebagai berikut:
1)
Demokrasi terpimpin ialah demokrasi menurut
Undangan-Undang
Dasar 1945“
ke rakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan
perwakilan”.
2)
Demokrasi terpimpin bukan
diktator
dan berbeda pula dengan demokrasi
liberal.
3)
Demokrasi terpimpin adalah
demokrasi yang
cocok
dengan
kepribadian
dan dasar hidup bangsa
Indonesia.
4)
Demokrasi terpimpin adalah demokrasi disegala
soal kenegaraan dan
kemasyarakatan, meliputi
bidang-bidang
politik, ekonomi dan sosial.
5)
Demokrasi terpimpin adalah alat,
bukan tujuan.
6)
Tujuan melakasanakan demokrasi terpimpin
ialah mencapai suatu masyarakat
yang adil
dan makmur melalui ekonomi terpimpin.
7)
Demokrasi terpimpin juga
mengenal kebebasan
berfikir dan
berbicara, tetapi
dalam batas-batas tertentu
yaitu batas kepentingan rakyat, kepetingan keselamatan
negara
dan
kepribadian bangsa.
2.2.1
Pembentukan Lembaga Pemerintahan
a.
Pembentukan kabinet
Kabinet pada masa demokrasi terpimpin dilantik pada tanggal
10 juli 1959 dengan nama kabinet kerja,bertindak sebagai kepala pemerintahan
adalah presiden soekarno sedangkan Ir Djuanda ditunjuk sebagai menteri pertama
dibantu dengan dua orang wakilnya J Leimena dan Subandrio. Program jangka
pendek dari kabinet meliputi; sandang pangan, keamanan dalam negeri, pembebasan
irian barat dan melanjuaatkan perjuangan anti imperiallisme. Selanjutnya
program jangka panjang dari kabinet tersebut bertujuan agar tercipta
maasyarakat yang adil dan makmur serta melenyapkan kolonialisme dan
imperialisme menuju perdamaian dunia.
Karena tidak ada wakil presiden, maka presiden mengadakan
jabatan menteri pertama. Ir. Djuanda ditunjuk untuk memegang jabatan itu.
Program kabinet kerja yang terkenal dengan nama Triprogram. Triprogram itu
meliputi :
1.
Mencukupi kebutuhan sandang pangan
2.
Menciptakan keamanan negara
3.
Mengembalikan Irian Barat
Kabinet kerja pada masa demokrasi
terpimpin tidak bersifat permanen, artinya kabinet ini juga mengalami
pergantian struktur maupun posisi menteri yang duduk dalam kabinet. Kabinet
yang dilantik pada tanggal 10 Juli 1959 merupakan kabinet kerja I karena dalam
pelaksaan demokrasi terpimpin terjadi beberapa kali pergantian kabinet kerja
dan terjadi juga pergantian nama kabinet seperti beikut:
a. Kabinet Kerja I dilantik pada
tanggal 10 Juli 1959 dan berakhir masa kerjanya tanggal 18 Februari 1960,
kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan Ir Djuanda sebagai
menteri pertama.
b. Kabinet Kerja II
dilantik pada tanggal 18 Februari 1960
dan berakhir masa kerjanya tanggal 6 Maret 1962, kepala pemerintahan dijabat
oleh Presiden Soekarno dan menteri pertama Ir. Djuanda Kartawidjaja bersama
wakil menteri pertama J. Leimena.
c.
Kabinet Kerja III dilantik pada tanggal 6 Maret 1962 dan berakhir masa kerjanya
tanggal 13 November 1963, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno
dan menteri pertama Ir. Djuanda Kartawidjaja bersama J. Leimena sebagai wakil
menteri pertama I ditambah Subandrio sebagai wakil menteri pertama II. wakil
menteri pertama/koordinator pertahanan/keamanan dijabat A.H. Nasution sejak
tanggal 22 Januari 1962 diubah menjadi Wakil Menteri Pertama/Menteri/Kepala
Staf Angkatan Bersenjata.
d. Kabinet Kerja IV
dilantik pada tanggal 13 November 1963 sesuai dengan surat keputusan presiden
No. 232/1963 tertanggal 13 November 1963 dan berakhir pada tanggal 27 Agustus
1964, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan Subandrio sebagai
wakil kepala pemerintahan I, J. Leimena sebagai wakil kepala pemerintahan II
ditambah Chaerul Saleh sebagai wakil kepala pemerintahan III. Ketiga wakil
Kepala pemerintahan merupakan satu Presidium yang berada langsung di bawah
Presiden/kepala pemerintahan.
e. Kabinet Dwikora I dilantik
pada tanggal 27 Agustus 1964 dan berakhir masa kerjanya sampai tanggal 22
Februari 1966, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan Subandrio
sebagai wakil kepala pemerintahan I, J. Leimena sebagai wakil kepala
pemerintahan II ditambah Chaerul Saleh sebagai wakil kepala pemerintahan III.
f. Kabinet Dwikora II
dilantik pada tanggal 24 Februari 1966 dan berakhir masa kerjanya sampai
tanggal 28 Maret 1966, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan
Subandrio sebagai wakil kepala pemerintahan I, J. Leimena sebagai wakil kepala
pemerintahan II ditambah Chaerul Saleh sebagai wakil kepala pemerintahan III
ditambah K.H. Idham Chalid wakil kepala pemerintahan IV serta menteri
penerangan diperbantukan ke Presidium. Tanggal 18 Maret 1966 Subandrio dan
Chaerul Saleh serta beberapa menteri lain ditangkap akibat gejolak politik
paska Gerakan 30 September, sehingga posisi beberapa menteri menjadi kosong
sampai terbentuknya kabinet baru.
g. Kabinet Dwikora III
dibentuk tanggal 28 Maret 1966 dan berakhir masa kerjanya sampai tanggal 25
Juli 1966, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan J. Leimena
sebagai wakil kepala pemerintahan untuk Urusan Umum.
h. Kabinet Ampera I
dibentuk tanggal 25 Juli 1966 dan berakhir masa kerjanya sampai tanggal 17
Oktober 1967, kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden Soekarno dan ketua
Presidium adalah Letjen Soeharto, untuk selanjutnya kabinet ini diteruskan oleh
Soeharto selaku Pjs. Presiden Seokarno.
b.
Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung
Setelah kabinet terbentuk tanggal 22 Juli 1959 langkah
selanjutnya Presiden Soekarno adalah membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA),
sebagai penetapan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) maka Presiden Soekarno
mengelurkan Penpres No. 3 tahun 1959. Lembaga ini terdiri dari empat puluh tiga
anggota, diluar Presiden Soekarno sendiri sebagai ketua dan Roeslan Abdulgani
sebagai wakil ketua, pengangkatan anggota tersebut didasarkan kepada tiga
golongan. Pemimpin-pemimpin dari sepuluh partai penting yang tidak disertakan dalam
kabinet kemudian diberikan dua belas kursi di DPA. Golongan kedua terdiri dari
wakil-wakil daerah, delapan kursi. Selebihnya, dua puluh tiga kursi, diberikan
kepada wakil-wakil golongan kekaryaan (Legge, 1985:359).
Dasar hukum pembentukan
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) berlandaskan kepada Undang-Undang Dasar 1945
yang berlaku pada masa demokrasi terpimpin yaitu tertuang pada Pasal 16 Ayat 1
dan 2. Kedudukan Dewan Pertimbangan Agung merupakan lembaga negara dengan
prinsip dan falsafah kekeluargaan sebagai pemberi jawaban dan
pertimbangan-pertimbangan atas pertanyaan pemerintah. Sehubungan fungsi Dewan
Nasional yang hampir mirip dengan Dewan Pertimbangan Agung maka pada tanggal 12
Juli 1959 Dewan Nasional dibubarkan pada sidang VII bertempat di Istana Bogor.
Selanjutnya pada
tanggal 15 Juli 1959 dilaksanakan pelantikan Dewan Pertimbangan Agung. Tugas
dan fungsi dari Dewan Pertimbangan Agung (DPA) adalah memberikan jawaban dan
nasehat maupun usulan kepada pemerintah baik dibutuhkan atau tidak, Presiden
Soekarno juga menjelaskan bahwa Dewan Pertimbangan Agung hampir memiliki tugas
yang sama dengan Dewan Nasional. Dewan Pertimbangan Agung lebih tegas disebut
di dalam Undang Undang Dasar 1945 tetapi juga karena Dewan Pertimbangan Agung
bukan hanya diketuai oleh Presiden Soekarno seperti Dewan Nasional, tetapi di
ketuai oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan (Tumakaka, 1996:151).
c.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS)
Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) dibentuk bersadarkan Penpres No. 2 Tahun 1959. Para
anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh presiden dengan sejumlah persyaratan :
setuju kembali kepada UUD 1945, setia kepada perjuangan RI, dan setuju pada
manifesto politik. Keanggotaan MPRS terdiri atas 61 orang anggota DPR, dan 200
wakil golongan. Pada saat itu, ABRI mulai terjun ke dunia politik. Hal ini
sesuai dengan ide Dwifungsi ABRI yang dicetuskan oleh A.H Nasution. Tugas MPRS
terbatas pada menetapkan Garis – garis Besar Haluan Negara. Berikut merupakan
beberapa keputusan yang dibuat oleh MPRS:
1. Melaksanakan Manifesto Politik
2. Pengankatan Ir. Soekarno sebagai
presiden seumur hidup
3. Pidato presiden yang berjudul “Berdiri
di atas kaki sendiri” sebagai pedoman revolusi dan politik luar negeri.
Penetapan Presiden No.
2 tahun 1959 yanggal 31 Desember 1959 merupakan dsar hukum pembentukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagaimana memiliki syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Syarat-syarat keanggotaan DPR berlaku
uga bagi anggota MPRS dengan tambahan syarat membacadan menulis diartikan
membaca dan menulis huruf latin.
b. Setuju dengan kembali ke UUD 1945
c. Tidak cacat dalam perjuangan Revolusi .
Syarat ini dianggap sebagai suatu syarat cacat.
d. Setuju kepada Manifesto Politik yang
diucapkan oleh Presiden oleh Presiden tanggal 17 Agustus 1959 ( Tumaka:161)
Jumlah MPRS yang
dibentuk pada tahun 1960 terdiri dari 616 anggota (Legge 1985:358), jumlah
tersebut nampaknya setelah Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu tahun
1955 dan membentuk DPR GR, jumlah pasti keanggotaan Majelis Permusyawarata
Rakyat (MPR) memang tidak dijelaskan dengan mendetail dalam Undang Undang Dasar
1945 pasal 2 ayat 1.
Mengatasi jumlah
keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) maka presiden
Soekarno mengajukan pertanyaan kepada Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam
sidang I tanggal 27 Agustus 1959 , kemudian dalam sidang II tanggal 23
September 1959 melahirkan sebuah jawaban dari Dewan Pertimbanagan Agung (DPA)
terkait jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).Jumlah
anggotanya tidak lebih sedikit dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (
DPR ) karena dianggap akan membahayakan kondisi politik apabila terjadi
pemungutan suara terbanyak seperti yang terjadi pada waktu Konstituante dan
akan mengalami kembali kemacetan politik.Mengingat tugas dari Maajelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) keepan sangat menentukan untuk menetapkan
Undang-undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sesuai pasal 3
memilih Presiden dan Wakil Presiden pada pasal 6 ayat 2 Undang Undang Dasar
1945.
Tugas dan wewenang
Majelis Permusyawatan Rakyat Sementara (MPRS) adalah melaksanakan pasal 3 dan
pasal 6 ayat 2 Undangan-Undang Dasar 1945 tidak secara utuh harus dilaksanakan
keseluruhan, sebab sesuai saran dan nasehat Dewan Pertimabngan Agung (DPA)
bahwa kedudukan Majelis Permusyawatan Rakyat Sementara (MPRS) hanya bersifat
sementara, maksudnya adalah tidak merubah dan mengganti Undang-Undang Dasar
1945 serta memilih Presiden/Wakil Presiden, jelas bahwa wewenang dari Majelis
Permusyawatan Rakyat Sementara (MPRS) hanya mengesahkan Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN). Pendapat ini juga dipertegas oleh Presiden Soekarno dalam
amanat negara pada pembukaan sidang pertama MPRS tanggal 10 November 1960.
d.
Pembentukan Front Nasional
Front Nasional adalah sebuah pengorganisaian massa dengan
maksud dan tujuan bersama menghimpun kekuatan untuk tercapainya sebuah gerakan
massa berlandaskan gotong-royong untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia,
Presiden Soekarno juga mempertegas maksud dari gagasan akan di bentuk
lembaga front Nasional yaitu akan dibentuk untuk menggalang seluruh
rakyat. Lembaga tersebut harus menggalang seluruh kekuatan kegotong-royong
rakyat. Front Nasional harus menggalang semangat dan tenaga di kalangan rakyat,
kemudian dijadikan satu gelombang “holobis kuntul baris” untuk menyelesaikan
revolusi (Soekarno, 1959:69).
Front Nasional lahir dari gagasan Presiden Soekarno kemudian
peran Dewan Pertimbangan Agung ikut serta mendorong kesepakatan pembentukan
lembaga tersebut, melalui saran dan pertimbangan yang disampaikan Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) maka dikelurkan Penetapan Presiden No.13/1959 tanggal 31 Desember 1959 tentang
Front Nasional yang mengatur pembentukan azas,tujuan,tugas dan lain-lain dari
Front Nasional. Kemudian melalui Keputusan Presiden No.34 tahun 1960 tanggal 23
april dibentuk panitia persiapan untuk mempersiapkan program dengan batas waktu
penyusunan paling lambat pada akhir bulan Mei 1960. Tanggal 8 September 1960
Pengurus Besar Front Nasional dilantik oleh Presiden Soekarno di Istana Negara.
Tugas dari Front Nasional adalah :
1. Menyelesaikan revolusi nasional
2. Melaksanakan pembangunan
3. Mengembalikan Irian Barat
e. Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPR – GR)
Setelah keluarnya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, para anggota DPR hasil pemilu 1955 menyatakan
kesediaannya untuk bekerja terus. Setelah adanya kesediaan, para anggota DPR
itu, pemerintah mengeluarkan ketetapan pada tanggal 22 Juli 1959 tentang
penetapan DPR. DPR hasil pemilu 1955 ditetapkan berdasarkan Penpres No.1 tahun
1959 yang dilantik pada tanggal 23 Juli 1959 dan awalnya anggota DPR hasil
pemilu 1955 akan mengikuti saja kebijakan presiden Ir. Soekarno. Akan tetapi,
DPR hasil pemilu 1955 ternyata menolak Rencana Anggaran Belanja Negara (RAPBN)
tahun 1960 yang diajukan oleh pemerintah. Penetapan Anggaran
Pendapatan
dan Belanja Negara, dari 44 milyar rupiah
yang diajukan
Pemerintah hanya disetujui sekitar 36
sampai
38 milyar rupiah
(Budiardjo,
2003:192). Langkah
pembubaran
DPR hasil pemilu 1955 disebut retooling. Istilah retooling telah dijelaskan
oleh Presiden Soekarno
dalam pidato
17 Agustus 1959 Manifesto Politik bahwa retooling berarti
mengganti sarana-sarana, alat-alat
dan aparatur
negara
yang
tidak
sesuai dengan pikiran demokrasi terpimpin.
Retooling juga berarti menghemat
segala
sarana-sarana
dan alat-alat yang masih dapat
digunakan(Soekarno, 1959:50).
Penolakan RAPBN
tersebut menyebabkan keluarnya Penpres NO.3 tahun 1960 tentang pembubaran DPR
hasil pemilu 1955. Tindakan itu disusun dengan pembentukan DPR baru yang diberi
nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong atau DPR-GR pada tanggal 24 Juni
1960.
Semua anggota DPR-GR
adalah hasil penunjukan presiden tanpa didasarkan pada perimbangan kekuatan
partai politik pemilu 1955. Anggota DPR-GR terdiri atas wakil – wakil golongan
politik, golongan karya, dan seorang wakil dari Irian Barat. Keanggotaan DPR-Gr
dibahas dan disusun oleh presiden di Istana Tampaksiring, Bali. Pembentukan
DPR-GR mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak. Kelompok yang menolak ini,
kemudian membentuk wadah yang dinamakan Liga Demokrasi yang diketuai oleh Imron
Rosyadi dari NU. Partai yang tergabung dalam liga ini adalah NU, Parkindo,
Partai Katolik, Liga Muslimin, PSII, IPKI dan Masyumi. Pada akhir bulan Maret
1960, liga ini mengeluarkan pernyataan agar dibentuk DPR yang lebih demokratis
dan konstitusional. Liga Demokrasi meminta agar peresmian DPR-GR ditangguhkan.
Menanggapi pernyataan
dari Liga Demokrasi tersebut, presiden Ir. Soekarno bersikap tegas dan
menegaskan bahwa demokrasi terpimpin harus berjalan dengan baik dan DPR-GR
harus segera bekerja. Liga Demokrasi yang menolak DPR-GR segera dilarang. Pada
tanggal 25 Juni 1960, presiden meresmikan dan melantik anggota DPR-GR yang
berjumlah 283 orang. Dari seluruh anggota DPR-GR, tidak ada seorangpun yang
berasal dari PSII dan Masyumi. Dalam pidato pelantikannya, presiden Ir.
Soekarno menjelaskan bahwa tugas DPR-GR adalah:
1. Melaksanakan Manipol
2. Merealisasikan “amanat penderitaan
rakyat”
3. Melaksanakan demokrasi terpimpin
Dalam upacara
pelantikan wakil – wakil DPR-GR tanggal 5 Januari 1961, presiden Ir.Soekarno
kembali menjelaskan kedudukan DPR-GR sebagai pembantu presiden atau mandataris
MPRS.
2.2.2
Kebijakan Politik Dalam Negeri
Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) memberikan pernyataan bahwa Manifesto Politik tersebut adalah
penjelasan resmi dari dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sehingga tidak dapat
dipisahkan antara Manifesto Politik dan dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959,
apabila ingin memahami dekrit Presiden harus memahami Manifesto Politik begitu
pula sebaliknya. Manifesto Politik tidak memiliki kesamaan dengan Manisfesto
Komunis tahun 1848 yang tulis oleh Karl Marx dan Freidrich Ennggels, Manifesto
Politik memiliki maksud dan tujuan sebuah revolusi menuju sosialisme Indonesia.
Dalam pidato-pidatonya di awal tahun 1959, Presiden Soekarno mengungkapkan
bahwa revolusi Indonesia memiliki lima gagasan penting (Feith, 1995:80).
Intisari 5 hal penting dari Manifesto Politik diungkapkan Presiden Soekarno
pada bulan Februari 1960 pada acara pembukaan kongres pemuda dikota Bandung
yaitu:
1.Undang-Undang
Dasar 1945.
2.Sosialisme
Indonesia.
3.Demokrasi
terpimpin
4.Ekonomi
terpimpin
5.Kepribadian
Indonesia
Dari kelima kata
tersebut dapat diambil huruf depan menjadi USDEK, sebenarnya istilah Usdek
tidak secara resmi ditetapkan oleh Presiden Soekarno melainkan istilah Usdek di
peroleh dari rapat pamong praja di Jawa Barat. Ketua DPRD bernama Kosasih,
dalam penyampiannya dianjurkan untuk menghafal lima intisari Manifesto Politik
dalam rangkian Usdek, sehingga dalam penggunaannya sering di sebut
Manipol-Usdek. Penjelasannya adalah apabila sepakat dengan Undang-Undang Dasar
1945. Tujuan yang terkandung pada amanah sosialisme Indonesia, apabila sepakat
dengan sosialisme Indonesia maka pelaksaannya melalui demokrasi terpimpin dan
ekonomi terpimpin, kesemuanya itulah adalah Kepribadian bangsa Indonesia.
Apabila sedikit
dicermati bahwa tulisan tentang Nasionalis, Islam dan Marxis direncanakan untuk
tahun-tahun perjuangan dan itu sebenarnya dimaksudkan untuk menjembatani
perbedaan-perbadaan serta membina usaha bersama untuk mencapai kemerdekaan,
sedangkan Nasakom juga merupakan persatuan ketiga ideologi dengan tujuan yang sama
yaitu berjuang melawan kolonialisme dan imprialisme dalam suasana revolusi,
hanya saja terdapat perbedaan dari situasi dan kondisi dari kedua gagasan
tersebut. Gagasan Nasionalis, Islam dan Marxis berada dalam kondisi sebelum
kemerdekaan sedangkan Nasakom berada dalam situasi kemerdekaan dan kondisi
politik yang belum sepenuhnya mendukung gagasan tersebut, faktor lain juga
mempengaruhi kalangan militer yang tidak pernah sependapat bahkan saling
bertentangan dengan pihak Komunis.
Nasakom harus dipahami
sebagai doktrin pada masa demokrasi terpimpin sebagai alat perjuangan melawan
kolonialisme dan imprialisme karena ketiga unsur tersebut merupakan aspek
pendukung yang revolusiner menuju sosisalisme Indonesia, konsep Nasakom sangat
jelas sebagai sebuah wadah persatuan bukan mengkotak-kotak unsur tersebut
menjadi tiga golongan, bukan juga hanya PNI, NU dan PKI gambaran dari ketiga
partai politik, melainkan segala unsur di Indonesia yang berpaham Nasionalis,
Agama dan Komunis. Ideologi Nasakom akan menjadi gelombang yang besar apabila
tidak dipahami secara sempit, ketiga unsur tersebut merupakan kekuatan yang
akan membuat Indonesia lebih kokoh dalam percaturan politik dunia internasional
serta menjadi sebuah ancaman menakutkan bagi kolonoalisme dan imprialisme. Sehingga
tidak heran apabila dalam pelaksanaan demokrasi terpimpin banyak kalangan yang
anti revolusi mengutuk ideologi Nasakom dan beranggapan Nasakom hanya
kepentingan salah satu aliran ideologi
2.2.3
Politik Luar Negeri
Semenjak ditetapkan
berlakunya kembali Undang – Undang Dasar 1945 dengan Dekrit Presiden tertanggal
5 Juli 1959, terdapat serangkaian dokumen – dokumen yang mendasari politik luar
negeri Republik Indonesia, yakni :
1. Undang – Undang Dasar 1945
2. Amanat Presiden/Panglima Tertinggi
Angkatan Perang pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali
Revolusi Kita” dan yang terkenal sebagai “Manifesto Politik Republik
Indonesia”. Dengan penetapan presiden No.1 tahun 1960, tanggal 29 Januari 1960,
yang diperkuat pula dengan ketetapan MPRS No. 1/MPRS/I/1960, tanggal 19
November 1960, Manifesto tersebut telah dijadikan “Garis Besar Haluan Negara”
3. Amanat presiden tanggal 17 Agustus 1960
yang terkenal dengan nama “Jalannya Revolusi Kita” yang dengan ketetapan MPRS
No.I/MPRS/1960, tanggal 9 Nopember 1960 telah dijadikan “Pedoman Pelaksanaan
Manifesto Politik Republik Indonesia”
4. Pidato presiden tanggal 30 September
1960 dimuka sidang PBB yang berjudul “To Build the World anew” (membangun dunia
kembali), yang dengan ketetapan MPRS NO.I/MPRS/1960, tanggal 19 Nopember 1960,
ditetapkan sebagai Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia dan
yang dengan keputusan DPA NO.2/Kpts/Sd/61, tanggal 19 Januari 1961, dinyatakan
sebagai “Garis – garis Besar Politik Luar Negeri RI” dan sebagai “Pedoman Pelaksaaan
Manifesto Politik Republik Indonesia dibidang politik Luar Negeri RI”
Kebijaksanaan politik
luar negeri yang bertolak dari teori – teori revolusi itu telah menyeret
diplomasi Indonesia ke hadapan panggung politik dunia, tanpa memperhatikan prioritas
kepentingan dan sumber – sumber kekuatan nasional. Di sini pula berlaku teori
bahwa “politik adalah panglima”. Dasar politik luar negeri RI termaktub dalam
Undang – Undang Dasar 1945 alinea pertama Pembukaannya yang berbunyi :
“Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan”.
Dibidang politik luar
negeri Manipol menyatakan sebagai tujuan jangka pendek “melanjutkan perjuangan
anti imperialisme ditambah dengan mempertahankan kepribadian Indonesia di
tengah – tengah tarikan – tarikan ke kanan dan ke kiri, yang sekarang sedang berlaku
kepada kita dalam pergolakan dunia menuju keseimbangan baru.dalam jangka
panjang, Revolusi Indonesia bertujuan untuk “melenyapkan imperialisme dimana –
mana, dan mencapai dasar – dasar bagi perdamaian dunia yang kekal dan abadi”.
Menurut perincian Dewan
Pertimbangan Agungdalam keputusan No.2/Kpts/Sd/I/61 tanggal 19 Januari 1961,
Garis – garis Dasar Politik Luar Negeri RI yang terdapat dalam pidato
“Membangun Dunia Kembali”, adalah sebagai berikut:
1. Dasar :
UUD 1945
2. Sifat :
bebas dan aktif, anti-imperialisme dan kolinialisme
3. Tujuan :
a. Mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan
Indonesia yang penuh
b.
Mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional
dari seluruh bangsa – bangsa di dunia
c.
Mengabdi pada perjuangan untuk membela perdamaian dunia.
Politik bebas dan aktif indonesia bukanlah suatu pulitik
netralisme dan dalam hubungannya dengan non-alignment . indonesia berpendirian
bahwa politik non-alignment juga bukan politik netralisme dimana pada dasrnya
non alignment itu aktif dan diplomasi indonesia senantiasa diarahkan pada
posisi subjek dan bukan sebagai objek dalam pergolakan politik internasional
.gerakan non-blok merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang
kehidupan politiknya tidak terpengaruh oleh blok barat maupun blok
timur.gerakan ini memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan
bangsa-bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan perang dingin. keterlibatan
indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik indonesia di dunia
sudah cukup maju. GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia
dan kemanusiaan. bagi indonesia, GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari
UUD1945 baik dalam skala nasional dan internasional yang melahirkan KAAPolitik
bebas dan aktif indonesia bukanlah suatu pulitik netralisme dan dalam
hubungannya dengan non-alignment . indonesia berpendirian bahwa politik
non-alignment juga bukan politik netralisme dimana pada dasrnya non alignment
itu aktif dan diplomasi indonesia senantiasa diarahkan pada posisi subjek dan
bukan sebagai objek dalam pergolakan politik internasional .gerakan non-blok
merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang kehidupan
politiknya tidak terpengaruh oleh blok barat maupun blok timur.gerakan ini
memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika dan
mencegah perluasan perang dingin. keterlibatan indonesia dalam GNB menunjukkan
bahwa kehidupan politik indonesia di dunia sudah cukup maju. GNB merupakan
gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. bagi indonesia,
GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional
dan internasional yang melahirkan KAA
- Politik
Konfrontasi Nefo dan Oldefo
Terjadi penyimpangan dari politik
luar negeri bebas aktif yang menjadi cenderung condong pada salah satu poros.
Saat itu Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih mengarah pada
negara-negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik
Konfrontasi tersebut dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging
Forces) dan Oldefo (Old Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru yang
sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia
dan negara-negara komunis umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme.
Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis
yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim). Untuk mewujudkan Nefo maka
dibentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang. Dampaknya ruang
gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab hanya berpedoman ke
negara-negara komunis.
- Politik Konfrontasi Malaysia
Indonesia juga menjalankan politik
konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak setuju
dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap sebagai proyek
neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok
Nefo. Dalam rangka konfrontasi tersebut Presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat
(Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964, yang isinya sebagai berikut.
1. Perhebat
Ketahanan Revolusi Indonesia.
2. Bantu perjuangan rakyat
Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
3. Pelaksanaan Dwikora dengan
mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat menunjukkan adanya campur
tanggan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.
- Politik
Mercusuar
Politik Mercusuar dijalankan oleh
presiden sebab beliau menganggap bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat
menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Untuk mewujudkannya maka
diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang diharapkan dapat
menempatkan Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di kalangan Nefo.
Proyek-proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar mencapai milyaran
rupiah diantaranya diselenggarakannya GANEFO (Games of the New Emerging Forces
) yang membutuhkan pembangunan kompleks Olahraga Senayan serta biaya perjalanan
bagi delegasi asing. Pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari
keanggotaan PBB sebab Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan
Keamanan PBB.
- Politik
Gerakan Non-Blok
Gerakan Non-Blok merupakan gerakan
persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang kehidupan politiknya tidak
terpengaruh oleh Blok Barat maupun Blok Timur. Selanjutnya gerakan ini
memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika dan
mencegah perluasan Perang Dingin. Keterlibatan Indonesia dalam GNB menunjukkan
bahwa kehidupan politik Indonesia di dunia sudah cukup maju. GNB merupakan
gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. Bagi RI, GNB
merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional dan
Internasional.
2.3
Kehidupan
Ekonomi
Perubahan politik menuju demokrasi terpimpin barakibat
ekonomi pun mengikuti ekonomi terpimpin. Di mana ekonomi indonesia bersifat
agraris yang lebih kurang 80% dari penduduk hidup dalam pertanian ataupun
perkebunan dan hasilnya dijual dan diekspor keluar negeri untuk memperoleh
devisa atau valuta asing guna membeli atau mengimpor berbagai bahan baku dan
barang konsumsi yang tidak dapat dihasilkan di indonesia. Sehingga ekonomi
terpimpin merupakan bagian dari demokrasi terpimpin. dimana semua aktivitas
ekonomi disentralisasikan di pusat pemerintahan sementara daerah merupakan
kepanjangan dari pusat. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk menunjang
pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut:
2.3.1
Pembentukan Badan Perencana Pembangunan Nasional
Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah kabinet
kerja maka dibentuklah dewan perancang nasional (Depernas) pada Tanggal 15
Agustus 1959 Dipimpin Oleh Moh.Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang.tugas
depernas:
1) Mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang Pembangunan Nasional Yang Berencana
2) Menilai
Penyelenggaraan Pembangunan
Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun depenas berhasil
menyusun Rancangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara berencana
tahapan tahun 1961-1969 yang disetujui oleh MPRS.
Pada tahun 1963, Dewan Perancang Nasional diganti dengan
Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden
Sukarno. Dalam rangka usaha membendung inflasi maka dikeluarkan kebijakan:
1)
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No.2 Tahun 1959 yang mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959.
Peraturan itu dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran untuk
kepentingan perbaikan keadaan keuangan dan perekonomian negara. Untuk mencapai
tujuan itu nilai uang kertas pecahan Rp.500,- dan Rp.1000,- yang ada dalam
peredaran pada saat berlakunya peraturan itu diturunkan masing-masing menjadi
Rp.50,- dan Rp.100,-.
2)
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No.3 tahun 1959 tentang pembekuan sebagian dari simpanan pada
bank-bank yang dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran, yang
terutama dalam tahun 1957 dan 1958 sangat meningkat jumlahnya.
Peraturan
moneter tanggal 25 Agustus 1959 diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No.6/1959, yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang
lembaran seribu rupiah dan lima ratus rupiah yang masih berlaku (dan yang kini
bernilai seratus rupiah dan lima puluh rupiah) harus ditukar dengan uang kertas
bank baru sebelum tanggal 1 Januari 1960. Untuk menampung akibat-akibat dari
tindakan moneter dari bulan Agustus 1959 dibentuklah Panitia Penampung Operasi
Keuangan (PPOK). Tugas pokok dari panitia ini ialah menyelenggarakan tindak
lanjut dari tindakan moneter itu, tanpa mengurangi tanggung jawab menteri,
departemen, dan jawatan yang bersangkutan.
Akibat utama dari tindakan moneter yang dilakukan oleh
pemerintah ialah terjadinya kesukaran likuiditas di semua faktor, baik sektor
pemerintah maupun sektor swasta.Keadaan ini merupakan suatu kesempatan yang
baik untuk mengadakan penertiban dari segala kegiatan pemerintah dan swasta
yang sebelumnya seolah-olah tidak terkendalikan. Untuk tujuan itu pemerintah
menginstruksikan:
1) Penghematan
bagi instansi pemerintah serta memperketat pengawasan atas pelaksanaan anggaran
belanja.
2) Dilakukan
penertiban manajemen dan administrasi perusahaan-perusahaan negara, baik yang
sudah lama ada, maupun yang baru diambil alih dari pihak Belanda.
3) Dengan
tindakan moneter tanggal 25 Agustus 1959 itu, pemerintah bertujuan akan dapat
mengendalikan inflasi dan mencapai keseimbangan dan kemantapan moneter dengan
menghilangkan excess liquidity dalam masyarakat. Hal itu diusahakan dengan
menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang-bidang usaha yang dipandang penting
bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Tetapi pada akhir tahun 1959 itu
juga, jadi hanya 4 bulan lebih sedikit setelah dilakukan tindakan moneter
tersebut, dapat diketahui bahwa pemerintah mengalami kegagalan. Semua
tindakan-tindakan moneter itu tidak mencapai sasarannya karena pemerintah tidak
mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam
pengeluaran-pengeluarannya.Misalnya saja menyelenggarakan proyek mercu-suar
seperti Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dan Conefo (Conference of The
New Emerging Forces).
Sejak tahun 1961, Indonesia terus-menerus membiayai
kekurangan neraca pembayarannya dari cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun
1965, untuk pertama kali dalam sejarah moneternya, Indonesia sudah habis
membelanjakan cadangan emas dan devisanya, yang memperlihatkan saldo negatif
sebesar US $ 3 juta sebagai akibat politik konfrontasi terus-menerus yang
dilakukan.Tingkat kenaikan harga-harga paling tinggi terjadi dalam tahun 1965
(antara 200%-300% dari harga tahun 1964). Presiden Sukarno menganggap perlu
untuk mengintegrasikan semua Bank Negara ke dalam suatu organisasi Bank Sentral.Untuk
itu dikeluarkan Penetapan Presiden No.7 tahun 1965 tentang Pendirian Bank
Tunggal Milik Negara. Tugas bank tersebut adalah menjalankan
aktivitas-aktivitas bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum. Maka kemudian
diadakan peleburan bank-bank negara seperti: Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN);
Bank Umum Negara; Bank Tabungan Negara; Bank Negara Indonesia ke dalam Bank
Indonesia. Sesudah pengintegrasian Bank Indonesia itu selesai, barulah dibentuk
Bank Negara Indonesia. Bank Negara Indonesia tersebut dibagi dalam beberapa
unit, yang masing-masing unit menjalankan pekerjaannya menurut aturan-aturan
pendiriannya. Keadaan itu berlangsung terus sampai Bank Tunggal itu dibubarkan
dengan berlakunya Undang-undang No.13 Tahun 1968.
2.3.2 Penurunan Nilai Uang
Tujuan dilakukan devaluasi :
1) Guna
Membendung Inflasi Yang Tetap Tinggi
2) Untuk
Mengurangi Jumlah Uang Yang Beredar Di Masyarakat
3) Meningkatkan
Nilai Rupiah Sehingga Rakyat Kecil Tidak Dirugikan.
Maka
Pada Tanggal 25 Agustus 1959 Pemerintah Mengumumkan Keputusannya Mengenai
Penuruan Nilai Uang (Devaluasi), Yaitu Sebagai Berikut:
1) uang
kertas pecahan bernilai Rp. 500 Menjadi Rp. 50
2) uang
kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 Menjadi Rp. 100
3) pembekuan
semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000
Tetapi
usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang
semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter.para pengusaha daerah di
seluruh indonesia tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut. Pada
masa pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang menjadi murah
tetapi tetap saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki
uang.
2.3.3
Menyikapi Kenaikan Laju Inflasi
Latar belakang meningkatnya laju
inflasi :
1) Penghasilan
negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan
2) Nilai
mata uang rupiah mengalami kemerosotan
3) Anggaran
Belanja mengalami defisit yang semakin besar
4) Pinjaman
luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada
5) Upaya
likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil
6) Penertiban
administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan keuangan tak
memberikan banyak pengaruh
7) Penyaluran
kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan rakyat
dan pembangunan mengalami kegagalan.
Dan selain itu ada pula kegagalan-kegagalan
yang disebabkan karena:
1) Pemerintah
tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan pengeluaran.
2) Pemerintah
menyelenggarakan proyek-proyek Mercusuar seperti GANEFO (Games Of The New
Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference Of The New Emerging Forces) Yang
Memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya pada setiap tahunnya.
Salah satu langkah yang dilakukan oleh soekarno dalam
menstabilkan keadaan ekonomi, maka kredit-kredit luar negeri diperbolehkan
diterima untuk Pembangunan dan perluasan aparat produksi nasional. Hal ini
dapat memperbesar volume komoditas ekspor guna membayar utang-utang luar negeri
dan kepentingan lainnya. politik ekonomi terpimpin sangat rentan terhadap
bahaya berupa Insolvensi Internsional dari suatu negara yang dapat menarik
kedalam suatu blok, fakta, atau lingkungan pengaruh di antara nya peristiwa
konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia, dan bantuan dari RRC pada Indonesia
melalui perdagangan bilateral atas dasar Government To Government (G To G) RRC
Mmendapatkan keuntungan politik dan ekonomi yang tidak sedikit.
Campur tangan tentara dalam perekonomian meningkat. Pada tahun
1959 pihak tentara mulai memindahkan orang-orang Cina secara paksa dari daerah
pedesaan ke kota, sekitar 119.000 orang dipulangkan ke Cina. Pada bulan Mei
1959 telah diputuskan bahwa mulai tanggqal 1 Januari 1960 orang-orang asing
dilarang melakukan perdagangan di pedesaan. Langkah ini didorong oleh pihak
militer untuk memukul orang-orang cina, melemahkan hubungan Jakarta dengan Cina,
dan mempersulit urusan PKI.
2.3.4 Perkreditan dan Perdagangan
Luar Negeri
Politik luar negeri pada masa Demokrasi Terpimpin di bidang
perkreditan dan perdagangan hakekatnya tidak berbeda sifatnya dari sistem ijon
dari petani-petani dan pengusaha-pengusaha kecil, hanya saja kredit luar negeri
ini berskala nasional dan menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia. Dalih
perkreditan luar negeri pada masa ini adalah mengarrangement dan readjustment
dengan negara-negara kreditor. Dan sementara itu masyarakat Indonesia pada
umumnya masih beranggapan bahwa hutang adalah identik dengan penghasilan.
Perdagangan luar negeri antara Indonesia dengan negara lain
misalnya dengan negara Cina. Perdagangan bilateral tersebut dijalin atas dasar Government to Government (G to G). Dalam
perdagangan G to G ini RRC memperoleh keuntungan politik disamping keuntungan
ekonomi yang tidak sedikit. Sebagai contoh perdagangan karet.
Transaksi-transaksi karet rakyat Indonesia dengan RRC pada hakekatnya adalah
pembelian bahan baku yang murah oleh RRC, yang kemudian dijual kembali sebagai
barang jadi yang mahal ke Indonesia sebagai yang disebut bantuan luar negeri. Dalam
hubungan ini adakalanya barang-barang yang bercap RRC seperti tekstil yang
dikirim sebagai bantuan ke Indonesia bukan dibuat di RRC sendiri akan tetapi di
Hongkong. Dalam hal ini disebut bantuan pada hakekatnya adalah hasil keuntungan
RRC dari pembelian karet rakyat Indonesia. Maka jelaslah bahwa kebijaksanaan
perdagangan dan perkreditan luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah Orde
Lama terutama selama 3 tahun terakhir telah membawa Indonesia ke dalam
lingkungan pengaruh politik RRC sampai titik kulminasinya dalam pemberontakan G
30 S/PKI.
Dalam rangka usaha untuk membiayai proyek-proyek
Presiden/Mandataris MPR-S, maka Presiden Sukarno mengeluarkan Instruksi
Presiden No.018 tahun 1964 dan Keputusan Presiden No.360 tahun 1964, yang berisi
ketentuan-ketentuan mengenai penghimpunan dan penggunaan “dana-dana revolusi”.
Dana-dana revolusi tersebut pada mulanya diperoleh dari pungutan uang call SPP
dan dari pungutan yang dikenakan pada pemberian izin impor dengan deferred payment. Deferred payment ialah suatu macam impor yang dibayar dengan kredit
(kredit berjangka 1-2 tahun) karena tidak cukup persediaan devisa. Dalam
praktek, barang-barang yang diimpor dengan menggunakan deferred payment khusus itu adalah barang-barang yang tidak membawa
manfaat bagi rakyat banyak, bahkan sebaliknya merupakan barang-barang yang
sudah dijadikan bahan spekulasi dalam perdagangan, misalnya scooter dan
barang-barang lux lainnya. Pada umumnya yang mendapat izin deferred payment ini
adalah yang disponsori oleh Presiden Sukarno sendiri. Akibat kebijaksanaan
kredit luar negeri ini adalah:
1) Hutang-hutang
negara semakin bertimbun-timbun, sedangkan ekspor semakin menurun.
2) Devisa
menipis karena ekspor menurun sekali.
3) Hutang
luar negeri dibayar dengan kredit baru atau pembayaran itu ditangguhkan.
4) RI
tidak mampu lagi membayar tagihan-tagihan dari luar negeri, yang mengakibatkan
adanya insolvensi internasional. Karena itu, sering terjadi bahwa beberapa
negara menyetop impornya ke Indonesia karena hutang-hutang tidak dibayar.
5) Di
dalam negeri berakibat mengganggu proses produksi, distribusi dan perdagangan
serta menimbulkan kegelisahan di kalangan penduduk.
Menteri Bank Sentral, Jusuf Muda Dalam diberikan kuasa untuk
mengelola “dana revolusi” itu. Dana revolusi tersebut diberikan dalam bentuk
kredit kepada orang lain atau perusahaan dengan rente tertentu agar jumlah dana
bertambah terus. Namun, pemberian kredit tersebut menyimpang dari pemberian
kredit biasa sampai kira-kira mencapai jumlah Rp 338 milyar (uang lama). Hal ini
mengakibatkan inflasi meningkat sangat tinggi karena pemerintah sama sekali
tidak mengindahkan jumlah uang yang beredar. Bank Indonesia diizinkan untuk
mengadakan penyertaan dalam perusahaan, sehingga membawa akibat yang cukup luas
bagi masyarakat:
1) Bank
Indonesia sebagai Bank Sentral tidak dapat lagi menjalankan fungsinya sebagai
pengantar peredaran uang.
2) Neraca
Bank Indonesia tidak dapat diketahui oleh rakyat lagi.
3) Neraca
Bank Indonesia yang tidak diumumkan mendorong usaha-usaha spekulasi dalam
bidang ekonomi dan perdagangan.
Di tengah perekonomian
yang terus memburuk, pemerintah tetap melaksanakan pembangunan-pembangunan
fasilitas, pembangunan itu di antaranya yaitu :
1.
Tanggal 17
Agustus 1961, presiden memancangkan tiang pertama pembangunan Tugu Nasional
yang terletak ditengah lapangan Merdeka yang direncanakan akan menjulang
setinggi 127 meter dan memakan biaya setengah milyar rupiah. Menurut presiden,
tugu ini akan menjadi tanda pusat bangsa Indonesia yang kuat, besar dan sentosa.
2.
Berikutnya
tanggal 25 Agustus 1961 dilangsungkan upacara pemancangan tiang pertama Masjid
Istiqlal yang diperkirakan akan menjadi Masjid terbesar di Asia Tenggara bahkan
dunia.
3.
Rencana
selanjutnya di Jalan Merdeka Utara akan dibangun gedung-gedung khusus untuk
kesenian seperti teater dan museum. Jalan Merdeka Timur akan dipergunakan
khusus untuk gedung kementrian.
4.
Sekitar akhir
tahun 1964, saat muncul wacana untuk keluar dari PBB, presiden juga membangun
markas besar dunia ketiga (pusat The New Emerging Forces) di Jakarta,
menyaingi markas besar PBB di New York, yang kemudian hari menjadi gedung
MPR/DPR.
5.
Upaya mencegah bahaya subversi asing juga mencuat
di bidang budaya. Tanggal 17 Agustus 1963, dideklarasikan Manifestasi
Kebudayaan (Manikebu) oleh 13 seniman di Jakarta, yaitu H. B. Jassin, Trisno
Sumardjo, Wiratmo Sukito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Gunawan Mohammad, A. Bastari
Asnin, Soe Hok Djin, Ras Siregar, Bur Rasuanto, D. S. Mulyanto, Sjahwil, dan
Djufri Tanissan. Manikebu menyatakan pendirian, cita-cita, dan politik
kebudayaan nasional yang berfalsafah Pancasila dan tidak mengutamakan salah
satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Hal ini dianggap
tidak mencerminkan sikap yang progresif revolusioner di masa revolusi saat itu.
Manikebu menjadi kelompok budayawan yang berseberangan dengan pemikiran Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi pada komunis. Menteri PP & K
Prijono juga turut menyerang Manikebu dengan mempertanyakan mengapa Manikebu
hanya mencantumkan Pancasila saja dan tidak menyebut Manipol. Para penyusun
Manikebu menjadi bulan-bulanan serangan pribadi pihak Lekra dengan mencap
Manikebu bukanlah Manipolis sejati. Tanggal 18 Mei 1964, presiden mengeluarkan
larangan terhadap Manikebu dengan alasan Manifesto Politik RI sebagai pancaran
Pancasila telah menjadi GBHN dan tidak dapat didampingi oleh manifesto lain
yang bersikap ragu-ragu terhadap revolusi. Kebudayaan harus dijalankan di atas
rel revolusi menurut petunjuk Manipol. Utara. Sementara itu, pemutaran film-film
AS diboikot oleh PKI. PKI menggerakan lahirnya Panitia Aksi Pemboikotan Film
Imperialis AS (PAPFIAS). Bill Palmer, seorang pengusaha film AS, rumahnya di
Gunung Mas dekat Puncak digrebek oleh massa pemuda dan kabarnya di rumah itu
juga ditemukan copy Dokumen Gilchrist. Bill Palmer adalah kepala AMPAI (American
Motion Pictures Assosiacition in Indonesia). Para pemuda menuntut agar
AMPAI dibubarkan dan Bill Palmer diusir atau diadili karena dianggap sebagai
seorang agen CIA di Indonesia. Pelarangan terhadap Manikebu juga berbuntut
dengan dikeluarkannya instruksi Menteri PP & K dalam membina kepribadian
bangsa dengan melarang potongan rambut The Beatles (gondrong) dan
disasak secara berlebihan, dalam berpakaian dilarang menjiplak mode-mode luar
negeri, dan juga menghilangkan nama panggilan yang kebarat-baratan, misalnya daddy,
mom, papi, mami, mientje, fransje, mieke,
dan wiesje. Kebijakan ganyang kebudayaan ngak-ngik-ngok membuat
lagu-lagu barat misalnya Beatles dilarang. Tanggal 29 Juli 1965 Band Koes
Bersaudara di Jakarta ditahan oleh Kejaksaan Tinggi/Istimewa Jakarta karena
membawakan lagu ala Beatles. Bahkan menurut Ajun Komisaris Besar Polisi
(AKBP) Anwas, Asisten II Bidang Operasi Komdak VII/Jaya, dalam suatu razia
mengatakan piringan hitam dan pita rekaman The Beatles paling ampuh
menanamkan Nekolim way of life dan paling efektif memberikan didikan
jahat kepada generasi muda dan anak-anak yang sedang tumbuh. Dalam razia
tersebut, sejumlah 22.000 buku penetrasi kebudayaan imperialis AS, 250 piringan
hitam The Beatles, dan buku-buku berbau Manikebu, cabul, dan merusak
akhlak anak-anak muda dibakar oleh massa rakyat revolusioner yang menyanyikan
lagu “Hancurkanlah musuh kita Inggris dan AS”. Kebudayaan yang asalnya dari
Barat, termasuk AS dan Inggris dilarang dan dianggap tidak cocok dengan budaya
timur yang ada di Indonesia.
2.5 Kehidupan Pertahanan dan Keamanan
2.5.1 Pembebasan
Irian Barat
Bentuk
perjuangan alam rangka pembebesan Irian Barat melalui 2 cara,yaitu di bidang diplomasi
dan bidang militer :
a)
Bidang Diplomasi
Cara ini ditempuh guna menunjukkan niat baik indonesia
mandahulukan cara damai dalam menyelesaikan persengketaan.perjuangan tersebut
dilakukan dengan perundingan KBM 1949 Pasal 1 Tentang Penyerahan Kedaulatan
Sepenuhnya Atas Indonesia (RIS). jalan diplomasi ini sudah dimulai sejak 1950
yang selanjutnya dijadikan program oleh setiap cabinet hingga tahun 1960 dalam
pidatonya di depan Sidang Majelis Umum PBB yang berjudul ‘’Membangun Dunia
Kembali’’ di mana Presiden Soekarno menegaskan kembali masalh irian yang
dirangkaikan dengan masalah imperialisme. meskipun selalu mengalami kegagalan
sebab belanda masih menguasai irian barat bahkan secara sepihak memasukkan
irian barat ke dalam wilayah kerajaan Belanda.
Dalam
masalah Irian Barat, AS mendukung setiap usaha diplomasi yang dilakukan oleh
Indonesia dengan Belanda untuk menghindari konflik terbuka. Salah satu bukti AS
ingin berperan sebagai perantara dalam sengketa Irian Barat tampak pada
tindakan AS yang memfasilitasi pelaksanaan perundingan Indonesia-Belanda di
Washington pada tanggal 20 Maret 1962 dengan disaksikan pihak ketiga yaitu AS.
Pelaksanaan kepercayaan
yang telah diberikan kedua belah pihak yang bersengketa, PBB melakukan kembali
perundingan pada tanggal 31 juli 1962, dimana salah satu butir kesepakatannya
berisi rencana penyerahan administrasi pemerintah Irian Barat ke Indonesia
melalui suatu badan pemerintah PBB dan menjamin adanya hak menentukan pendapat
rakyat Irian Barat.mengirimkan wakilnya MR. Sudjarwo Tjondronegoro, Adam Malik,
Mr. Zairin Zain, dan Sukardjo Wirjopranoto untuk menghadapi delegasi Belanda
yang terdiri dari Dr. Van Royen dan Schuurman. Dari perundingan itu,
diterimalah usul dari Ellsworth Bunker, bekas Duta Besar AS di India, yang
bertindak sebagai penengah dalam perundingan Indonesia-Belanda. Dari
perundingan itu, diterimalah usul dari Ellsworth Bunker, bekas Duta Besar AS di
India, yang bertindak sebagai penengah dalam perundingan Indonesia-Belanda.
Serangkaian pembicaraan dilakukan di Washington antara delegasi Indonesia dan
Belanda yang pada akhirnya menghasilkan rencana kompromistis yang lebih dikenal
sebagai Rencana Bunker.Pembentukan badan administrasi di Irian Barat tersebut
dinamakan UNTEA (United Nations Temporary Executif Authority).
b)
Bidang Militer (konfrontasi)
Dampak Dari Tindakan Konfrontasi Politik Dan Ekonomi
Tersebut Maka Tahun 1961 Dalam Sidang Majelis Umum PBB terjadi perdebatan
mengenai masalah irian barat.diputuskan bahwa diplomat Amerika Serikat
Ellsworth bunker bersedia menjadi penengah dalam perselisihan antara indonesia
dan Belanda. Bunker mengajukan usul yang dikenal dengan rencana bunker, yaitu :
1) Pemerintah
Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia.
2) Setelah
sekian tahun, rakyat irian barat harus diberi kesempatan untuk menentukan
pendapat apakah tetap dalam negara republik indonesia atau memisahkan diri.
3) Pelaksanaan
penyelesaian masalah irian barat akan selesai dalam jangka waktu dua tahun.
4) Guna
menghindari bentrokan fisik antara pihak yang bersengketa, diadakan pemerintah
peralihan di bawah pengawasan PBB selama satu tahun.
Indonesia menyetujui usul itu dengan catatan jangka waktu
diperpendek. pihak belanda tidak mengindahkan usul tersebut bahkan mengajukan
usul untuk menyerahkan irian barat di bawah pengawasan PBB. selanjutnya PBB
membentuk negara papua dalam jangka waktu 16 tahun.jadi belanda tetap tidak
ingin irian barat menjadi bagian dari indonesia. keinginan belanda tersebut
tampak jelas ketika tanpa persetujuan PBB, Belanda mendirikan negara papua,
lengkap dengan bendera dan lagu kebangsaan. tindakan belanda tersebut tidak
melemahkan semangat bangsa indonesia.indonesia menganggap bahwa sudah saatnya
menempuh jalan kekuatan fisik (militer).
Pada 17 Agustus 1960 hubungan diplomatik dengan belanda
diputuskan. untuk meningkatkan perjuangan dewan pertahanan nasional merumuskan
Trikora (Tri Komando Rakyat) dikepalai oleh Soerkarno pada 19 desember 1961 di
Yokyakarta, di mana dalam rapat dewan pertahanan nasional bersama organisasi
gabungan kepala staf serta komando tertinggi pembebasab Irian Barat memutuskan:
a) Membentuk Provinsi Irian barat
gaya baru dengan putra irian sebagai gubernurnya
b) Membentuk Komando Mandala yang
langsung memimpin kesatuan ABRI dalam tugas merebut irian barat
Sesuai dengan perkembangan situasi, trikora dijelaskan
dengan intruksi panglima besra komando tertinggi pembebasan Irian Barat No. 1 kepada panglima
mandala yang isinya :
a) Merencanakan,
mempersiapkan, menyelenggarakan operasi-operasi militer yang bertujuan
mengembalikan Wilayah Propinsi Irian Barat kedalam kekuasaan negara RI
b) Mengembangkan
situasi diwilayah propinsi Irian Barat
Hal tersebut bertujuan supaya dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya di wilayah propinsi irian barat dapat secara de fakto
diciptakannya daerah-daerah bebas atau didudukkan unsur kekuasaan atau
pemerintah RI.
2.5.2 Peritiwa
30 September 1965 (G 30 S/PKI)
Mencermati rangkaian peristiwa, secara teknis PKI
mempersiapkan perebutan kekuasaan dengan melancarkan lima skenario sekaligus,
yaitu persiapan rencana operasi (renops) gerakan militer dan politik secara
tertutup, propaganda publik, penciptaan politik kesan bahwa gerakannya
merupakan agenda Presiden, test case kesiagapan pimpinan TNI AD dan
netralisasi potensi penghambat gerakan.
Kelima skenario itu dilakukan secara serentak sehingga
memecah konsentrasi pihak lawan (ABRI dan kalangan nasionalis religius) untuk
segera menyadari adanya perebutan kekuasaan oleh PKI.
Pertama, persiapan rencana operasi (renops) dan konsolidasi gerakan
militer pembersihan pimpinan TNI-AD maupun gerakan politik untuk mengganti
Kabinet Dwikora. Gerakan ini dilaksanakan melalui: (a) 3 kali rapat Politbiro,
(b) lima kali rapat interen Biro Chusus Central (BCC), (c) satu kali rapat
gabungan pendahuluan dan sepuluh kali “rapat
komando pembersihan” (rapat gabungan antara BCC dengan pimpinan gerakan
militer), (d) koordinasi intensif antara Aidit dan Sjam (laporan-laporan dan
pembahasan hasil rapat internal BCC maupun rapat komando pembersihan), (e)
pengiriman anggota CC (Comite Central) untuk mengarahkan operasi perebutan
kekuasaan lokal, (f) koordinasi dan instruksi Sjam kepada pengurus Biro Chusus
Daerah (BCD), dan (g) misi netralisasi satuan-satuan militer yang dianggap
tidak memiliki komitmen untuk melaksanakan rencana PKI.
Kedua, propaganda publik yang dilakukan Aidit dan anggota CC
Politbiro melalui ceramah dan media massa untuk mengesankan bahwa momentum
revolusioner telah sampai puncak dan oleh karena itu kepada pelaksana inti
gerakan, anggota PKI maupun simpatisannya tidak ragu-ragu bertindak. Perlu
diingat, bahwa rencana perebutan kekuasaan yang akan dilakukan PKI dibangun di
atas “fatamorgana situasi revolusioner” berupa argumentasi dan
justifikasi moral yang rapuh. Justifikasi moral itu berupa isu rencana kudeta
Dewan Jenderal terhadap Presiden pada tanggal 5 Oktober 1965 yang harus
didahului, adanya dokumen Gilchrist yang dihembuskan sebagai bukti dukungan CIA
terhadap Dewan Jenderal dan masa depan Presiden yang tidak akan berumur
panjang.
Ketiga, penciptaan politik kesan bahwa gerakan mendahului Dewan
Jenderal merupakan perintah Presiden. PKI (melalui ketua Biro Chusus Central, Sjam)
menanamkan pemahaman mengesankan bahwa pembersihan (penculikan) para Jenderal
TNI AD merupakan bagian dari usaha melindungi Presiden dari coup Dewan
Jenderal. Penciptaan politik kesan dimaksudkan untuk memperoleh dukungan dari
satuan-satuan ketentaraan yang dijadikan target untuk menjalankan misi
“pembersihan” terhadap pimpinan TNI AD. Argumentasi ini bukan ditujukan sebagai
konsumsi Letkol Untung, Mayor Udara Sujono maupun Kol. A. Latief yang sejak
awal, dalam rapat-rapat “komando pembersihan” telah mengetahui adanya skenario
pembentukan Dewan Revolusi sebagai pengganti Kabinet Dwikora (perebutan
kekuasaan). Pemilihan Letkol Inf. Untung dan penggunaan sebagian pasukan
Tjakrabirawa sebagai unsur pasukan pengawal Presiden merupakan bagian dari
upaya mengelabui berbagai pihak seperti kesatuan 530 & 454 untuk secara
fanatik termobilisasi dan mendukung gerakan pembersihan pimpinan TNI AD dalam
rangka menyelamatkan Presiden.
Keempat, test case kesigapan pimpinan TNI-AD melalui
hembusan isu penculikan. Sebagaimana kasus tanggal 18 September, kesiagaan para
Jenderal TNI AD terhadap isu akan adanya penculikan yang dilaporkan Jenderal S.
Parman kepada Jenderal A. Yani ternyata tidak menemukan bukti. Hal itu
menyebabkan informasi rencana penculikan berikutnya (sebagaimana diterima
Mayjen MT. Haryono) antara tanggal 29 s/d 30 September, tidak ditanggapi dan
diantisipasi secara memadai. Terlepas adanya analisis bahwa masalah kesiapan
teknis merupakan faktor penyebab penundaan hari H dan jam J penculikan para
Jenderal, penundaan tersebut telah menyebabkan ketidakpastian informasi seputar
kapan pelaksanaan penculikan para Jenderal akan dilakukan.
Kelima, netralisasi potensi penghambat gerakan. Langkah ini
dilakukan dengan mengirimkan 600 pejabat negara untuk menghadiri undangan
pemerintah RRC dalam peringatan HUT Kemerdekaan RRC 1 Oktober 1965. Pengosongan
pejabat tinggi negara itu dimungkinkan atas pertimbangan:
1. Untuk
mengurangi potensi kritis terhadap langkah-langkah PKI sehingga perebutan
kekuasaan berjalan dengan mulus. Eksodusnya para pejabat tinggi, menjadikan
arena pertarungan hanya menyisakan barisan PKI dan sedikit lawan yang tidak
mampu menggerakkan kekuatan birokrasi pemerintahan untuk menghadang
langkah-langkah PKI.
2. Untuk
mempermudah pergantian pejabat tinggi dengan calon-calon PKI. Ketika gerakan
perebutan kekuasaan di Indonesia berhasil, para delegasi Indonesia yang sedang
berada di RRC dapat dengan mudah dihabisi oleh kader-kader Komunis RRC dan
posisinya di Indonesia diganti oleh calon-calon PKI.
Mencermati skenario tersebut, keputusan PKI melakukan
perebutan kekuasaan pada tahun 1965 dilatarbelakangi oleh dua kemungkinan di
antaranya yaitu:
Pertama, Jatuh sakitnya “kawan sementara”
sosok Presiden Soekarno yang powerful dan kharismatis, dijadikan
momentum bagi PKI untuk mengevaluasi koalisi taktisnya dengan kalangan borjuasi
nasional dan segera memutuskan skema baru perebutan kekuasaan di Indonesia.
Kedua, PKI merasa cukup percaya diri
dengan situasi revolusioner yang diciptakannya atau mungkin juga karena
dukungan/dorongan “partai sekawan” dalam payung Comintern (Communist International)
maupun negara–negara Komunis tetangga khususnya RRC untuk segera mengambil alih
kekuasaan di Indonesia. PKI kemudian menciptakan politik medis dengan
memanfaatkan dokter-dokter Cina untuk mempengaruhi (mengerjai) kesehatan
Presiden. Melalui dua kemungkinan itu Presiden Soekarno benar-benar sakit atau
sakitnya diskenariokan dokter-dokter Cina atas pesanan Aidit dan pemerintah RRC
PKI mempersiapkan perebutan kekuasaan di Indonesia melalui skema sederhana. Tahap
pertama, akuisisi kekuatan militer (TNI AD) dengan mengganti masinisnya
untuk digantikan orang-orang yang bisa dikendalikan PKI. Keberhasilan akuisisi
TNI-AD akan segera menjadikan PKI memiliki superiotas politik dan militer
sekaligus.
BAB 3. PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Munculnya
demokrasi Terpimpin dilatar belakangi oleh beberapa faktor diantaranya adalah
Kegagalan Badan Konstituante dalam menyusun undang-undang dasar baru, presiden
Soekarno mengeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959 yang bertujuan untuk
menyelamtkan negara yang dalam kondisi genting, munculnya gerakan separatis
yang ingin mengambil alih kekuasaan secara paksa, sering berganti-ganti kebinet
dan munculnya persaingan di masing-masing parpol.
Kehidupan
politik pada masa Demokrasi Terpimpin dilakukan tindakan perubahan dalam menata
pilitik dalam negeri maupun politik luar negeri, terlihat dengan adanya
beberapa tindakan yaitu: 1) Indonesia lebih
condong pada politik NEFO (New Emerging Forces), 2) Munculnya politik
Mercusuar, 3) Munculnya politik poros antara Jakarta-Peking dan 4) Indonesia
keluar dari PBB, keempat tindakan tersebut merupakan pembaharuan bagi Politik
Luar Negeri. Sedangkan tindakan-tindakan pembaharuan bagi Politik Dalam Negeri
diantaranya adalah 1) Kedudukan presiden di bawah MPRS berdasarkan UUD 1945
akan tetapi dalam kenyataannya MPRS tidak memiliki kekuasaan, 2)Presiden
diangkat seumur hidup, 3)Presiden membentuk MPRS, 4)Manifesto politik Republik
Indonesia, 5)Pembubaran DPR hasil pemilu dan pembentukan DPR-GR,
6)Pemasyarakatan ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis), dan
5)Perjuangan pembebasan Irian Barat.
Kemudian kehidupan ekonomi pada masa
demokrasi terpimpin tindakan-tindakan pembaharuan yang dilakukan yaitu
1)Membentuk Dekon (Deklarasi Ekonomi), 2)Membentuk Kotoe (Komando Tertinggi
Operasi Ekonomi), 3)Membentuk Kesop (Kesatuan Operasi) dan Membentuk Bank
Sentral. Kehidupan sosial-budaya pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)
banyak dipengaruhi oleh Partai Komunis Indonesia. Dalam sub bahasan yang ke
empat ini akan dibahas mengenai kehidupan di dunia pendidikan, Komunikasi
Massa, dan Budaya pada masa demokrasi terpimpin.Dan dalam kehidupan hankam
terjadi perpecahan militer dan Konfrontasi
Indonesia-Malaysia.
DAFTAR PUSTAKA
Marwati Djoened
Poesponegoro:Nugroho. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs.2008, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta : PT. Ikrar
Mandiriabadi.
Deklarasi Ekonomi), 2)Membentuk Kotoe (Komando Tertinggi
Operasi Ekonomi), 3)Membentuk Kesop (Kesatuan Operasi) dan Membentuk Bank
Sentral. Kehidupan sosial-budaya pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965)
banyak dipengaruhi oleh Partai Komunis Indonesia. Dalam sub bahasan yang ke
empat ini akan dibahas mengenai kehidupan di dunia pendidikan, Komunikasi
Massa, dan Budaya pada masa demokrasi terpimpin.Dan dalam kehidupan hankam
terjadi perpecahan militer dan Konfrontasi
Indonesia-Malaysia.
DAFTAR PUSTAKA
Marwati Djoened
Poesponegoro:Nugroho. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs.2008, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta : PT. Ikrar
Mandiriabadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar